Melati Kering Adinda untuk Saijah
Aku tak tahu di mana aku akan mati.
Telah kulihat banyak orang mati di Badur.
Mereka berselubung kain putih, dan dimakamkan
di dalam tanah;
Jika aku mati di Badur, dan di kubur di luar
desa;
di timur di kaki bukit tempat rerumputan
tinggi;
Adinda akan lewat di sana, dan pinggiran
sarungnya menyapu lembut rerumputan,
…
Aku AKAN mendengarnya
(Puisi Saijah untuk Adinda, Bab 17 dalam Novel Max Havelaar)
Siapa yang percaya dengan waktu? Sebab di sini, di Ciseel tempat Taman Baca Multatuli berdiri Max Havelaar selalu hidup. Max Havelaar menjelma menjadi anak-anak yang gemar membaca, menulis, serta tidak pernah tidak pernah mengambil yang bukan haknya. Seperti yang dilakukan oleh Max Havelaar ketika datang ke Lebak. Saya sangat terharu, melihat mata-mata bocah yang polos serta jujur. Mereka tidak mengenal playsation, mall, Game Master, atau semacamnya. Yang mereka kenal adalah Max Havelaar.
Kampung yang tersungkur di lembah, jalan terjal berliku batu, listrik baru masuk tiga tahun yang lalu. Mari kita bayangkan sejenak kampung ini. Ya, kampung yang memiliki pemandangan indah, kampung yang memiliki sungai jernih, kampung yang didambakan setiap orang. Saya berkesempatan kedua kalinya untuk datang ke Ciseel dalam acara Ciseel Day.
Kemudian apa kaitannya Ciseel, Badur, Baduy dengan Max Havelaar? Entahlah. Yang jelas saya selalu terpesona dengan semuanya. Awalnya saya mengira bahwa Badur adalah Baduy, namun ketika ngobrol dengan presiden Taman Baca Multatuli, Ubaidillah Muchtar, bahwa Baduy bukan Badur. Badur adalah nama kampungnya Saijah yang posisinya sekarang di Cirinten, dekat Cijahe, arah ke kampung Cikeusik, Baduy dalam. Sayang sekali, kemarin saya tidak berkunjung ke Badur. Padahal Badur erat kaitannya dengan novel Max Havelaar.
Ciseel dan Spirit Max Havelaar
Seperti yang tadi saya katakan di atas, bahwa Max Havelaar telah menjelma pada siapa saja yang datang ke Ciseel. Terutama pada Guru Ubai (sapaan akrab orang Ciseel untuk Ubaidillah Muchtar). Guru Ubai dengan Reading Multatulinya telah menularkan virus literasi pada warga Ciseel, terutama kepada anak-anak. Kini, siapa masyarakat Ciseel yang tidak kenal dengan Max Havelaar.
Kembali pada Saijah, saya tertarik dengan adegan romantis Saijah yang diberi melati kering oleh Adinda. Sedangkan Adinda diberi sobekan syal biru hitam (yang sekarang dipakai ikét oleh Baduy luar) oleh Saijah sewaktu mereka berpisah. Melati kering tersebut dibungkus dan dijadikan kalung oleh Saijah. Kisah ini romantis, sekaligus sedih.
Pemberian adalah amanat, seperti juga pemberian Ciseel kepada Guru Ubai. Saya membayangkan bahwa Saijah dalam konteks yang lain adalah Guru Ubai. Maksud saya, melati kering yang diberikan Adinda kepada Saijah adalah amanat sekaligus simbol kasih sayang antara keduanya. Begitu pula dengan Guru Ubai dan Ciseel.
Ikatan cinta telah mengakar, di atasnya tumbuh pucuk-pucuk yang segar. Apabila Guru Ubai punya cita-cita lebih jauh tentang Ciseel (termasuk Reading Multatuli), maka capaian yang tingginya adalah memanusiakan manusia. Seperti yang dilakukan oleh Max Havelaar. Guru Ubai sedang melaksanakan hal itu.
Guru Ubai, Ciseel, dan Max Havelaar sekarang sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Saya bangga terhadap Guru Ubai, saya senang mengenal Ciseel, saya senang menjadi bagian sejarah dari kampung Ciseel dalam acara Ciseel Day 5. Perjalanan yang jauh tidak menjadi masalah, jalan berliku curam (hanya dapat dilalui oleh motor) tergantikan oleh pemandangan yang begitu menawan. Apabila ada alam yang masih perawan, maka Ciseel salah satunya.
Ada yang tertinggal pada percakapan saya dengan kampung Ciseel, yaitu belajar menjadi manusia yang sederhana, ramah dan selalu gembira. Di Bandung tempat saya tinggal, kota telah dimanipulasi, begitu pula dengan masyarakatnya.
“Hayu dahar heula, itu jéngkol loba,” ujar kang Sarip (dengan logat khas Lebak), yang merupakan RT setempat.
“Engké kami nyusul ka ditu, jéngkolna tong dibéakeun,” sahut saya menirukan logat Lebak.[]