Fb. In. Tw.

Membaca Riwayat Halimunda, Melintasi Imajinasi Kolonial

/iv/
Dalam sejarah umum perkembangan manusia, perempuan selalu mendapat penindasan dua kali lebih besar daripada laki-laki. Tak terkecuali pada masa kolonialisme Barat. Maka, kajian gender menjadi salah satu kajian paling penting dalam diskursus poskolonial. Perjalanan Dewi Ayu sebagai pelacur tak lepas dari adanya kolonialisme Barat. Setidaknya, hal tersebut tergambar di dalam Cantik Itu Luka.

Eka Kurniawan, dalam hal ini, berupaya merekonstruksi sejarah pelacuran di Kota Halimunda. Lewat biografi Mama Kalong yang diceritakan di dalam novel, tampak bahwa adanya bisnis pelacuran yang terorganisasi tak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda dan terus berlanjut hingga invasi militer Jepang di Halimunda.

Mama Kalong, pada mulanya hanya seorang gadis pelayan di kedai minum bibinya, melihat peluang ketika tentara-tentara pemerintah kolonial mulai ramai di Halimunda. Selepas menutup kedai bibinya, Mama Kalong menawarkan jasa seksual bagi tentara-tentara tersebut. Kemudian, hal tersebut menjadi awal bagi bisnis pelacuran yang dibangunnya.

Selepas menutup kedai, ia akan pergi ke barak tentara tersebut. Ia tahu apa yang mereka butuhkan dan mereka tahu apa yang ia inginkan. Tentara-tentara itu membayarnya untuk telanjang mengangkang di depan kemaluan mereka. Tiga atau empat prajurit akan menggilir menyetubuhinya sebelum ia pulang membawa uang. Lama-kelamaan, penghasilannya jauh melampaui apa pun yang diperoleh bibinya. Ia punya naluri bisnis yang baik. Suatu hari, setelah memperoleh omelan karena bekerja sambil setengah mengantuk, ia meninggalkan bibinya dan membuka kedai sendiri di ujung dermaga. Ia menjual tuak tebu dan beras, dan juga tubuhnya. Ia tak pernah lagi ke barak, tapi prajurit-prajurit itu datang ke kedainya. Di akhir bulan pertama ia telah memperoleh dua orang gadis dua belas tahunan untuk menemaninya di kedai minum, sebagai pelayan dan pelacur. Ia telah memulai kariernya sebagai germo. (hlm. 81).

Bisnis pelacuran Mama Kalong kemudian tambah pesat ketika ia mendapat dukungan dan bantuan dari Kolonel yang bertugas di Halimunda. Bagi Kolonel, pelacuran dapat menaikkan moral tempur para prajuritnya. Mama Kalong seolah mendapat legitimasi akan bisnis pelacurannya. Bahkan, ia mendapat bantuan dari pihak militer untuk membangun tempat pelacuran yang lebih baik.

Sang Kolonel percaya tempat pelacuran itu memberi moral yang cukup baik bagi semangat tempur para prajurit, maka ia membuat satu laporan bagus dan sebulan setengah setelah kunjungannya, pos militer memutuskan untuk membangun tempat pelacuran yang lebih permanen. (hlm. 82).

Semakin berkembangnya bisnis Mama Kalong, semakin banyak gadis—tentu saja—pribumi yang mulai terseret ke dalam arus pelacuran. Bahkan, ketika penyakit sifilis mulai menjangkit para pelacur dan pelanggannya, Mama Kalong dapat memanfaatkan situasi tersebut. Lagi-lagi, tentara kolonial punya peranan kunci dalam bisnisnya. Setelah para tentara-tentara itu memperoleh gundiknya masing-masing di tempat pelacuran Mama Kalong, yang akan meminimalisasi penularan penyakit kelamin tersebut, Mama Kalong juga punya pelanggan baru dari pihak pribumi.

Kini ia bahkan memperoleh pelanggan-pelanggan baru menggantikan para prajurit untuk pelacur-pelacur itu: nelayan dan buruh pelabuhan. (hlm. 83).

Bisnis pelacuran Mama Kalong, rupanya bukan saja berdampak pada gadis pribumi sebagai penyedia jasa, melainkan juga pada pribumi lain yang menjadi pelanggannya. Bukankah hal tersebut telah sedikit mengubah atau mengganggu tatanan moral yang berkembang di masyarakat pribumi?

