Memahami Anak-anak dalam Cerpen
Dunia anak tak bisa dilepaskan dari proses panjang kehidupan. Pada fase perkembangan, anak-anak terus belajar dengan sendirinya. Namun perlu bimbingan dari orang tua untuk menjaga mereka pada jalur yang sesuai dengan usianya. Untuk memahami pribadinya, kita harus menjadi bagian dari dunia mereka; dunia yang penuh daya khayal, polos, dan jujur.
Oleh karena itu, dunia anak sangat menarik untuk dijadikan ide dalam karya sastra. Banyak karya sastra yang mengangkat tema perihal anak, baik proses perkembangan psikologi, individu, maupun dunia mereka. Seperti dalam cerpen “Belajar Menggambar Ibu Kota” yang dimuat HU Pikiran Rakyat edisi 15 April 2018, karya penggiat sastra asal Cirebon, Rizky D. Akbar. Rizky pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Tenggelamnya Bulan Sabit (2018).
Cerpen Rizky, “Belajar Menggambar Ibu Kota” mengangkat tema persoalan cara pandang anak terhadap kehidupan sosial. Melalui dunia anak yang imajinatif, Rizky menyoroti realitas sebuah kota dan kehidupannya. Rizky juga mengangkat persoalan, bagaimana memahami dunia anak dan sikap orang tua dalam memberikan pengasuhan.
Cerpen ini dimulai dengan menceritakan seorang anak bernama Rinai. Di usia sekolahnya, Rinai bercita-cita menjadi seorang pelukis. Cita-citanya itu didukung oleh kedua orang tuanya, dengan membelikan semua kebutuhannya. Hingga orang tua Rinai kewalahan karena Rinai begitu produktif dengan hobinya melukis.
Rinai masih duduk di bangku sekolah dasar. Di mana sekolah dasar merupakan awal dari cita-cita yang setiap anak inginkan. Rinai memiliki cita-cita yang sangat mulia. Ia ingin menjadi pelukis. Sejak kecil, ibunya, sering kali membelikan buku gambar. Kemudian, ia dapat menggambar apa pun dengan sesuka hatinya. Sering kali ibunya kewalahan. Tidak punya uang. Lantaran ia harus membelikan buku gambar yang banyak, dan pensil warna.
Berdasarkan penceritaannya, saya teringat sebuah konsep kecerdasan di usia dini menurut Howard Gardner, bahwa anak mampu mengevaluasi dan mengenali dirinya sendiri. Hal inilah yang dinamakan kecerdasan intrapersonal. Rinai mampu mengenali keinginannya untuk menjadi pelukis. Dan orang tua dituntut untuk memahami keinginan itu agar tumbuh kembang anak secara psikologis tidak terganggu, yang bisa mengakibatkan masalah di usia remajanya kelak. Cerpen ini diakhiri dengan sebuah peristiwa di mana anak mampu mengekspresikan pikirannya melalui gambar. Peranan orang tua, guru, dan masyarakat di sekelilingnya, sedikit banyak memengaruhi perkembangan anak.
Terkadang kita sebagai orang dewasa kesulitan memahami anak-anak. Walaupun kita sebenarnya pernah mengalami fase tersebut. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah kecerdasan interpersonal yang berbeda sesuai dengan perkembangan usia. Hal ini menjadi persoalan yang diungkapkan melalui cerpen ini.
Ibunya, pernah berpikir akan membawa anaknya itu ke psikiater. Bapaknya tidak setuju. Ia berkata bahwa Rinai masih kecil dan sangat senang dengan dunia yang sedang ia jalani; menggambar dan melukis. Hal ini kemudian mereka ceritakan kepada mertuanya. Kakek dan nenek Rinai hanya dapat tertawa.
“Rinai itu sangat senang menggambar dan melukis. Apa salahnya kalau kalian mendukung bakat anak kecil itu?” tanya neneknya pada suatu waktu.
“Tetapi, Mah, ia sering menghabiskan lipstik punyaku untuk melukis gambarnya itu.”
“Kau kan bisa menasihatinya, bukan malah memarahinya.”
