Membaca Kisah Personal
Di tengah hiruk pikuk berita tentang kemanusiaan; korban bencana alam, kabar pengungsi yang kelaparan, korupsi, pemerkosaan, beberapa orang lebih memilih menceritakan kehidupan pribadi dirinya sendiri. Pada lini masa Instagram atau Twitter misalnya, cerita-cerita berseliweran dan kita akan melihat banyak kehidupan personal di antara berita-berita mengenai kemanusiaan.
Sama halnya dengan karya sastra, sebagai salah satu media yang mencoba menampilkan realitas, cerita kemanusiaan dan kehidupan personal akan mudah kita temukan. D Inu Rahman Abadi misalnya, melalui cerpennya yang berjudul “Mata yang Mengatup Tiba-tiba”, dia ingin menceritakan kepada pembaca mengenai kerinduan seorang anak kepada ibu, orang tua tunggalnya, yang jauh tertinggal di kampung dan tertinggal oleh zaman.
Cerpen “Mata yang Mengatup Tiba-tiba” karya D Inu Rahman Abadi dimuat kolom Pertemuan Kecil Harian Pikiran Rakyat edisi Minggu 7 Januari 2018. Cerpen ini merupakan solilokui tokoh aku yang kemudian dikenal dengan nama Rini. Diawali dengan kondisi ibunya yang setia menunggu seseorang atau apa di balik pintu rumah itu. D Inu mencoba memancing simpati pembaca melalui beberapa perumpamaan:
Pintu rumah itu tertutup setelah ibu benar-benar ingin menunggu. Tidak pernah Lelah menunggu. Ketika mata ibu seperti boneka yang tak pernah mengatup dan tanpa apa pun di sana selain kekosongan. Juga terus basah seperti kuncup daun di atas lembah. Embun itu, adalah sesuatu yang terus menempel padanya.
Perumpamaan mata ibunya seperti mata boneka yang tak pernah mengatup dan tanpa apa pun selain kekosongan terkesan sedikit berlebihan. Bagaimana mungkin seorang manusia hidup tidak pernah mengatupkan matanya? Bahkan boneka Susan atau boneka lain yang memiliki kelopak mata bisa digerakkan untuk mengatupkan matanya. Dan perumpamaan tersebut menjadi ganjil dengan sandingan perumpamaan pada kalimat berikutnya. Karena mata yang tidak pernah mengatup tentu saja tidak akan terus basah seperti kuncup daun di atas lembah. Meski mungkin saja dengan perumpamaan tersebut, D Inu mencoba menegaskan judul yang dia pilih untuk cerpennya.
Cerpen ini terdiri dari tiga fragmen dengan fragmen pertama yang sudah dijelaskan. Fragmen kedua menceritakan keputusan Rini untuk meninggalkan ibunya sendiri demi kuliah jauh di kota. Lalu ingatan-ingatan masa kecil Rini bermunculan dalam fragmen ini. Bagaimana Ibunya mengenalkan Rini pada dunia dan mengenal nama-nama. Hanya Ibunya, Rini tidak pernah dikenalkan dengan bapaknya. Nama, wujud, dan data mengenai bapaknya adalah misteri bagi Rini. Kemudian ingatannya meloncat dan mengingatkan Rini betapa iri dirinya melihat keluarga tetangga yang lengkap dan bahagia ketika lebaran tiba.
Dalam ingatan Rini, tidak ada hal yang disebutkan secara rinci, misal di kampung mana dia tinggal atau tahun berapa sampai tahun berapa dia tinggal bersama ibunya. Pembaca sepertinya dibiarkan untuk rewel mengira-ngira latar mana dan kapan yang pas dengan cerita tersebut.
Kemudian ingatan Rini sampai di hari perpisahan. Diceritakan bahwa pada hari tersebut ibunya tiba-tiba berubah menjadi pendiam, padahal sebelumnya tidak ada ciri atau motif mengenai karakter Ibu. Ganjil rasanya jika ‘pendiam’-nya ibu ini terjadi dengan tiba-tiba. Karena sebelumnya tokoh ibu justru dikenalkan dengan segala isyarat atau cerita-cerita yang menurut Rini coba disembunyikan di matanya. Tentu akan berlainan jika sebelumnya karakter ibu yang (bisa dibilang) cerewet sudah dibangun.
