Fb. In. Tw.

Membaca Riwayat Halimunda, Melintasi Imajinasi Kolonial

/ii/
Sebagaimana novel-novel lain yang ditulisnya, Cantik Itu Luka dibuka dengan adegan yang fantastis dan luar biasa. Seorang perempuan bangkit dari kuburnya setelah mati selama 21 tahun. Pun, sebagaimana novel-novel Eka Kurniawan lainnya, peristiwa bangkitnya Dewi Ayu dari kematian bukanlah kejadian awal cerita bila disusun secara kronologis.

Dewi Ayu adalah seorang pelacur, mati pada usia 52 tahun atas kehendaknya sendiri. Motivasinya untuk mati, dua belas hari setelah melahirkan anak keempatnya yang buruk rupa—dengan ironisnya diberi nama Cantik—tak begitu jelas. Namun, hampir seluruh tokoh utama di dalam Cantik Itu Luka memang memiliki perilaku, sikap, mental, dan keinginan yang aneh, ganjil, sekaligus menggelikan.

Sejujurnya, saya dibuat penasaran dengan apa yang membuat Dewi Ayu bangkit dari kematiannya. Juga, apa yang memotivasi Dewi Ayu untuk mati (dengan cara yang tak masuk akal). Sebagaimana gayanya bercerita, Eka Kurniawan hanya menyediakan jalan memutar bagi pembaca. Pada jalan yang memutar itu, pembaca akan menyusuri sebuah riwayat kota imajiner bernama Halimunda.

Jika disusun secara kronologis, Cantik Itu Luka bermula dari kisah sepasang kekasih Ma Gedik dan Ma Iyang. Keduanya tak bisa bersatu lantaran Ma Iyang dipaksa menjadi gundik seorang Belanda bernama Ted Stammler.

“Ke mana kau pergi?”
“Ke rumah Tuan Belanda.”
“Untuk apa? Kau tak perlu jadi jongos orang Belanda.”
“Memang tidak,” kata si gadis. “Aku jadi gundik. Kelak kau panggil aku Nyai Iyang.”
“Tai,” kata Ma Gedik. “Kenapa kau mau jadi gundik?”
“Sebab jika tidak, Bapak dan Ibu akan jadi sarapan pagi ajak-ajak.” (hlm. 29).

Ted adalah pemilik perkebunan cokelat dan kelapa swasta terbesar di Halimunda. Peristiwa Ted mengambil Ma Iyang sebagai gundik sebetulnya agak ganjil. Biasanya, tuan-tuan Belanda meninggalkan keluarganya di Belanda, lalu mengambil perempuan pribumi sebagai gundik. Sementara Ted tinggal bersama istrinya, Marietje.

Hal itu bisa saja sebagai penyimpangan yang disengaja oleh pengarang. Untuk menunjukkan kepada pembaca, betapa bejatnya moral bangsa Eropa. Padahal, mereka menjunjung tinggi moral Kristen dan kemanusiaan abad pencerahan yang diagung-agungkan, dan sebagai salah satu legitimasi adanya kolonialisasi. Memperadabkan bangsa jajahan.

Bahkan, penyimpangan lainnya adalah ketika anak hasil dari penggundikan itu diakui dan diberi nama keluarga oleh Ted. Hal ini juga membalikkan fakta umum bahwa hanya sedikit orang Belanda yang mau memberi nama keluarga kepada anak haramnya. Hal ini berkaitan dengan pengakuan di mata hukum yang kelak berdampak pada pembagian hak warisan. Sekalipun, dalihnya adalah untuk menghindari penggunjingan di kamar bola (hlm. 40).

Sepasang anak Ted Stammler dari dua perempuan itu kemudian terlibat cinta sedarah. Dewi Ayu sendiri merupakan buah dari cinta sedarah antara Henri dan Aneu Stammler. Lahirnya Dewi Ayu bukan saja membuat skandal yang memalukan bagi keluarga Stammler, melainkan juga membuat Ma Iyang berjumpa kembali dengan kekasih lamanya, Ma Gedik.

Perjumpaan Ma Iyang dan Ma Gedik merupakan peristiwa bersejarah yang tak mungkin dilupakan oleh semua orang di Halimunda. Mereka bercinta di atas bukit dan berakhir dengan Ma Iyang yang melayang dari atas bukit dan menghilang. Kejadian tersebut, bukan saja ganjil, melainkan juga terkesan magis.

“Ketika tahu hal itu, nenekmu menjadi histeris seperti orang gila. Ia lari dari rumah dan tak terkejar bahkan oleh kuda dan mobil sampai kami menemukannya di puncak bukit cadas. Ia tak pernah turun, tapi terbang dari sana.”

“Oma Marietje terbang?” tanya Dewi Ayu.
“Bukan, Ma Iyang.” (hlm. 41).

