Membaca Cianjur Lewat Mamaos dan Priangan Si Jelita
Apa yang terlintas dalam benak Anda tiap kali mendengar kata Cianjur?
Jawaban yang diberikan bisa amat beragam, mulai dari tauco, bubur ayam, maenpo, kuda kosong, Dalem Cikundul, Utuy Tatang Sontani, terowongan kereta api Lampegan, situs megalitik Gunung Padang, Istana Cipanas, Taman Bunga Nusantara, lirik nostalgik “Semalam di Cianjur”, hingga band Armada.
Jawaban-jawaban di atas menunjukkan bahwa cukup sulit untuk mengidentifikasi Cianjur lewat satu-dua perkara semata. Sejarah Kabupaten Cianjur yang (setidaknya) membentang sejak diakuinya Aria Wira Tanu II sebagai regent (bupati) pada tahun 1691 oleh VOC, terbukti terus berusaha memproduksi berbagai artefak monumental sampai hari ini.
Terlepas dari beragamnya daya tarik Cianjur di mata masyarakat umum, bagi saya pribadi, mengenal Cianjur lewat lirik serta larik-larik karya sastra cukup mampu memberi kesan-kesan tersendiri.
Sastra bukanlah barang baru bagi masyarakat Cianjur. Bahkan jauh sebelum sastrawan Utuy Tatang Sontani lahir, sastra telah ditulis oleh Raden Wira Tanu Datar, bupati pertama wilayah penghasil beras pandanwangi itu. Sastra yang lazim pada saat itu, ditulis dalam bentuk pantun (namun bukan pantun seperti dalam pengertian sastra Melayu). Dan pada masa R.A.A. Koesoemahningrat (Bupati Cianjur ke VIII, dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti) Seni Pantun kembali digali dan dikembangkan menjadi sebuah produk budaya baru yang dinamakan mamaos.
Mamaos atau tembang Cianjuran merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan rebab. Di luar kualitas vokal, yang tak kalah menarik dari mamaos ialah kualitas liriknya, syairnya. Simak lirik mamaos berikut.
Gunung Gede siga nu nande, nandean ka badan abdi,
Gunung Pangrango ngadago, ngadagoan abdi wangsul,
wangsul ti pangumbaraan kebo mulih pakandangan,
nya muncang labuh ka puhu, anteurkeun ka nagarana
Syair di atas sedikit banyak mengingatkan saya pada larik-larik puisi pastoral yang banyak ditulis penyair modern. Citraan realis seperti Gunung Gede, Gunung Pangrango, serta kebo mulih pakandangan pada syair tersebut menunjukkan adanya kedekatan emosional antara pengarang lagu dengan kondisi sosio-geografis tempat tinggalnya. Bahkan dalam syair lain, mamaos sebagai produk kesenian tidak semata melukis realitas belaka. Ia, bahkan menjelma menjadi arsip sejarah. Simak syair berikut.
Daweng diajar ludeung,
Pusaka dayeuh Cianjur
Kawitna ti Cibalagung
Cibalagung kantun suwung
Nya ngalih ka Pamoyanan
Pamoyanan kantun ngaran
Nya ngalih ka tebeh wetan
Badak putih tetenggerna
Dugika ayeuna pisan.
Apa yang tersurat dalam lirik mamaos di atas, nyatanya sesuai dengan tulisan Reiza D. Dienaputra dalam Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (2000: 135-136). Dalam tulisan tersebut, Reiza menyatakan bahwa kedudukan nagri Cianjur sebagai sebuah kabupaten yang berkembang di zaman VOC tak bisa dilepaskan dari prestasi Aria Wira Tanu III (1707-1726) dalam memindahkan ibukota Cianjur dari Pamoyanan ke Kampung Cianjur. Atas keberhasilannya itulah Aria Wira Tanu III sendiri kemudian lebih dikenal sebagai pendiri Cianjur.
Lain syair mamaos lain pula baris-baris puisi Priangan Si Jelita. Dalam kumpulan masterpiece-nya tersebut, penyair Ramadhan K. H. dengan cermat melukis (mojang) Cianjur lewat ungkapan imajis berikut.
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.
Pada baris di atas, penyair Ramadhan dengan lembut menyandingkan dua hal yang sejatinya bertentangan. Betapa mata coklat (mata indah) mojang Cianjur, nyatanya secoklat tanah tempat tinggalnya yang berlumur darah.
Pemaknaan pada baris puisi di atas setidaknya dapat dimasuki lewat kedudukan Cianjur sebagai daerah penghasil kopi. Sejarah mencatat, salah satu prestasi Aria Wira Tanu III sebagai bupati ialah keberhasilannya menjadikan Cianjur sebagai wilayah pertama di Tatar Priangan yang menyerahkan hasil panen kopinya pada VOC. Dan, lantaran hal itu pulalah VOC akhirnya menjadikan Cianjur sebagai sentra produsen kopi di Priangan.
Namun, apa yang tampak baik di mata VOC tidak selamanya mesti tampak baik pula di mata rakyat. Pada Aria Wira Tanu III, hal demikian terlihat saat ia dengan tegas menerapkan hukum tanam paksa pada rakyatnya. Atas kebijakan itu, sudah barang tentu VOC diuntungkan dan rakyat dirugikan.
Kerugian rakyat Cianjur semakin menjadi saat VOC membayar kopi seharga 17,5 gulden pada Aria Wira Tanu III, sementara Aria Wira Tanu III sendiri hanya membayarkan 12 gulden pada rakyatnya. Lantaran hal itulah pemberontakan terjadi. Betapa kopi, yang mulanya hadir sebagai permata di singgasana Aria Wira Tanu III, akhirnya malah menjadi jembatan bagi Aria Wira Tanu III dalam menghadapi ajalnya.
Ya, salah satu versi sejarah mencatat bahwa Aria Wira Tanu III meninggal lantaran ditusuk oleh rakyat yang kecewa atas segala kebijakannya terkait urusan kopi. Tanah Cianjur yang subur pun akhirnya mesti menampung darah rajanya sendiri.
Teringat cerita tragis Aria Wira Tanu III di atas, sambil terus membaca Priangan Si Jelita, mendadak terasa ngilu Ramadhan K. H. mengakhiri baris-baris kumpulan puisinya itu.
Juga belati di batu laut,
Tak setajam
Cianjuran di atas petikan pantun.
Memang, di atas petikan pantun, tembang Cianjuran kerap terdengar lebih menyayat ketimbang goresan belati mana pun.[]
Sumber gambar: proghita.com & goodreads.com