Ibunya bingung harus bagaimana lagi menghadapi tingkah laku Rinai. Suami dan juga mertuanya, tidak dapat ia harapkan. Mereka mendukung keinginan dan bakat dari anaknya.
Dari kutipan di atas kita bisa melihat upaya memahami dunia anak, termasuk kejiwaannya. Sementara sastra dalam kerangka psikologi, memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra1.
Selain persoalan memahami dunia anak, menariknya, cerpen ini memuat sebuah kritik terhadap realitas sosial perkotaan melalui sudut pandang anak-anak. Meskipun saya meragukan kritik itu kurang memberi dampak terhadap pembaca, terlebih pada realitas kehidupan itu sendiri.
“Rinai tidak mau menggambar sawah, karena hari ini sawah sudah diganti dengan supermarket. Rinai juga tidak mau menggambar gunung, karena hari ini gunung sudah dipenuhi sampah. Biasanya kan bu, kalau ada gunung pasti ada gambar burung yang terbang.
Rinai tidak menggambarnya, karena burung-burung itu banyak yang sudah punah karena diburu,” ibu guru terkejut dan tersenyum tanpa rencana.
Bagaimana anak-anak bisa memberikan sebuah pandangan terhadap lingkungannya secara kritis? Baiknya kita memosisikan diri sebagai orang tua yang sedang memahami dunia anak dengan kecerdasannya. Mempertimbangkan teori Howard Gardner dalam bukunya Multiple Intelligences2, Gardner membagi kecerdasan manusia menjadi 8 bagian, yaitu: kecerdasan spatial atau kecerdasan visual, kecerdasan linguistik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan naturalistik, kecerdasan kinetik atau kemampuan ragawi, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan logical mathematics. Anak pada usia perkembangannya memiliki semua kecerdasan itu, meskipun yang menonjol pada setiap individu tentunya berbeda, begitu pula dengan level kecerdasannya.
Berkenaan dengan kritik dalam cerpen ini, kecerdasan yang menonjol dari tokoh Rinai adalah kecerdasan logika dan naturalistik, selain kecerdasan intrapersonal seperti yang sudah disinggung di atas. Anak-anak pada dasarnya mampu mengenali alam sekitarnya dan memilah nilai-nilai baik dan buruk yang terjadi. Hal ini menjadi wajar dan logis dalam memahami dunia anak-anak.
Dalam karya sastra, tokoh adalah ciptaan pengarang. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa kritik yang dimunculkan dalam cerpen ini adalah gagasan dari pengarangnya. Rizky menggunakan tokoh Rinai untuk menyampaikan realitas kehidupan. Dalam hal menyampaikan gagasan kepada pembaca, adalah hak pengarang menggunakan tokoh apapun dalam karyanya. termasuk tokoh anak-anak.
Cerpen dengan tokoh anak-anak juga ada dalam cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul “Melukis Jendela” dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang saya Monyet (Gramedia Pustaka Utama, 2002)3. Djenar menggunakan tokoh Myra untuk menggambarkan realita seorang gadis yang terpenjara dalam keluarga. Mayra merasa kesepian dalam keluarganya. Ia pun mencari sosok seorang Ibu yang tak pernah ia jumpai. Adapun Anita di rumahnya itu bukanlah Ibunya, melainkan wanita simpanan Ayahnya. Akhirnya Mayra kecewa dan berusaha mengenali dirinya sendiri.
Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan membakar lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasa dirinya dikhianati. Ia lebih membenci lukisan Ayah dan Ibu ketimbang Ayahnya yang seharian pergi atau menulis di dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan wanita. Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi kebenciannya terhadap Ibu yang tak pernah berusaha untuk mencari dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah kepadanya. Kepada Ayah dan Ibu ia sudah tidak punya pengharapan apa-apa. (MBSM, 2002: 31)
Setipikal dengan cerpen Djenar dalam hal penggunaan tokoh, cerpen Rizky menggunakan tokoh Rinai untuk mengungkapkan realitas dalam keluarga. Representasi tokoh anak-anak dalam karya sastra dimungkinkan sebagai ungkapan yang jujur, polos, kritis, dan penuh daya imajinasi. Namun dari segi kualitas karya, saya tidak ingin menyejajarkan cerpen Rizky dengan cerpen Djenar. Disamping gagasan dan pokok pikirannya berbeda, cerpen “Belajar Menggambar Ibu Kota” ini, saya nilai belum memiliki kekuatan untuk menjadi sebuah karya yang sempurna.
