Fb. In. Tw.

Membaca Kembali 30 Tahun Teater Awal Cirebon

Catatan untuk Ulang Tahun ke-30 Teater Awal IAIN Syekh Nurjati

Tiga puluh tahun adalah usia cukup umur. Idealnya, beririsan dengan konsep-konsep kematangan dan kemapanan. Tapi, untuk perjalanan aktivitas pergaulan komunal emosional dan proses kreatif sebuah kelompok teater (kampus), barangkali masih perlu melakukan upaya merunut kembali dan meninjau ulang kerekatan antargenerasi yang tidak jarang putus nyambung dan centang perenang.

Bahkan, ada kalanya waktu terasa pergi begitu cepat, tak bisa diulur, dan tak berjejak. Sebab, siapa mampu menghalau batasan kontrak studi (dengan logika masa efektif beraktivitas di unit kegiatan mahasiswa 3-4 tahun)? Artinya, jika mulai terlibat di UKM sejak semester 1, pada semester 7 seorang mahasiswa sudah menghadapi serangkaian tugas akhir. Di ujung kenyataan, yang kekal hanyalah individu-individu yang datang dan pergi. Berteater tak ubahnya merehabilitasi mental atau sekadar singgah di warung kopi pinggir jalan. Selebihnya, ibarat menumpuk kenangan untuk diziarahi di kemudian hari.

Siapa sanggup menjamin, pada usia berapa seseorang sudah harus bisa apa? Jika ada yang mengatakan, selama proses terus berjalan, yang ditunjukkan dengan produksi-produksi pentas hingga ke sekian puluh atau ratus judul lakon, ditambah latihan rutin sesuai program kerja atau masa bakti terus digiatkan, kelompok teater akan tetap ada dan berdiri kokoh. Pertanyaannya, apakah semekanis dan sesimpel itu indikator keberlangsungan hidup teater (kampus) dari generasi ke generasi? Bagaimana dengan proses transformasi nilai dan ideologi yang, sepertinya, tidak pernah sampai dan berkelanjutan baik sebagai manusia atau sebagai insan teater yang sedikit banyak telah membentuk sikap hidup para pelakunya?

Publik di Cirebon tentu sudah mengenal Sanggar Seni Teater Awal Cirebon (SSTAC). Sanggar ini adalah unit kegiatan mahasiswa teater tertua di Kota Cirebon (19 November 1992). Koernady Chalzoum sebagai salah satu pendiri, nampak jelas masih setia mendampingi dan mengayomi sampai generasi terkini. Intensitas dan perhatian positif semacam ini, saya agak sangsi dimiliki oleh kelompok teater kampus lain di Cirebon. Bahkan, aktor cum sastrawan Edeng Syamsul Ma’arif dalam esainya mengatakan SSTAC sebagai Benteng Terakhir Teater Kampus di Cirebon (Radar Cirebon, 28 November 2016). 

Lantas, bagaimana caranya agar pertahanan itu tidak jebol? Saya juga tidak tahu, apakah dua hal tersebut menjadi pemantik sekaligus menggedor kesadaran para anggota Teater Awal untuk terus bergerak produktif atau justru semakin terlena dan jumud?

Dari sekian daftar program SSTAC, barangkali, momentum perayaan ulang tahun bertajuk Pergelaran Seni Teater Awal (PESTA) merupakan agenda paling menonjol dan ditunggu. Pada PESTA ke-29 tahun ini, Teater Awal menyuguhkan pertunjukan berjudul “Saling Maling”. Ada pula monolog dari kampus lain; “Para Penjilat” dan “Racun Tembakau” Teater Geni Institut Agama Islam Cirebon (IAIC), “Ini Anu” Teater 28 Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya. Juga Festival Teater Pelajar Cirebon (FTPC) rutin digelar meski tidak selalu pasti ada tiap tahunnya. Dari perlombaan itu, kemudian muncul kategori penilaian aktris terbaik, aktor terbaik, sutradara terbaik, penata artistik terbaik, dan kelompok teater terbaik. Tentu saja, ini kabar gembira bagi keberlangsungan khazanah teater remaja di Cirebon. 

Namun, entah apa sebabnya, dari tahun ke tahun kualitas dan kuantitas terasa semakin menyusut. Terlihat dari makin sedikitnya peserta dan menurunnya mutu garapan. Apakah atmosfer dunia teater di Cirebon tengah mengalami krisis kepercayaan diri? Inilah yang kemudian diduga menjadi satu dari sejumlah sebab yang membuat teater kampus di Cirebon mulai kehilangan daya hidupnya. 

Apakah pegiat teater di Cirebon tidak cukup cermat membaca fenomena dan gagasan di ruang lain? Sebagaimana peristiwa yang berlangsung di Kabupaten Kuningan, misalnya, yang ditunjukkan oleh membludaknya penonton hingga lebih dari 5.500 penyaksi pementasan “Bakti Ekalaya” Teater Pecut Universitas Kuningan (naskah dan sutradara Arip Hidayat) yang berlangsung pada 4-13 November 2022. Secara sederhana, kita bisa menilai ada strategi manajerial yang diyakini dan dikerjakan terus menerus dengan intensitas dan semangat yang melampaui ukuran rata-rata kelompok lain.