Setelah mereka benar-benar berpisah, Rini mulai gelisah dengan keadaan ibunya yang tertinggal sendirian. Tapi Rini seolah-olah pasrah dengan ketidakberdayaannya berkabar atau menerima kabar. Sejauh apa kampung yang ditinggalkannya itu? Sehingga banyak waktu yang dilewati hanya dengan kecemasan. Apakah Rini tidak memiliki cukup uang bahkan hanya untuk menjenguk ibunya? Bagaimana dengan biaya hidupnya di kota yang sama sekali tidak diceritakan? Apakah kampungnya sangat sulit diakses, sehingga mengirim kabar melalui surat sekalipun sangat mustahil? Padahal ibunya jelas tidak buta huruf karena dia lah yang mengenalkan dunia kepada Rini melalui buku. Banyak hal yang saling berseberangan dan dibiarkan begitu saja.
Di akhir fragmen kedua, dihadirkan makna kangen bagi ibu. Tapi ada pertanyaan mengganjal yang disimpulkan Rini berdasarkan ingatannya mengenai apa yang ibunya katakan mengenai rasa kangen:
“Kangen sama halnya keinginan. Keinginan mengulang sesuatu. Andai bisa, ibu ingin kembali terjaga ketika kamu menangis butuh ASI. Menemani kamu bermain di halaman. Menangkap capung dan kupu-kupu. Memanjakanmu dalam buaian atau menina-bobokkanmu di ayunan. Ah, rasanya….”
Aku merasakan keanehan waktu itu. Merasa bingung dengan ucapannya. Ibu membicarakan keadaan yang sama-sekali tidak bisa terulang. Apakah kangen bagi ibu hanya sesuatu yang tak mungkin berulang kembali? Apa kangen sama dengan kenangan?
Saya kira perkataan ibu tidak perlu dibingungkan apalagi dipertanyakan karena pasti rasa kangen itu kepada kenangan kepada masa lalu. Mana ada yang kangen kepada masa depan? Yang ada paling khayalan.
Fragmen ketiga dimulai dengan mimpi Rani yang didatangi ibunya hingga akhirnya memutuskan pulang. Dalam fragmen ini barulah pembaca mengetahui jarak antara kota tempat tinggal Rani dan kampung halamannya. Pasti sangat jauh, karena dia harus memakai pesawat untuk mencapai kampungnya. Tapi sayang ibu tak langsung mengenalinya.
Butuh beberapa waktu hingga ibu mengenali Rani. Dan suatu hari setelah ibu mengenalinya, ibu dengan tiba-tiba tanpa motif apapun menceritakan rumah yang selalu ditatapnya. Ternyata dulu ada seorang laki-laki yang sangat ibu cintai namun kabur begitu saja setelah mengetahui ibu mengandung Rani.
Secara tiba-tiba juga Rani menelepon seseorang yang diakui anaknya. Lalu kejanggalan semakin menjadi saat ibunya tiba-tiba meninggal setelah disodorkan telepon dari cucunya.
Cerita selesai tapi apa yang bisa saya dapatkan selain cerita kesedihan yang terlalu dipaksakan? Di sana-sini banyak kejanggalan dan penulis seolah tidak sadar dengan tidak menutupinya. Misal kenapa ibunya tiba-tiba saja menceritakan sosok ayah Rini meski selewat? Lalu disusul dengan serentetan peristiwa yang juga tiba-tiba. Kenapa ibunya harus meninggal setelah mendengar Rini memiliki anak? Apa karena kaget?
Cerpen ini menceritakan kisah personal antara ibu dan anak dengan mencoba untuk menarik simpati kita terhadap tokoh-tokohnya, namun dalam eksekusinya kisah personal ini terlalu sulit untuk dimengerti. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kejelasan tentang latar, peristiwa, dan motif tokoh.
Bagaimanapun sebuah peristiwa dalam sebuah cerita pendek, mesti memiliki rasionalitas yang cukup dimengerti oleh pembaca. Hubungan antar tokoh dan sebab akibat sebuah menjadi penting untuk dihadirkan meski hanya sekilas.[]