Membaca Riwayat Halimunda, Melintasi Imajinasi Kolonial
/iii/
Sebagaimana Gabriel Garcia Marquez menciptakan desa imajiner bernama Macondo, Eka Kurniawan juga menciptakan kota imajiner bernama Halimunda. Seluruh peristiwa di dalam cerita Cantik Itu Luka lebih banyak terjadi di Halimunda. Bahkan, seperti yang telah diterangkan sebelumnya, novel ini seolah mengisahkan riwayat Halimunda. Kemudian, perpindahan latar tempat cerita mengikuti gerak Dewi Ayu sebagai tokoh utama cerita.
Di dalam novel, Halimunda disebut sebagai pelabuhan terbesar di pantai selatan (hlm. 46). Juga, pemerintah kolonial mengembangkan kota itu sebagai kantong militer. Ketika Perang Asia Pasifik meletus dan Jepang berhasil menjatuhkan Hindia Belanda, pelabuhan Halimunda dipenuhi orang-orang Eropa yang akan berangkat mengungsi ke Australia (hlm. 46-48).
Setelah Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada militer Jepang, sisa-sisa orang Belanda di Halimunda diangkut oleh tentara Jepang menuju penjara bernama Bloedenkamp. Latar tempat cerita ikut berpindah dari Halimunda menuju Bloedenkamp. Penjara Bloedenkamp digambarkan sebagai berikut.
Sebelum ini, penjara itu diisi para kriminal berat: pembunuh dan pemerkosa, dan tahanan politik pemerintah kolonial, sebagian besar orang-orang Komunis sebelum dibuang ke Boven Digoel.
…
Itu penjara Bloedenkamp, artinya penjara darah, bahkan para kriminal menakutinya. Sekali kau berada di sana, kecil kemungkinan untuk melarikan diri kecuali mampu berenang lebih dari satu kilometer melewati lebar sungai dan selamat dari kejaran buaya. (hlm. 59-61).
Penggambaran penjara Bloedenkamp agak mirip dengan penjara Nusakambangan yang telah berdiri sejak kekuasaan kolonialisme Belanda. Letak geografis yang digambarkan di dalam novel pun sangat mirip. Hal ini bisa dijadikan satu hipotesis bahwa Halimunda tak jauh dari Pulau Nusakambangan. Sementara dalam hal waktu (jika disusun secara kronologis), penceritaan Cantik Itu Luka dimulai pada masa akhir kekuasaan kolonialisme Belanda sampai kekuasaan militer Orde Baru.
Kekuasaan kolonial Belanda direpresentasikan oleh kekuasaan militer Belanda dan pemilik perkebunan swasta Belanda. Sebagai kantong militer Belanda, Halimunda dikuasai oleh pihak militer Belanda. Salah satu bentuk kekuasaannya adalah ketika tentara Belanda melegitimasi praktik pelacuran Mama Kalong. Selain militer Belanda, kekuasaan juga direpresentasikan oleh pemilik perkebunan swasta seperti Ted. Ia bisa dengan bebasnya mengambil gadis pribumi sebagai gundiknya.
Setelah Perang Asia Pasifik meletus, militer Jepang mulai menjatuhkan daerah-daerah koloni Eropa, salah satunya Indonesia. Peralihan kekuasaan kolonial Belanda di Halimunda ke militer Jepang ditandai dengan peristiwa penyerahan kekuasaan dari Jenderal P. Meijer (hlm. 48).
Pada masa kekuasaan militer Jepang, gadis-gadis Eropa yang ditawan di penjara Bloedenkamp dijadikan pelacur. Melayani berahi para perwira tentara Jepang. Yang lebih mengerikan tentu saja menimpa para gadis pribumi yang dijadikan pelacur. Mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit rendahan dari siang sampai malam. Seperti budak seks bagi tentara Jepang.
Pada Dewi Ayu ia berkata sejujurnya bahwa ia seorang pemilik tempat pelacuran di ujung dermaga. Kini banyak di antaranya didatangkan ke sana dengan paksaan, untuk memenuhi nafsu berahi prajurit Jepang rendahan. Semuanya pribumi, kecuali di rumah ini.
“Kalian beruntung tidak melakukannya siang dan malam,” kata Mama Kalong. “Prajurit rendahan jauh lebih brengsek.” (hlm. 89).