Bahkan, dalam diskusi kecil seusai pertunjukan monolog “Racun Tembakau”—Koernady Chalzoum, Edeng Syamsul Ma’arif, Aziz Awaliyah (pemeran Racun Tembakau), Ajay (Ketua Umum SSTAC), Azis Fahrul Roji (Kaisar Teater 28)—Koernady berulang menegaskan, butuh waktu minimal lima tahun untuk  melakukan pemulihan agar Teater Awal kembali seperti ideologi dan tradisi kreatif yang dibangun oleh para pendirinya. Itu pun dengan sejumlah syarat kesungguhan, keinginan bersama untuk berubah, loyalitas, perencanaan, kekompakan, serta kesadaran bahwa seluruh rancangan itu diniati sebagai perjalanan dari nol lagi.

 

Teater Bukan Pekerjaan
Menukil pandangan Benny Yohanes a.k.a BenJon dalam esai “Teater dan Struktur Orang Mampir” (Metode Kritik Teater, 2017: 388), agaknya masih cukup relevan dengan situasi teater (kampus) di Cirebon saat ini, bahwa berteater bukanlah suatu pekerjaan. Pekerjaan yang bisa mengikat anggotanya ke arah tradisi berpikir, berprestasi, masuk dalam kontur sejarah berhitung dengan proyeksi, menjalani rutin serta memekarkannya ke arah restrukturisasi diri. Setiap individu bertahan dalam teater bukan dalam bentuk pengabdian, melainkan suatu kemuliaan ironis yang muncul dari semacam naluri kesyahidan: ada satu pilihan yang meminta lebih banyak dari kesentosaan hidup pribadi, yang jika pilihan itu disudahi, maka hidup tak lagi memberi terapi. 

BenJon juga menyebut, para sesepuh teater seperti Suyatna Anirun, W.S. Rendra, Arifin C. Noer, Wisran Hadi, Teguh Karya, tidak memberikan contoh bahwa berteater adalah suatu pekerjaan. Maka, mudah dipahami mengapa banyak orang hanya numpang lewat di teater. Karena itu sudah menjadi ciri struktural yang permanen sifatnya. Dengan tradisi semacam itu, kata BenJon, sampai kapan pun, tidak akan pernah berhasil menjadi penghuni teater sesungguhnya.

Mari kita tengok cerita-cerita perjuangan Mohamad Sunjaya atau akrab disapa Kang Yoyon dari kelompok teater Actors Unlimited yang terpaksa menjual sepeda motor dan radio satu-satunya untuk membiayai produksi garapan teater, atau seorang Radhar Panca Dahana yang tetap kukuh berteater meski fisiknya mengharuskan untuk istirahat total (Lima Tahun Pertama Actors Unlimited 1999-2004: 2004). Apakah nama-nama besar itu dapat gaji dari teater?

Di samping bukan pekerjaan, lanjut BenJon, minat emosional yang lebih kentara ketimbang berdialektika adalah akar penyebab kelompok teater kampus tidak memiliki kekuatan internal untuk merevitalisasi kredo-kredonya sendiri. Belum lagi, menggenapi kebutuhan produksi dengan kiat “mengemis” sponsor seolah menjadi pakem tanpa alternatif dalam setiap rancangan produksi hingga detik ini. 

Dengan langgengnya problem-problem kompleks macam itu, kenapa para pegiat teater kampus masih (nekat) terus menerus memproduksi kebingungannya sendiri? Maka, tidak mengherankan, apabila berteater dikerjakan bukan karena kesetiaan dan pertaruhan harga diri, publik akan cenderung lebih mengenal para pendahulu sebuah kelompok teater sebagai patron. Sampai di sini, saya pikir, terlalu banyak pekerjaan rumah bagi pegiat teater yang perlu diurai satu-satu dan ditata kembali. 

Paling tidak, saat menjadi anggota teater tak sekadar mendapat pengalaman yang sulit dilupakan, pertemanan dan persaudaraan, makan bersama beralaskan daun pisang, jumawa berdiri di atas panggung, merasa sudah bisa akting, merasa pernah bermain musik, membuat setting panggung, tahu blocking dan lighting. Serta merasa tahu Molière, Jerzy Grotowski, Konstantin Stanislavski, Bertolt Brecht, Anton Pavlovich Chekhov, Edgar Allan Poe, William Shakespeare, meski mungkin hanya membaca kata pengantar.

Di sisi lain, saya senang SSTAC me-launching buku yang diberi judul Kumpulan Naskah Teater pada sampul depannya. Barangkali, itu menjadi sebentuk penanda kebanggaan lebih dari seperempat abad Teater Awal Cirebon hadir dan berkarya. Naskah-naskah drama karya anggota terdokumentasi lebih rapi. Tidak melulu mengoleksi naskah orang lain. Semoga ini menjadi sebuah pencapaian yang lebih progresif.

Tapi, saya harus kecewa. Ketika sore menjelang gelap di teras gedung IAIN Cirebon Center (ICC) yang dihujani rintik-rintik, saya bertanya kepada salah seorang senior Teater Awal Cirebon yang secara kebetulan sama-sama berteduh di situ, “kepada siapa harus membeli? Berapa harganya? Siapa yang membahas pada saat launching?” Saya hanya mendapat entah, sebagai jawaban.

KOMENTAR

Pegiat sastra Lingkar Jenar. Pecinta Kopi

You don't have permission to register