Mathilda: Inses, Trauma, dan Daya Pikat Tragedi
“Aku sendiri, pikirku, adalah sebuah tragedi;
… Aku lelucon dan permainannya, tetapi bagiku ini semua adalah kenyataan suram: dia mengambil semua keuntungan dan aku menanggung semua beban.”
– Mary Shelley, Mathilda
Ketika Mary Shelley memutuskan untuk menempatkan Mathilda yang saat itu belum sampai usia dua belas tahun di perpustakaan bibinya dengan maksud “buku-buku dalam tingkat tertentu menggantikan ketiadaan hubungan manusia”, ia mungkin sengaja memunculkan Shakespear, Milton, Pope dan Cowper di sana. Pada Shakespear, Mathilda mungkin membaca satu kutipan yang juga kita kenal ini: “Aku membenci kedatanganku di dunia ini dan aku membenci kepergianku; itu adalah sebuah tragedi.”
Ialah Mathilda, tokoh perempuan yang diciptakan Mary Shelley pada 1819. Itu adalah masa-masa duka cita bagi Shelley sebab ia kehilangan dua anaknya dalam waktu kurang dari setahun. Clara Everina, anak perempuannya, meninggal di Venesia pada September 1818, sementara pada Juni 1819, dua bulan sebelum novela ini pertama kali ditulis, anak laki-lakinya, William, meninggal di Roma. Dalam kondisi demikian, Shelley menyelesaikan versi pertama Mathilda pada September 1819, menyempurnakannya pada Februari 1820, lantas mengirimnya kepada William Godwin, ayahnya, pada May 1820 untuk diterbitkan. Mengetahui tema cerita hubungan inses yang ditulis anak perempuannya adalah hal menjijikkan, sang ayah tidak hanya menolak permintaan penerbitannya, tapi juga menolak mengembalikan naskah utuhnya. Mathilda tidur panjang dalam gelisah sampai Elizabeth Nitchie, seorang editor, membaca dan menerbitkannya pada 1959, satu abad setelah kematian Shelley.
Novela ini mengeksplorasi bagaimana trauma inses memanifestasikan dirinya dalam serangkaian peristiwa psikopatologi bernuansa trauma yang menempatkan penekanan khusus pada krisis identitas kompleks Mathilda. Christa Schönfelder, penulis Wounds and Words: Childhood and Family Trauma in Romantic and Postmodern Fiction yang membahas Mathilda dalam satu bab khusus, mengatakan, “…ia memanggil perhatian pada ketegangan dan paradoks dalam identitas yang terganggu oleh trauma.”1
Sepanjang saya membaca versi terjemahannya, saya disajikan sebuah narasi melodramatis dari seorang tokoh perempuan remaja dengan kegemarannya merusak diri sendiri, depresif, dan keinginan kuatnya untuk bunuh diri.
Pada mulanya ialah Mathilda, dan akan selalu Mathilda—narator tunggal yang berpotensi membuat pembaca tidak nyaman sebab ia menihilkan semua perspektif kecuali apa-apa yang dipercayai dan diinternalisasi Mathilda sebagai satu-satunya kebenaran hakiki, yakni dirinya sendiri sebagai pusat tragedi.
Semua yang dihadirkan kepada pembaca adalah surat panjang Mathilda untuk Woodville, penyair muda yang mencoba membunuh kesedihan gadis itu—yang sama sekali tidak berhasil. Di awal, Mathilda menulis dengan dramatis:
Pikiranku begitu kalut. Aku hidup seorang diri—begitu sepi—di dunia ini—pedihnya kemalangan telah menimpaku bahkan melemahkan diriku sepenuhnya: aku tahu jika tak lama lagi aku akan meninggal dan merasa bahagia—bergelora—aku merasakan debar jantungku sendiri; berdetak lebih cepat; aku letakkan telapak tangan kurusku di pipi; terasa hangat; ada sedikit; secercah semangat dalam diriku yang kini memancarkan percik terakhirnya. (hal. 2)
Tapi Woodville adalah babak terakhir dari panggung tragedi Mathilda. Tujuh bab awal dari novela adalah tentang trauma masa kecil dan pengakuan inses yang dramatis, nyeri, dan bertele-tele dari sang ayah. Tiga bab selanjutnya diisi dengan narasi pengasingan Mathilda sampai ia bertemu penyair muda itu, diikuti rencana percobaan bunuh diri yang pertama sampai kemudian Mathilda menutup suratnya dan berhasil menyusul kematian ayahnya yang telah lebih dulu menenggelamkan diri di laut setelah pengakuan dosanya.
Sepaket Trauma untuk Mathilda
Tampaknya yang paling menarik perhatian di sini adalah persoalan inses. “Salah satu potret psikologis pertama dalam literatur modern tentang korban inses,” sebut Margaret Garret. Mathilda merumuskan kesedihan mendalamnya atas dasar pengakuan inses sang ayah yang mencacati cintanya sebagai seorang anak perempuan. Di waktu bersamaan, Mathilda menyingkirkan memori masa kecilnya—yang bukan tentang ayahnya—yang sama menyakitkannya. Diana, ibunya, meninggal ketika melahirkannya.