Di masa peralihan kekuasaan dari Hindia Belanda ke militer Jepang, Mama Kalong juga dapat terus menjalankan dan mengembangkan bisnisnya. Sekalipun, tentara-tentara Belanda yang merupakan pelanggan utamanya telah pergi, masih ada tentara-tentara Jepang yang membutuhkan jasa pelacurannya. Bahkan, Mama Kalong pulalah yang menyarankan agar gadis tawanan sebagai pelacur-pelacurnya. Dengan begitulah, Dewi Ayu mulai terlibat dalam dunia pelacuran di bawah langit Halimunda dan kerajaan Mama Kalong.

Kemudian tentara-tentara Belanda pergi dan tentara-tentara Jepang datang: tempat pelacuran Mama Kalong tetap berdiri di zaman yang berubah. Ia melayani prajurit-prajurit Jepang sama baik dengan pelanggannya terdahulu, dan bahkan mencarikan mereka gadis-gadis yang lebih segar. Hingga suatu hari ia dipanggil oleh penguasa sipil dan militer kota, dalam suatu interogasi pendek yang tak begitu mengkhawatirkan. Kesimpulannya, beberapa pejabat tinggi militer Jepang di kota itu menginginkan pelacurnya sendiri, terpisah dari pelacur prajurit rendahan dan apalagi buruh-buruh pelabuhan serta nelayan. Pelacuran-pelacuran baru yang sungguh-sungguh segar, dengan perawatan yang baik, dan Mama Kalong harus menemukan gadis-gadis itu secepat mungkin, sebab sebagaimana kata-katanya sendiri, mereka sedang sekarat karena berahi.

“Gampang, Tuan,” katanya, “memperoleh gadis-gadis seperti itu.”
“Katakan, di mana?”
“Tahanan perang,” jawab Mama Kalong pendek. (hlm. 84).

Hal lain yang menarik pada bagian ini adalah adanya dekonstruksi sejarah yang dilakukan Eka Kurniawan. Di dalam literatur-literatur sejarah, jarang sekali disebutkan gadis Belanda atau Indonesia yang terseret ke dalam arus pelacuran. Biasanya, gadis-gadis yang dijadikan pelacur berasal dari kalangan pribumi atau dari bangsa Asia. Namun, dengan adanya pembalikan kekuasaan, hal demikian menjadi memungkinkan dan tentunya dapat menjadi objek penelitian lebih jauh bagi para peneliti sejarah.

Baca juga:
Menerka Mata yang Enak Dipandang
Seksualitas sebagai Wacana Kekuasaan

Pelacuran barangkali memang sudah eksis sejak zaman prakolonial. Mengingat bagaimana raja-raja Jawa sangat gemar memelihara puluhan bahkan ratusan gundik di istananya. Namun, dengan adanya kolonialisme beserta segala akibat-akibatnya, bisnis tersebut kian semarak dan terbuka.

Setelah masa pendudukan Jepang usai, bisnis pelacuran Mama Kalong tetap hidup di Halimunda. Dewi Ayu pun terpaksa menjadi pelacur akibat terlilit hutang pada Mama Kalong. Bisnis pelacuran yang diwariskan oleh kolonialisme Belanda kepada Mama Kalong terbukti mampu bertahan melewati pelbagai peralihan zaman. Bagaimanapun, kolonialisme Belanda di Indonesia dan khususnya di Halimunda telah mewariskan mental dan cara pandang bagi bangsa terjajah, dalam hal ini merendahkan perempuan pribumi. Dan, lihat, bagaimana laki-laki (pribumi) berebut untuk menggunakan jasa seksual Dewi Ayu yang notabene merupakan keturunan Belanda, tak peduli akan tercekik oleh tarifnya.

Ia adalah pelacur paling favorit di kota itu. Hampir semua lelaki yang pernah ke tempat pelacuran, menyempatkan tidur paling tidak sekali bersamanya, tak peduli berapa pun uang yang harus mereka bayarkan. Bukan karena mereka telah terobsesi lama untuk meniduri perempuan Belanda, tapi karena mereka tahu Dewi Ayu seorang pecinta yang baik. (hlm. 104).

Selain kenikmatan seksual, tentu saja, dengan meniduri Dewi Ayu ada kenikmatan psikologis yang mampu menempatkan laki-laki pribumi merasa telah setara dengan bangsa Eropa.