Adalah Sang Shodancho pribumi pertama yang mengambil inisiatif untuk memberontak terhadap pendudukan Jepang. Ia adalah seorang Shodancho dari Daidan Halimunda. Ia seperti halnya pemuda pribumi lainnya yang dididik Jepang untuk mengantisipasi serangan sekutu pada Perang Asia Pasifik. Dengan teknik gerilya yang dipelajarinya, Shodancho dibantu prajurit pemberontak lainnya melancarkan aksi pemberontakan di Halimunda. Pemberontakan itu sendiri dilakukan pada 14 Februari.
Pembukaan pemberontakan berjalan begitu cepat, diawali penembakan ke markas Kempetai, tentara Jepang, di Hotel Sakura. Tiga puluh orang dieksekusi di lapangan bola, terdiri dari dua puluh satu orang tentara dan pegawai sipil Jepang, lima orang Indo-Belanda dan empat orang Cina yang dicurigai membantu orang-orang Jepang. Mayat-mayat itu diseret cepat menuju tempat pemakaman, dan dilemparkan begitu saja di depan rumah penggali kubur.
…. Mereka menurunkan Hinomaru, bendera Jepang, dan menggantinya dengan bendera mereka sendiri. Mereka berkeliling kota dengan truk dan meneriakkan slogan-slogan kemerdekaan, diikuti nyanyian lagu-lagu perjuangan. Ketika senja datang, tiba-tiba mereka menghilang seperti ditelan malam. Mereka tahu, orang-orang Jepang telah mendengar pemberontakan itu, dan bahkan seluruh Jawa mungkin telah mengetahuinya, dan secepat pagi datang, tentara bantuan sudah tiba. Itu malam terakhir mereka berkeliaran, dan selanjutnya adalah gerilya.
“Setelah segalanya,” kata Sang Shodancho, “Kita harus meninggalkan Halimunda sampai Jepang kalah.” (hlm. 137).
Seperti dalam sejarah umum yang telah dikenal oleh masyarakat, Jepang angkat kaki dari Hindia Belanda setelah pihak fasisme mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II. Peristiwa itu juga sekaligus menandai berakhirnya babak kolonialisme, baik oleh Eropa maupun saudara tua, Jepang di bumi Hindia Belanda. Republik Indonesia lahir di atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Uniknya, berita kemerdekaan Republik Indonesia terlambat sampai di Halimunda. Sehingga warga Halimunda menganggap tanggal 23 September sebagai hari kemerdekaan mereka.
Peristiwa unik lainnya adalah ketika Presiden Republik Indonesia mengangkat Sang Shodancho sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.
Surat itu datang dari Presiden Republik Indonesia, ditujukan untuk Sang Shodancho. Isi surat tersebut dengan segera diketahui seluruh kota, bahwa Presiden Republik Indonesia, telah menunjuk Sang Shodancho sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat dengan pangkat jenderal, atas kepahlawanannya memimpin pemberontakan 14 Februari.
… “Betapa menyedihkan mengetahui bahwa akulah yang pertama melakukan pemberontakan dan karena itu terpilih menjadi Panglima Besar. Aku bertanya-tanya tentara seperti apa yang kita miliki, memilih seorang lelaki yang bahkan belum mengenal kemaluan perempuan sebagai Panglima Besar.” (hlm. 146).
Sang Shodancho sendiri tak pernah mengambil jabatan tersebut. Sehingga posisi Panglima Besar akhirnya jatuh ke tangan Jenderal Soedirman.
Seminggu setelah itu, ia memperoleh berita melegakan yang dibawa kurir lain. Mengingat kursi Panglima Besar tak juga pernah diduduki Sang Shodancho selama berbulan-bulan, para panglima divisi dan komandan resimen seluruh Jawa dan Sumatera bermusyawarah untuk mencari pengganti dirinya. “Presiden Republik telah mengangkat Kolonel Sudirman sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat dengan pangkat jenderal,” kata sang kurir.
“Puji Tuhan,” katanya, “Jabatan itu hanya cocok bagi orang yang menginginkannya.” (hlm. 147).
Setelah itu, perang kembali pecah setelah tentara KNIL dan NICA melakukan agresi militer ke beberapa wilayah Indonesia dalam upaya kembali merebut kekuasaan kolonial. Sang Shodancho kembali melawan dengan cara bergerilya di hutan. Perang tersebut berakhir setelah perundingan di meja bundar. Sang Shodancho yang kecewa dengan hal tersebut memilih untuk tetap tinggal di hutan dan menjalankan bisnis penyelundupan. Ia tak mengambil kesempatan untuk menjadi penguasa militer di Halimunda.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Mayor Sadrah, kini ia penguasa militer kota, “Tak ada lagi gerilya.”