Seolah dewa cabul merasuki mereka, keduanya berlari mendekat dan berpelukan begitu erat, saling mencium di bawah kehangatan matahari tropis. Dan demi melampiaskan hasrat-hasrat prasejarah mereka yang terpendam, mereka menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuh, melemparkannya hingga pakaian-pakaian itu melayang menuruni bukit, berputar-putar dipermainkan angin bagai bunga-bunga mahoni. Orang-orang dibuat terkejut memandang hal itu nyaris tak percaya, beberapa orang terpekik, dan orang-orang Belanda dibuat merah mukanya. Hingga ketika, tanpa sungkan, keduanya bercinta pada sebuah batu cadas ceper ditonton orang-orang yang memenuhi lembah bagaikan menonton film di bioskop, perempuan-perempuan saleh menutup wajah mereka dengan ujung kerudung dan para lelaki dibuat ngaceng tanpa berani saling memandang, dan orang-orang Belanda berkata satu sama lain:

“Apa kubilang, inlander itu monyet, belum juga manusia.”

Tragedi yang sesungguhnya baru terjadi ketika mereka selesai bercinta, ketika Ma Gedik mengajak kekasihnya menuruni bukit cadas dan pulang ke rumah, hidup saling mencintai dan saling mengawini. Itu tak mungkin, kata Ma Iyang. Sebelum mereka menjejak kaki di lembah, orang-orang Belanda akan melemparkan mereka ke kandang ajak.
….
Untuk membuktikan ucapannya, Ma Iyang yang telanjang dengan tubuh berkeringat memantulkan cahaya matahari seperti butir-butir mutiara melompat terbang menuju lembah. Ia lenyap di balik kabut yang mulai turun. (hlm. 34-35).

Terdapat dua cerita yang saling bertolak belakang dari dua kutipan cerita di atas. Bagi Ted, Ma Iyang lari menuju bukit cadas karena menjadi gila setelah mengetahui Aneu melahirkan anak dari hubungannya dengan Henri dan minggat. Sementara itu, sebelumnya diceritakan bahwa Ma Gedik dan Ma Iyang telah berjanji akan berjumpa kembali setelah enam belas tahun dipisahkan. Hari itu adalah hari yang dijanjikan oleh sepasang kekasih itu.

Ma Gedik kembali pada kehidupan semulanya yang menyedihkan. Ia kemudian dipaksa mengawini Dewi Ayu atas kehendak Dewi Ayu sendiri. Mereka menikah beberapa waktu sebelum tentara Jepang membawa Dewi Ayu beserta seluruh bangsa Belanda di Halimunda ke penjara Bloedenkamp. Setelahnya, Ma Gedik menjadi gila dan berupaya mengikuti jejak Ma Iyang, lompat dari bukit cadas. Malangnya, Ma Gedik mati setelah melompat dari bukit tersebut.

Ketika menjadi tawanan Jepang inilah, awal mula Dewi Ayu terseret ke dalam pelacuran. Setelah tinggal selama dua tahun di Bloedenkamp, Dewi Ayu bersama sembilan belas gadis lainnya dibawa untuk kemudian dijadikan sebagai pemuas berahi perwira-perwira Jepang. Saat itu pula, Dewi Ayu bertemu dengan Mama Kalong, mucikarinya.

Cantik Itu Luka terus bergerak bersama riwayat kehidupan Halimunda dengan pusat cerita berada di sekitar Dewi Ayu beserta anak dan menantunya. Riwayat Halimunda adalah juga kisah tentang perebutan dan peralihan kekuasaan dari satu tangan ke tangan lainnya. Setidaknya ada lima fase kekuasaan yang dialami oleh Halimunda: (1) kekuasaan kolonialisme Belanda, (2) pendudukan Jepang, (3), kekuasaan kelompok preman, (4) kebangkitan Partai Komunis, dan (5) kekuasaan militer. Fase-fase tersebut, lebih khusus akan dibicarakan pada bagian selanjutnya.

Menariknya, kekuasaan Halimunda pascakemerdekaan Republik Indonesia erat berkaitan dengan Dewi Ayu. Tiga menantu Dewi Ayu, setidaknya menjadi representasi penguasa Halimunda. Kelompok preman yang direpresentasikan oleh Maman Gendeng, kebangkitan Partai Komunis yang direpresentasikan oleh Kamerad Kliwon, dan militer yang direpresentasikan oleh Shodancho. Tiga kekuatan di atas saling berkonflik satu sama lain.

Setelah menyusuri riwayat Halimunda yang rumit, aneh, dan penuh kejutan, pada bagian akhir novel, kita akan menemukan alasan Dewi Ayu mati dan kemudian bangkit kembali dari kematiannya. Yakni, untuk menghancurkan kutukan dari Ma Gedik kepada keluarganya.

Ma Gedik mengutuk seluruh keturunan Ted Stammler agar dipisahkan dari orang-orang yang dicintainya. Kutukan itu membuat semua anak-anak Dewi Ayu berpisah dengan kekasih dan anaknya, tak terkecuali si bungsu, Cantik yang lahir belakangan dengan fisik yang buruk rupa. Sekalipun Dewi Ayu berhasil membunuh ruh Ma Gedik, tapi tak berhasil menghentikan kutukannya.

“Aku mati pada umur lima puluh dua tahun, atas kehendakku sendiri, dengan harapan aku bisa menahan kekuatan roh jahatmu,” kata Dewi Ayu. “Dan hari ini aku datang. Apakah kau percaya pada manusia yang bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun mati? Aku bukan manusia, maka aku bisa membunuhmu.”

“Kau berhasil membunuhku, tapi kutukanku akan terus berjalan.” (hlm. 461).

KOMENTAR

Pemimpin Redaksi Buruan.co.

You don't have permission to register