***

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Cantik Itu Luka ditulis dengan gaya realisme magis. Dan, sebagaimana novel-novel realisme magis yang sering kita jumpai dalam kesusastraan Amerika Latin, Cantik Itu Luka telah menghancurkan batasan antara yang riil dan yang magis. Peristiwa aneh, mistik, dan tak masuk akal dipandang biasa-biasa saja dan bahkan dianggap sebagai kenyataan faktual.

Cantik Itu Luka menyajikan begitu banyak serangkaian peristiwa ganjil, mistis, dan yang bertentangan dengan logika modern. Misalnya, hantu orang-orang komunis yang berkeliaran di Halimunda pascapembantaian massal oleh militer. Keberadaan hantu yang mistis dianggap sebagai kejadian yang biasa saja, normal, dan wajar. Bahkan, hantu-hantu itu bisa diajak bicara dan minum kopi.

 “Apa kabar, Karmin?”
“Buruk, Kamerad,” jawab si orang luka, “aku telah mati.”

Krisan mundur ke belakang dengan wajah pucat dan bersandar ke dinding. Kamerad Kliwon menghampiri hantu itu, setelah mengambil seember air dengan lap. Ia membersihkan luka itu dengan penuh perhatian, sampai darah tak lagi mengalir.

“Apakah kau mau segelas kopi?” tanya Kamerad Kliwon, “tapi tanpa koran.”
“Kopi tanpa koran.”

Mereka minum kopi bersama sementara Krisan memandang tak percaya bahwa ayahnya bisa begitu akrab dengan hantu yang begitu menakutkan tersebut. Mereka bercerita soal tahun-tahun yang hilang, dan mereka tertawa-tawa kecil. Hingga ketika kopi telah habis, hantu itu pamit. (hlm. 369).

Tentu akan membuat pembaca bertanya-tanya, bagaimana hantu bisa begitu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang nyata, berbincang dan menikmati segelas kopi? Belum lagi, misalnya, Alamanda harus dua kali mengandung janin dan hilang begitu saja seperti angin.

Alamanda sendiri tak tahu apa yang terjadi karena ketika bangun tidur tiba-tiba ia bersendawa begitu keras seolah mengeluarkan begitu banyak angin dan tiba-tiba ia menemukan dirinya bagai seorang perawan bertubuh langsing tanpa bobot di dalam rahimnya. (hlm. 279).

Atau, misalnya peristiwa menghilangnya Ma Iyang setelah melompat dari bukit untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan Belanda (Ted Stammler).

Semua orang mencari, bahkan orang-orang Belanda, dan ajak-ajak. Semua sudut lembah itu mereka jamah, namun Ma Iyang tak pernah ditemukan, baik hidup maupun mati, hingga semua orang akhirnya percaya bahwa perempuan itu sungguh-sungguh terbang. Orang-orang Belanda juga percaya, termasuk juga Ma Gedik. (hlm. 35-36).

Bahkan, “orang-orang Belanda juga percaya”—orang-orang yang lebih mengedepankan rasionalitas—pada peristiwa ganjil itu.

Gejala mistis dan magis di dalam novel adalah upaya untuk melawan konsep empiris logis. Konsep itu, tak lain merupakan produk kolonial. Meskipun begitu, kebanyakan novel realisme magis justru berangkat dari realitas. Seperti Cantik Itu Luka sendiri yang menampilkan dekonstruksi terhadap sejarah Indonesia melalui riwayat Kota Halimunda.

Novel realisme magis memang akan menimbulkan efek keterasingan pada pembaca. Mempertanyakan logika empiris yang dimainkan oleh pengarang di dalam karyanya. Namun, justru barangkali itu menjadi salah satu efek yang diharapkan pengarang kepada pembaca. Mempertanyakan kembali secara kritis sejarah otoritatif yang sudah dituliskan, yang bahkan tak jarang, tak kalah absurdnya.[]

Catatan Kaki
[i] Mahayana, Maman S. Air Bah dalam Novel ‘Cantik Itu Luka’. Media Indonesia edisi 2 Maret 2003.
[ii] Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 49-57.
[iii] Setiawan, R. 2018. Pascakolonial: Wacana Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya, hlm. 134.

KOMENTAR

Pemimpin Redaksi Buruan.co.

You don't have permission to register