Dengan tenang Sang Shodancho menjawab, “Tak ada yang harus dikerjakan tentara di masa damai. Maka aku akan berdagang saja di tengah hutan.”
Sang Shodancho hanya kembali ke Halimunda atas permintaan Mayor Sadrah untuk membasmi hama babi hutan. Namun setelah itu, Sang Shodancho memutuskan untuk menetap di Halimunda setelah bertemu dan jatuh cinta pada anak gadis Dewi Ayu bernama Alamanda.
Itu ia buktikan dengan memasang papan nama di depan bekas markas shodannya: Rayon Militer Halimunda. Kepada Mayor Sadrah yang muncul secara tiba-tiba setelah mendengar keputusannya untuk tinggal di kota dan terutama pendirian rayon militer yang sesuka hati, ia berkata pendek, “Kini aku Komandan Rayon Militer, setia pada sumpa prajurit, dan menunggu perintah.”
“Jangan membuat lelucon. Kau seorang jenderal dan tempatmu di samping presiden,” kata Mayor Sadrah.
“Aku akan menjadi apa pun asalkan tetap di kota ini, di samping gadis yang namanya kau sebutkan untukku,” katanya dalam nada yang begitu menyedihkan, “Bahkan seandainya aku harus menjadi seekor anjing sekalipun.” (hlm. 158-159).
Dalam beberapa penggambaran cerita tentang Sang Shodancho, terdapat kemiripan dengan sosok pahlawan nasional bernama Sodancho Soeprijadi. Sodancho Soeprijadi juga melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Jepang di Blitar pada 14 Februari 1945. Ia juga diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Keamanan Rakyat pada 6 Oktober 1945, tapi ia tak pernah muncul dan setelahnya dianggap menghilang.
Setelah menetap di Halimunda, Shodancho tak serta-merta menjadi penguasa di kota tersebut. Sekalipun sosoknya dikagumi oleh para penduduk Halimunda dan didukung oleh kekuatan militer. Malah, Halimunda pascakemerdekaan dikuasai oleh gerombolan preman pimpinan Maman Gendeng.
Baca juga:
– Manusia, Politik, dan Korupsi Orang-orang Proyek
– Kemiskinan dalam Potret Keluarga
Maman Gendeng datang ke Halimunda untuk mencari Rengganis Sang Putri. Namun, Rengganis Sang Putri telah mati sejak ratusan tahun yang lalu. Tak menemukan apa yang dicarinya, Maman Gendeng berupaya menguasai Halimunda dengan mengalahkan Edi Idiot, pimpinan preman penguasa Halimunda. Maman Gendeng berhasil membunuh Edi Idiot dalam sebuah duel, sekaligus menjadi penguasa Halimunda.
Tak lama kemudian, kepastian itu diperoleh. Edi Idiot akhirnya memang mati setelah ditenggelamkan ke dalam air laut dan ia telah kehilangan banyak tenaga untuk terus melawan. Mayatnya dilemparkan lelaki itu ke tengah laut, tempat sepasang hiu sahabatnya terus menanti, bersuka ria atas kiriman santapan sore yang tak diduga-duga itu. Maman Gendeng kembali ke pantai, menghadapi hampir seluruh kota yang menyaksikan pertarungannya, tampak begitu segar seolah ia masih bisa melanjutkan tujuh perkelahian serupa. Kepada orang-orang itu ia memberi maklumat. “Semua kekuasaan beralih kepadaku.” Dan menambahkan hal yang sangat penting baginya: “Tak seorang pun boleh meniduri Dewi Ayu di tempat pelacuran Mama Kalong kecuali aku.” (hlm. 123).
Maman Gendeng seketika menjadi penguasa Halimunda. Ia menarik pajak kepada para pedagang dan bus di terminal Halimunda. Ia juga memonopoli Dewi Ayu untuknya sendiri. Polisi dan militer Halimunda tak dapat berbuat banyak untuk mengganggu kekuasaannya. Bahkan, terkesan cari aman daripada mencari gara-gara dengannya. Apalagi setelah Maman Gendeng mengancam Sang Shodancho di kantornya.
