Melupakan Kenangan Buruk
Seseorang pernah berkata kepada saya, bagi penulis, memelihara kenangan adalah salah satu jurus untuk menghasilkan tulisan yang produktif. Benarkah? Bagaimana jika kenangan itu bukan kenangan baik dan manis seperti yang seharusnya kita ingin ingat? Bagaimana kenangan diperlakukan oleh orang-orang yang mengalami trauma di masa lalu? Apakah kenangan masih dipandang sebagai sesuatu yang penting? Apakah kenangan menjadi begitu berharga dan tidak boleh dilupakan? Lantas, apa yang akan diberitahukan pada anak cucu keturunan jika kita memiliki kisah masa lalu yang sangat kelam, sehingga mengingatnya saja menimbulkan rasa sakit, walau sudah berlalu puluhan tahun?
Kenangan akan peristiwa traumatis di masa lampau, bisa menjadi pemicu seseorang untuk merasakan kembali setiap rasa sakit dan kepedihan yang ditimbulkan. Sekuat apa pun seseorang berusaha mencoba melupakan, ada bagian dalam dirinya yang tak mungkin melepaskan diri dari kehidupan di masa lalu. Dan hidup dalam lembaran baru pun kerap memikul beban kenangan yang tak tertanggungkan. Apalagi kenangan tersebut bukan saja milik personal, tapi dialami oleh suatu negara.
Kurang lebih seperti itulah yang ingin diungkapkan oleh Lene Therese Teigen dalam buku Time Without Books, yang diterbitkan oleh Oberon Books, London, 2019. Di Indonesia, naskah drama tersebut diterjemahkan oleh Faiza Mardzoeki, dan diterbitkan pada November 2020 dengan judul Waktu Tanpa Buku (WTB), seiring pementasan Teater Film oleh lima kelompok teater dari kota yang berbeda.
Pementasan itu sendiri merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang diinisiasi oleh Institut Ungu dalam rangka menyambut 16 Hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia, pada 25 November–10 Desember 2020. Selain menyelenggarakan diskusi, kegiatan bertajuk Dialog Seni dan HAM, terselenggara juga pertunjukan teater film secara daring 1-10 Desember 2020. Pentas teater WTB diproduseri oleh Faiza Mardzoeki, digarap oleh 5 sutradara perempuan; Shinta Febriany dari Kala Teater (Makassar), Heliana Sinaga dari Mainteater (Bandung), Ramdiana dari Serikat Sapu Lidi (Aceh), Ruth Marini dari Ruang Kala (Jakarta), dan Agnes Christina dari Yogyakarta dengan Wawan Sofwan sebagai konsultan pertunjukan.
Waktu Tanpa Buku memuat drama yang mengisahkan para eksil dan ingatan tentang tragedi berdarah saat demokrasi di Uruguay dirampas oleh para diktator. Uruguay mengalami periode kediktatoran dari 1973 sampai 1985. Pada tahun itu, sekira 20% penduduk Uruguay dipenjara dan disiksa, meski kadang hanya sebentar, dan 10% diasingkan ke negeri lain. Mereka yang mengalami peristiwa tersebut tak pernah bisa betul-betul melupakan bagaimana rasanya hidup dalam teror dan ketidaktenangan. Kecemasan demi kecemasan mendera mereka dalam penjara ingatan.
Lihat saja dalam petikan dialog di bawah ini:
“Kita menakar antara masa lalu dan masa kini. Di antara melupakan dan mengingat.”(hal. 12)
“Benar, mataku ditutup, kepalaku ditutup. Membuat mereka bisa lupa bahwa saya seorang manusia. Hingga saya tidak bisa melihat siapa yang melakukan tindakan biadab itu. Benar, pantat saya disetrum. Benar, itulah tubuh saya.” (hal. 71)
“Bagaimana jika aku hanya mengingat rasa sakit? Lalu apakah rasa sakit itu yang akan ada? (hal. 134)
Trauma yang lama akibat kekejaman politik yang menyebabkan para tokohnya harus pergi dari kampung halaman, kemudian ketika beranak-pinak dan kembali ke negaranya, menemukan sesuatu yang asing dan didatangi hantu masa lalu berupa kenangan.
Drama dalam buku ini terdiri dari 23 babak, bercerita tentang 11 orang tokoh yang mengisahkan pengalaman berbeda dari perspektif masing-masing. Orang-orang yang mengalami tekanan saat diinterogasi, serta anak-anak yang mempertanyakan apa yang sesungguhnya dialami orang tua mereka di masa lalu. Pedro yang menceritakan kembali trauma akan siksaan, Lydia mengenang masa-masa penantian yang seolah tanpa ujung. Menanti suaminya dibebaskan atau mati. Rita yang gembira karena akan menikah namun dibebani pertanyaan mengapa kedua orang tuanya, Sofia dan Pedro, menyembunyikan kisah masa lalunya dan tak mau menceritakan apa yang mereka alami. Meski pada akhirnya mereka tetap saja tak mampu melupakan bagaimana saat-saat menegangkan ketika dimasukkan ke dalam penjara, menyaksikan orang lain disiksa juga, lalu buku-buku yang boleh mereka baca harus disingkirkan karena dianggap membahayakan.
