Fb. In. Tw.

Memasuki Kepala Penuh Teror

Catatan Kru Panggung Pertunjukan Tari “Skizofrenia”

 

Saat maghrib hampir habis, kami (kru panggung) masih sibuk hilir mudik merapikan aula Gedung Indonesia Menggugat (GIM) di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung. Kami mengubah aula tersebut menjadi “kotak hitam” untuk pertunjukan tari “Skizofrenia” karya koreografer muda Santi Pratiwi.

Karya ini merupakan peraih hibah seni keliling Yayasan Kelola 2016. Selain di Bandung,  Santi dan rombongannya juga akan menggelar karya tersebut di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 18-19 Agustus mendatang.

Dalam undangan dan poster pertunjukan akan dimulai tepat pukul 19.00 pada 30 juli 2015. Namun, para awak media juga beberapa seniman, dan penonton umum sudah berkumpul di pelataran GIM sejak adzan maghrib masih berkumandang.

Sesuai permintaan Santi sebagai koreografer, ruangan GIM kami rubah menjadi black box plus dengan lorong yang digantungi kantung-kantung sperma (stoking berisi balon dengan air dan lampu LED) yang menggantung bebas sepanjang lorong gelap dari pintu masuk menuju kotak hitam tempat perjunjukan digelar. Kurang lebih pada pukul 19.30, penonton baru diizinkan memasuki lorong tersebut menuju tempat pertunjukkan.

Sebelumnya, seorang suster menjelaskan apa saja yang akan terjadi di dalam ruangan. Ricilia atau Cicil, aktris muda berbakat dari Teater Lakon dan Teater Getih, yang bertugas sebagai suster. Saya sendiri tidak menyaksikan aksi suster Cicil sebab sudah berada di dalam area pertunjukan sebagai kru panggung juga mengarahkan penonton yang masuk, hal ini saya dapat dari briefing sebelum pertunjukan dimulai.

“Maju terus, ya kamu, iya kamu yang baju merah jangan diam saja terus maju, ke kanan, ya kamu cepat lari,”  suara bisikan itu mulai terdengar. Mungkin sejak para penonton mulai memasuki lorong hitam dengan kantung-kantung sperma menyala sebelum akhirnya sampai di kotak hitam.

Tidak ada kursi untuk penonton, semua bebas duduk di manapun. Hanya ada tumpukan koran di salah satu sudut ruang dengan sebuah kursi yang juga dibungkus oleh koran dan beberapa barang yang bergantung di sana, ada pisau, sikat gigi, spatula, botol minuman, gayung, sendok, garpu, dll. juga sebuah ranjang besi rumah sakit diletakan tepat di bawah sebuah jendela yang terbuka.

Pada saat itu, saya mulai merasakan kebingungan para penonton yang masuk, mereka tampak ragu untuk duduk, bisikan-bisikan terus terdengar makin liar. Saya sendiri sebagai kru panggung merasa bingung dan menjadi penonton seutuhnya sebab memang tak pernah menyaksikan pertunjukan ini sebelumnya. Bahkan, ketika gladi saya dan Acil masih sibuk memperbaiki lorong yang masih belum sempurna menurut penilaian sang koreografer.

Penonton mulai duduk bebas hampir memenuhi seriap sudut ruangan, meski masih terasa kebingungan bahkan beberapa menonton memilih berdiri di antara lorong dan ruang pertunjukan. Tiba-tiba bisikan-bisikan yang sedari tadi mengoceh berubah menjadi suara tajam menusuk telinga feedback panjang memulai adegan gila para penari.

Seorang penari masuk dari sudut ruangan (Asep Bin) membawa bola menyala yang menggantung di tangannya kemudian bergerak melakukan tarian api. Jika diperhatikan bola yang dia mainkan sama dengan yang menggatung di lorong, ruangan masih remang, lighting fokus pada pria yang tengan melakukan fire dance. Kemudian melakukan beberapa trik sulap di sudut lain panggung dengan bantuan multi media yang ditata oleh Aji Sangiji.

Adegan tersebut cukup menarik tawa dari para penonton, terlebih ketika sudut ruang yang disorot oleh multimedia direspon oleh Asep Bin, saya menangkap multimedia itu mungkin sebagai visualisasi dari pikiran Asep Bin. Satu momen digambarakan panorama, tiba-tiba berubah menjadi gempa bumi, gambar seram yang diikuti oleh gerakan juga musik yang mencekam.

Bagian lain muncul empat penari (Galih, Patri, Risa, dan Riska) koreo yang cepat dan acak cukup membuat penonton kaget, apalagi dilakukan tanpa batas dengan para penonton. Tak ada batas ruang antara penari dan penonton, bahakan mereka bisa berinteraksi satu dan lainnya. Musik berganti sangat cepat kadang hanya berupa ritmis, bagian lain semisal intruksi untuk para panari.

Gerak yang dtampilkan Asep Bin (penderita skizofrenia) lebih mendekati pantomim, juga koreo dari empat penari lainnya yang saya tafsirkan sebagai bayangan yang mengganggu penderita Skizofresia. Mendekati akhir pentas masuk sosok besar (Galuh) dengan pakayan serba hitam, dengan tudung mereah menyerupai gadis bertudung merah dlm cerita eropa, membawa pisau membusikan perintah pada Asep Bin, dan sega perintah Galuh.