Shodancho segera mengenalinya sebagai petarung di pantai itu, namun sebelum ia mengatakan apa pun, Maman Gendeng mendahuluinya, “Dengar Shodancho.” Dan menambahkan dengan segera: “Tak seorang pun boleh tidur dengan Dewi Ayu kecuali aku, dan kukatakan jika kau berani kembali ke tempat tidurnya, aku akan memporakporandakan tempat ini tanpa ampun.”
… Jengkel dengan sikap angkuh preman di hadapannya, dan didorong oleh kemarahan yang datang tiba-tiba, Sang Shodancho mencabut pistol yang tergantung di pinggangnya. Pengait dilepaskan dan ia menodongkannya pada lelaki itu seolah ia ingin mengatakan bahwa ia tak takut ancaman apa pun dan sebaiknya kau segera angkat kaki dari sini kecuali kau ingin aku menembakmu.
….
“Dengar, Shodancho,” katanya. “Aku mengeluarkan belati ini bukan untuk menyerangmu, tapi untuk memperlihatkan bahwa aku tak takut kepadamu karena aku kebal terhadap apa pun, baik pelurumu maupun pisau belatiku.” (hlm. 131-132).
Kekuasaan Maman Gendeng beserta kelompok preman yang dipimpinnya di Halimunda tak mutlak dan absolut. Meskipun, Sang Shodancho yang tak berkutik dengan ancamannya, militer tetaplah pihak yang menjadi ancaman bagi kekuasaan Maman Gendeng. Tak jarang kedua kubu ini berkonflik hingga puncaknya hampir menciptakan perang sipil di Halimunda. Namun, dapat diselesaikan dengan perjanjian damai di antara Sang Shodancho dan Maman Gendeng.
Persekutuan yang dijalin antara kelompok preman dan pihak militer membuat penduduk Halimunda lebih bersimpati kepada Partai Komunis. Selain memang Partai Komunis sedang mengalami kebangkitan yang pesat di Indonesia, partai itu dipimpin oleh pemuda yang paling dikagumi di Halimunda, Kamerad Kliwon. Kamerad Kliwon tak hanya memiliki kharisma, tapi juga menunjukkan keberpihakannya kepada penduduk Halimunda.
Namun persahabatan itu diterima penduduk kota dalam satu kegamangan. Mereka bersyukur bahwa segala persoalan di kota itu bisa diselesaikan di meja permainan kartu dengan demikian mudah, tapi menjadi cukup menjengkelkan sebab kemudian mereka mulai menyadari bahwa telah terjadi konspirasi licik antara para prajurit dan para preman untuk menikmati uang yang diperas dari sebagian besar warga kota. Kesadaran yang sama muncul bahwa kini mereka tak punya siapa pun kepada siapa mereka akan mengadu. Jangan harap mereka memohon pada polisi yang kerjanya hanya meniup peluit di perempatan jalan.
Itu adalah waktu ketika Partai Komunis kemudian menjadi satu-satunya tempat mereka berpaling, terutama kepada Kamerad Kliwon. Keduanya, Kamerad Kliwon dan Partai Komunis, memperoleh puncak reputasinya yang paling mengguncangkan semua partai yang ada di masa itu di Halimunda. (hlm. 263).
Keberadaan Kamerad Kliwon dan Partai Komunis sangat mengganggu bisnis penangkapan ikan Sang Shodancho. Bersama serikat nelayannya, Partai Komunis yang dipimpin oleh Kamerad Kliwon ini terus mendesak agar kapal-kapal besar penangkap ikan milik Sang Shodancho untuk tak lagi beroperasi di perairan dangkal tempat nelayan kecil mencari ikan. Ini adalah bentuk kontradiksi antara nelayan kecil dengan borjuasi yang ditampilkan oleh Eka Kurniawan di dalam Cantik Itu Luka. Sekalipun yang ditampilkan bukanlah kontradiksi pokok, yakni antara buruh dan majikan.
Hal di atas, ditanggapi oleh Sang Shodancho sebagai dendam Kamerad Kliwon yang telah merebut kekasihnya, Alamanda. Seperti yang diungkapkannya kepada Maman Gendeng.
Begitulah kadang mereka membicarakan Kamerad Kliwon. Sang Shodancho hampir selalu percaya bahwa laki-laki itu tak sungguh-sungguh seorang komunis tapi hanya melampiaskan dendam karena kekasihnya Alamanda kini kawin dengan Sang Shodancho. Hal ini membuat Maman Gendeng tertawa mendengar drama semacam itu (meskipun sesungguhnya ia telah tahu peristiwa tersebut) dan mengajukan pendapat bahwa tak seharusnya memang merebut kekasih orang lain. Sebab ia pun pernah merasa begitu sakit hati ketika mendengar Sang Shodancho meniduri Dewi Ayu. Mendengar hal itu Sang Shodancho memerah mukanya, lalu matanya berkaca-kaca bagaikan anak kecil kehilangan ibunya. (hlm. 263-264).