Penerbitan buku naskah drama memang tidak sebanyak penerbitan novel atau jenis tulisan populer lain. Dan biasanya apresiatornya pun terbatas, atau di kalangan pencinta dan pegiat teater saja. Jika kemudian terbit buku yang memuat naskah drama, maka kehadirannya tentu harus disambut dengan gembira. Selain bisa menjadi referensi, juga bisa dijadikan alternatif bagi para kelompok teater untuk mementaskan sebuah lakon. Selain dari penulis dan penerjemahnya, buku ini diberi kata pengantar oleh Vegard Kaale, duta besar Norwegia untuk Indonesia. N. Riantiarno turut pula memberikan tanggapannya atas naskah drama yang dibukukan ini, membandingkannya dengan situasi politik dan pengalaman pahit yang pernah dialaminya di masa lalu ketika harus mengalami interogasi saat Teater Koma mementaskan Suksesi (1990).
Menurut Faiza Mardzoeki, “drama Waktu Tanpa Buku sangat puitik sekaligus bertenaga dalam membongkar memori personal yang berangkat dari pengalaman pusaran besar gejolak politik suatu bangsa. Karakter-karakter yang diciptakan sangat kuat dan bisa menjadi representasi siapa saja yang mungkin pernah mengalami hal serupa.” (hal. xxii)
Di Indonesia pun pernah terjadi pelanggaran HAM berat yang menorehkan luka sejarah. Ingatan yang menyakitkan tentang kekelaman bangsa Indonesia pun menghantui para pelaku sejarah dan orang-orang yang mengalami kekerasan di masa Orde Baru, yang dianggap sebagai rezim yang mengekang hak rakyat dalam banyak bidang, terutama hak untuk menjadi berbeda dalam pilihan politik dan idealismenya. Diberitakan banyak orang bisa tiba-tiba hilang tanpa jejak setelah memprotes keras, atau dimasukkan sel setelah menyuarakan gugatannya. Orang-orang bisa tiba-tiba dicap melawan pemerintah, jika terlalu melawan arus di saat itu. Bahkan orang-orang buangan Indonesia merasa kesepian karena tidak bisa bertemu keluarga dan melihat rumahnya lagi, kehilangan tanah air, dan takut untuk pulang kembali ke Indonesia. Ada irisan peristiwa dan pengalaman yang serupa.
“Beberapa pengungsi Uruguay bisa pulang ke negerinya sesudah rezim militer berakhir, misalnya dari Norwegia. Di Indonesia, setidaknya 14.000 tahanan juga kembali ke rumah, bukan dari pengasingan di luar negeri tetapi dari pengasingan di penjara dan kamp di Indonesia sendiri.” (hal. xx)
Barangkali itu pula salah satu alasan mengapa naskah drama tentang rakyat Uruguay di masa lalu diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Selain memiliki kemiripan peristiwa politik, kisah yang disuguhkan dalam WTB menggugah kesadaran kita akan nilai-nilai kemanusiaan. Di belahan dunia mana pun, kekejaman dan pelanggaran HAM memang tidak diperbolehkan. Tapi kadangkala politik yang kotor bisa mengubah segalanya demi tujuan-tujuan tertentu.
Selain berisikan naskah drama, buku WTB juga memuat foto-foto pertunjukan di Uruguay dan Norwegia, serta foto-foto produksi pertunjukannya di Indonesia, termasuk foto rapat produksi pementasan.
Walaupun pementasan dalam bentuk Teater Film telah diselenggarakan, namun dengan adanya penerbitan buku WTB, kisah drama ini dapat dipentaskan lagi dengan interpretasi lain dari para sutradara berbeda. Tentu saja, di waktu yang lain, kisah mengenai kekelaman sejarah ini dapat menjadi cermin sekaligus harapan, semoga tidak ada lagi kekerasan yang melanggar hak asasi manusia di seluruh dunia. Selain itu, buku, bertema apapun, selalu menarik untuk dinikmati. Termasuk buku drama Waktu Tanpa Buku.
Identitas Buku
Judul : Waktu Tanpa Buku
Penulis : Lene Therese Teigen
Penerjemah : Faiza Mardzoeki
Tebal : xlvi + 180 halaman
Penerbit : Djaman Baroe, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2020
ISBN : 978-602-61588-3-3