Dari pertunjukan ini saya sendiri semakin yakin panggung seni kontemporer membuat tipis batas antara satu disiplin kesenian dengan lainnya. “Skizofrenia” menjadi pertunjukan tari kontemporer sebab panggarapnya memiliki latar belakang tari, jika saja yang menggarapnya berlatar belakang teater mungkin saja ini menjadi pertunjukan teater tubuh atau apa pun sejenis dengan itu.

Mencoba Memahami “Teror”
Selintas saya dengar dalam konfrensi pers sehari sebelum pertuntukan, Santi sebagai koreografer mengatakan bahwa garapannya ini ingin mencoba memahami para penderita skizofrenia. Santi melakukan riset akademis selama dua tahun di RSJ Menur Surabaya sebagai salah satu proses kreatif dalam penciptaan karyanya ini. Ya, tentu kami para awak panggung mencoba mennafsirkan keinginan dari kroreografer meski belum khatam betul dengan konsep yang beliau bawa.

Pertunjukan ingin menggiring apresiator ke dalam kepala para pengidap skizofrenia yang secara umum dianggap sebagi orang gila. Kotak hitam atau Santi lebih senang menyebutnya black box harus tercipta di Aula GIM dan lorong yang sempit menujunya membuat kami mecari kain hitam sebanyak-banyaknya dari beberapa kelompok teater di Bandung.

Tapi kenapa harus teror yang dimunculkan? Pertanyaan itu yang mungkin akan saya ajukan dalam diskusi seusai pertunjukkan. Tapi sayang, saya tak bisa ikut dalam forum itu karena ruangan harus kembali rapi, dan esok pagi semua barang pinjaman harus kembali pada pemiliknya.

Sepenjang perjalanan dalam lorong hitam dengan luas tidak lebih dari 1,5 meter, bisikan diperdengarkan tanpa henti, seolah-olah memberi intruksi pada para penonton hingga merasakan apa yang dirasakan oleh para pengidap skizofrenia yang kerap mengalami delusi. Dan, bisikan-bisikan yang dihadirkan oleh penata musik mas Cecep selama penonton memasuki ruangan.

Koreografi yang cepat dan terkesan acak dilakukan dekat dengan penonton, cukup menghadirkan kejutan tersendiri. Penari dapat menyentuh, bahkan mempermainkan atau melibatkan penonton dalam gerak yang mereka lakukan. Musik yang dibuat berisik sekan asal buat dengan feedback di sana-sini. Jeritan dan ketakutan yang dihadirkan oleh para penari cukup membuat kita menjadi ikut gila.

Teror memang salah satu gejala yang dimiliki oleh pengidap skizofrenia. Skizofrenia sendiri sebuah penyakit kejiwaan yang salah satu gejalanya adalah mengalami paranoid. Tapi, bukan hanya paranoid, bisa saja hal lainnya, semisal kehilangan konsentrasi, frustasi, dan keinginan yang berlebihan. Santi Pratiwi sendiri sebagai dalang dari pertunjukan ini hanya menghadirkan sisi paranoid dan delusi yang dimiliki oleh par pengidap “kegilaan” ini. Hal ini cukup berhasil dan mungkin saja di antara penonton yang hadir merasa dirinya menjadi skizofrenik.

Hitam menjadi pilihan untuk menggambarkan isi kepala, delusi, dan segala hal yang sulit ditebak. Delusi pengidap skizofrenia dihadirkan pada multimedia, juga pada barang-barang yang digantungkan di sudut panggung, tatanan audio dari penanta musik. Tapi, hal ini menjadi sangat artifisial dan mudah diterka arahnya.

Begitupun pemilihan artistik yang stereotipe, semisal pisau atau setan sebagai  bentuk dari ketakutan seperti sosok hitam yang dimainkan oleh Galuh yang berbadan besar dengan tata rias serba hitam juga suara yang sedikit menggeram. Selain delusi yang dihadirkan koreografer, juga menghadirkan realitas yang terjadi pada masyarakat.

Mendekati akhir pentas para penari-pengidap skizofrenia atau masyarakat menyebutnya “gila” mendapat perlakuan buruk bahkan dari keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Ejekan, pemasungan, bahkan ada yang mengikatnya dengan rantai seperti hewan liar. Dalam pentas, Patri dikat oleh rantai, Risa dipasung kakinya, dan Riska diikat di ranjang.

Di samping itu semua, kami pun para kru panggung mencoba memahami “kegilaan” yang dimiliki koreografer. Kami mencoba mewujudkan black box, lorong sempit tamu cocok untuk berjalan para penonton, menggantungkan balon-balon di sepanjang lorong, ranjang besi rumah sakit dengan kasur tipis yang usang, juga mencari benda-benda yang akan di gantungkan di atas kursi dan tumpukan koran di salah satu sudut areal pertunjukan. Dan, di sana kami pun ikut menjadi gila dan waspada, terkadang ragu. Karena apa yang kami kerjakan seringkali tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan pemilik konsep.

Pentas berakhir dengan kemunculan suster Cicil di tengah erangan para pengidap skizofrenia (penari) yang tengah dijerat berbagai belenggu. Menuntun para penonton menuju ruang lain di luar kotak hitam. Melewati kembali lorong untuk sebuah diskusi pasca pertunjukan yang dipandu Taufik Darwis, kritikus muda yang tengah menunda tesisnya.

Sayang sekali, saya tak bisa mengikutinya sebab harus melakukan kegilaan lain, mengubah kembali ruang yang dua malam kami ubah sedemikin rupa kembali ke asalnya.[]

KOMENTAR
Post tags:

Aktor. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Tinggal di Bandung.

You don't have permission to register