Tentu saja, tuduhan Sang Shodancho atas iman komunis Kamerad Kliwon tak tepat. Jauh sebelum bertemu Alamanda, Kamerad Kliwon telah memutuskan menjadi seorang komunis. Bahkan, ayah Kamerad Kliwon juga seorang komunis yang dieksekusi oleh militer Jepang. Meskipun, memang iman komunis tak diwariskan melalui darah.
Namun, ada hal yang menarik dalam cerita ketika Kamerad Kliwon berjumpa dengan Kamerad Salim, sahabat ayahnya dan seorang pimpinan Partai Komunis. Ia terlibat dalam peristiwa Madiun Affair 1948. Ada kemiripan antara tokoh Kamerad Salim dengan riwayat hidup Musso, sekretaris jenderal Partai Komunis Indonesia yang baru saja pulang dari Soviet setelah Indonesia semakin terdesak oleh Belanda.
Kemiripan dan kesamaan antara Musso dan Kamerad Salim antara lain dekat dengan Presiden Sukarno sejak tinggal di pemondokan yang sama di Surabaya (hlm. 171), pergi ke Soviet selama beberapa lama untuk belajar tentang komunisme lebih dalam (hlm. 172), diminta oleh Presiden Sukarno untuk membereskan revolusi (hlm. 173-174), dan mati ditembak di kamar mandi serta mayatnya dibakar (hlm. 175-177).
Meskipun Partai Komunis mendapati perhatian yang sungguh luar biasa dari penduduk Halimunda, tapi partai itu belum berkuasa sepenuhnya. Partai itu keburu hancur setelah anggota dan simpatisannya dibantai pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965. Lebih dari seribu orang komunis Halimunda dibunuh dan ditangkap. Pembantaian dan penangkapan itu dilakukan oleh pihak militer dan dipimpin langsung oleh Sang Shodancho. Setelah serangkaian peristiwa ganjil saat upaya pencariannya, akhirnya Kamerad Kliwon ditangkap di kantor partai.
Ambruknya Partai Komunis menandai babak awal kekuasaan militer di Halimunda. Setelah menyingkirkan orang-orang komunis, militer juga mulai membantai kelompok preman yang dipimpin Maman Gendeng. Awal mula pembantaian ini terjadi ketika kelompok preman membakar kantor polisi (hlm. 440), membantai anjing-anjing di Halimunda (hlm. 442), dan mulai meneror penduduk Halimunda (hlm. 443). Pembantaian preman-preman itu dipimpin langsung oleh Sang Shodancho.
“Kita tak akan melakukannya seperti ketika membantai orang-orang komunis,” ia berkata, “semua yang terbunuh harus dimasukkan karung.”
Maka satu buah truk datang dengan muatan penuh karung kosong.
Operasi itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan kepanikan massal penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pakaian sipil bersenjata, juga para penembak gelap, menuju kantong-kantong para begundal. Mereka mengidentifikasikan setiap preman sebagai orang-orang bertato, peminum, dan terutama yang tertangkap basah sedang membuat keonaran maupun membunuh anjing, dan mereka semua akan ditembak di tempat sebelum dimasukkan ke dalam karung dan melemparkannya ke selokan atau digeletakkan begitu saja di pinggir jalan. Penduduk menemukannya akan mengubur mereka bersama karung-karungnya: itu jauh lebih praktis daripada membalut mereka dengan kain kafan.
…
Secepat pagi datang, pada hari pertama, separuh preman yang dimiliki kota itu telah lenyap, ditelan karung-karung yang diikat dengan tali plastik. Mereka bergeletakan di sepanjang jalan, terapung di sungai, dipermainkan ombak di pesisir, teronggok di semak-semak, dan bergelimpangan di selokan. (hlm. 445-446).
Begitulah, riwayat Kota Halimunda dituturkan dari penguasa satu ke penguasa lain, dari pembunuhan satu ke pembantaian lain, dan dari dendam satu ke dendam yang lain. Dan, pembunuhan dan dendam itu berjalin di sekitar keluarga Dewi Ayu.