Membayangkan Sitor Situmorang Pulang Kampung
Dari pantai Haranggaol
kutatap pulau,
danau biru, membuai perahu
nelayan Bandar Saribu
dengan lagu kasih
adat Simalungun
di tanah Purba
(Sajak Topografi Danau Toba, Sitor Situmorang)
Sitor Situmorang memandang ke arah tanah kelahirannya. Di bawahnya ia bisa memandangi kumpulan air jernih yang sangat mempesona: Danau Toba. Penyair itu selalu rindu pada tanah airnya. Dunia Toba adalah menjadi tempat permulaan dan akarnya. Ke sanalah penyair selalu pulang untuk menemui dunia asalnya. Sajak-sajak tentang Toba terkumpul dalam bukunya yang berjudul Angin Danau yang diterbitkan tahun 1982 oleh Sinar Harapan.
Danau Toba terletak di Provinsi Sumatera Utara. Dalam bait pertama puisinya, Sitor menjelaskan bahwa danau Toba identik dengan pantai Haranggaol, yang bisa ditempuh dari kota Pematang Siantar, Medan, dan Berastagi dengan transportasi darat. Haranggaol juga dapat ditempuh dari Tongging, Kabupaten Karo dan Kota Parapat dengan menggunakan kapal kayu khas danau Toba. Di tengah danau yang airnya berwarna biru terdapat pulau, yakni pulau Samosir. Para nelayan di Bandar Saribu biasa memanfaatkan daerah pesisir danau Toba untuk usaha tambak ikan, yang paling sering adalah ikan mas. Tanah di sekitar danau Toba dihuni oleh marga Simalungun yang sangat kukuh memegang adat istiadat mereka dan mewariskan garis patrilineal.
Tanah di sekitar danau Toba adalah tanah purba. Di atasnya terlihat gunung yang mendekap teluk dan lembah. Di sekitarnya terdapat perkampungan orang Batak. Kampung Sitor, Harianboho, terletak di atas danau Toba. Dari sanalah Sitor, di dekat sawah ladangnya, bisa melayangkan pandang ke arah air yang berwarna biru dan memancarkan kedamaian. Di sana, sebagai orang Batak, ia merasakan magisnya suasana tanah leluhur. Pada malam yang gelap, ia mendengarkan bintang-bintang membisikkan silsilah keluarga mereka serta menelusuri akar leluhurnya, ia memberi hormat kepada tulang belulang para leluhur melalui upacara suci, tertidur bersama roh-roh batu gunung. Di suatu tempat yang dekat dengan danau Toba, di lembah-lembah yang penuh cinta, meresapi suasana dan pemandangan yang tiada taranya. Kembali ke rumah asal, bagi Sitor, adalah suatu nostalgia yang amat sentimental.
Pulau Samosir di tengah danau Toba begitu hijau sekaligus penuh misteri. Danau Toba, bagi Sitor, adalah air bagi kehidupan, tempat kasih berkecimpung. Danau Toba menjadi rumah bagi ikan-ikan yang diternakkan oleh para nelayan, menjadi sumber kehidupan bagi para nelayan, menjaga gairah suatu perkampungan dengan ikatan-ikatan serta peraturan yang kokoh. Di Samosir, di tengah serbuan kaum pendatang dari tanjung yang tertarik pada si gadis Toba, masih dapat kita temukan makam kuno Raja-raja Batak Toba. Namun sesungguhnya si gadis sedang menjerit sebab barangkali Samosir tak lagi molek sebab ditinggalkan penghuninya, seperti Sitor, si “anak hilang”.[]
Tentang Penulis
Fadjriah Nurdiarsih. Lahir di Jakarta, 4 April 1985. Alumni Sastra Indonesia, Universitas Indonesia. Tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.