Baca juga:
– Di Bawah Titik yang Tak Sederhana
– Kemiskinan dan Keterasingan
Kekurangan pertama dalam cerpen ini adalah teknik penyampaian ceritanya. Saya masih mendapati teknik memberitakan. Kalimat-kalimat dalam cerpen ini seperti sebuah peristiwa-peristiwa yang disusun secara kasar. Misalnya, dalam menunjukkan tokoh Rinai adalah anak usia pendidikan dasar, seperti dalam kutipan sebelumnya di atas. Menjadikan kalimat-kalimat tersebut seperti sebuah pemberitaan. Tidak memiliki kekuatan estetika imajinatif. Dalam menyusun peristiwa pun, misalnya, kalimat dalam cerpen ini terbata-bata dan tidak mengalir sebagaimana cerpen yang nikmat untuk diikuti alur peristiwanya.
DI tempat yang jauh dari hiruk-pikuknya kota, Rinai membuka mata dan menghirup udara segar. Padahal, ibunya telah berkali-kali membangunkan Rinai untuk segera mandi dan berangkat ke sekolah. Ibunya membukakan tirai jendela. Rinai masih mengucek-ucek matanya dan masih ingin bermalas-malasan. Rinai mengangkat kaki dan menuju kamar mandi.
Selesai mandi, Rinai melihat jam di dinding. Ia lupa bahwa sebentar lagi jam pelajaran dimulai. Kemudian, ia bergegas ke sekolah dengan berlari-lari. Sebab, jarak dari rumah ke sekolah hanya dilewati dengan beberapa meter saja. Rinai dapat berangkat jam berapa saja, asalkan ia tidak datang terlambat.
Hari ini ibunya tidak ikut mengantarkan Rinai ke sekolah. Ia sedang sibuk dengan urusan rumahnya. Sebab, sore hari akan ada pengajian rutin setiap satu minggu sekali. Dari satu rumah ke rumah yang lain, pengajian rutin itu terlaksana dengan baik. Sementara ayahnya, sejak fajar menyapa sudah berada di pasar untuk berdagang. Penghasilan dari berdagang itu tidak seberapa. Apalagi, setiap ada pedagang makanan yang mampir di depan rumahnya, Rinai selalu membeli. Dan, harus selalu sedia buku gambar dengan pensil warna yang harus ayahnya belikan.
Dari tiga paragraf di atas, saya bisa merasa kesulitan membayangkan peristiwa. Selain berloncatan, peristiwa tidak disusun dengan baik. Semua hal berusaha dimunculkan, tetapi tidak membangun karakter maupun keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lain. Apalagi, setiap ada pedagang makanan yang mampir di depan rumahnya, Rinai selalu membeli. Dan, harus selalu sedia buku gambar dengan pensil warna yang harus ayahnya belikan. Saya merasa kesusahan menyelaraskan peristiwa ini.
Dari ulasan di atas, saya merasa cerpen Rizky ini masih perlu proses pematangan. Dan sebagai penggiat sastra yang cukup produktif, Rizky memang tidak berhenti belajar mematangkan karyanya. Hal ini bukan berarti semua karya Rizky tidak bagus, karena saya yakin cerpen ini satu dari karya-karya Rizky yang kurang berhasil. Buktinya Rizky berhasil menerbitkan kumpulan cerpennya, dan cerpen ini masih bisa dibaca sebagai upaya memahami anak-anak dalam cerpen.[]
- Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007
- Suparlan. Mencerdaskan kehidupan Bangsa: Dari konsepsi sampai implementasi. Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004.
- Ayu, Djenar Maesa. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: Gramedia, 2002.