Mathilda menyebut kisah ibunya di awal suratnya, tapi kemudian dengan bungah menghindari merenungi kehilangan ini. Penyingkiran ingatan akan ibunya seolah mengingatkan pembaca bahwa di balik trauma inses, yang ia jelajahi secara eksklusif dan ekstensif, mungkin saja ada trauma lain yang memantik penderitaannya. Kehilangan seorang ibu mungkin sama traumatisnya dengan kehilangan ayah, tapi Mary Shelley, melalui Mathilda-nya, membuat pembaca tidak dapat “membaca” ini, sebab Mathilda melakukan apa yang disebut dalam dunia psikologi sebagai selective memory. Ia menyeleksi ingatan yang menurutnya paling relevan dan mendukung tafsiran atas apa yang terjadi pada hidupnya di masa kini.
Jangan lupa, ketika ayahnya menjelajahi berbagai belahan dunia (untuk tidak mengatakan melarikan diri) sebagai bentuk denial atas kematian istrinya, Mathilda diasuh oleh bibinya yang dingin dan tidak bersahabat sampai ia berusaha 16 tahun ketika ayahnya kembali. Mathilda kecil dibatasi pergaulannya. Sebagai kompensasi, Mathilda membangun keintiman dengan alam. Ia mencintai binatang, hujan beserta petirnya, arak-arakan awan, ditambah buku-buku yang pengarangnya terobsesi dengan tragedi.
Pada bab terakhir, hampir di ujung suratnya, mendekati rencana bunuh dirinya tunggalnya tanpa Woodville, Mathilda sebenarnya menyadari gelap masa kecilnya:
Sejak bayi aku kehilangan seluruh orang yang dapat memberi kasih sayang yang pada umumnya diterima anak-anak; aku benar-benar terempas untuk berjuang sendiri… (Hal. 149)
Namun, lagi-lagi, segalanya berpusat pada sang ayah:
Bagiku bumi adalah lentera ajaib dan aku penonton dan pendengar tapi tak ada aktor sama sekali, lalu datanglah masa perubahan dan jiwa yang kembali hidup: ayahku kembali dan aku bisa menuangkan kasih sayang hangatku pada hati seorang manusia; ada matahari dan bumi yang baru diciptakan untukku; air kehidupan berkilau penuh sukacita! Sukacita! Sialnya! Sungguh menyedihkan! Kebahagiaanku berlalu begitu cepat dibanding sinar matahari yang menyinari pegunungan. (Hal. 149)
Semua trauma ini memicu munculnya krisis identitas pada diri Mathilda yang membuatnya berputar-putar pada fiksasi masa lalu dan menolak menghadapi masa depan. Akibatnya, ia merasa ditakdirkan untuk merangkul kematian dan meniadakan kehidupan.
Panggung Tragedi Abadi
Shelley secara intens menggunakan retorika, kesedihan yang puitis, dan bahasa melodramatis bagi Mathilda, narator autodiegetiknya. Ia menceritakan hidupnya dengan mengonstruksikannya sebagai sebuah tragedi. Pada halaman-halaman terakhir, Mathilda memperjelas drama hidupnya:
Beberapa kali aku melewati ingatanku yang berbeda dalam adegan kehidupanku yang singkat: jika dunia adalah panggung dan aku menjadi seorang aktor, tentu aku memiliki peran aneh, dan sialnya tragis! (hal. 149)
Christa Schönfelder menyebut Mathilda tidak hanya berperan sebagai aktris di atas panggung, tetapi juga sebagai sutradara pementasan yang mengendalikan semuanya. Ia mengatur rencana menenggak opium bersama Woodville, mengajak tokoh lain untuk menjadi pengikut atas skenario mutlak yang ia pikir berhasil. Woodville memanglah penyair dan seorang penyair mestilah bersahabat dengan tragedi. Tapi pemuda ini memperlakukan tragedi dengan cara yang sama sekali berbeda dari cara mematikan yang dipakai Mathilda. Ia menolak ajakan bunuh diri itu. Dan Mathilda benar-benar tidak menyukainya. Lagipula, Mathilda sebenarnya memang tidak suka dengan kehadiran tokoh lain bagi segenap kesedihannya. Ia adalah pusat bagi tragedi hidupnya. Atau, ini adalah caranya mematikan segala bentuk emosi positif setelah kematian ayahnya:
Ayahku ada dalam diriku dan ingatannya menjadi kehidupan dalam hidupku. Aku mungkin merasa patut bersyukur atas kehadiran orang lain, tapi aku tak lagi pernah bisa mencintai atau berharap seperti yang pernah kulakukan sebelumnya; semuanya menderitakan; bahkan kesenanganku menguap, tak lagi ternikmati. (Hal. 101)
Ia juga menulis dengan sangat dramatis:
Inilah drama kehidupanku yang sekarang aku gambarkan di atas kertas. Selama tiga bulan aku berusaha untuk menyelesaikan semua ini. Kenangan atas kesedihan membuatku menitikkan ait mata; kenangan akan kebahagiaan memancarkan sukacita. Kini air mataku mongering; cahaya telah memudar dari pipiku, dan dengan beberapa kata perpisahan untukmu, Woodville, aku menutup tulisanku: hal terakhir yang akan kulakukan. (Hal. 150)
Membaca Mathilda Hari Ini
Mathilda telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya Bahasa Indonesia, oleh Wawan Kurniawan melalui penerbit Moooi Pustaka. Karya fiksi ini banyak mencuri perhatian kritikus dunia. Satu dari banyak pendekatan yang mencolok adalah pembacaan Mathilda melalui lensa kehidupan Mary Shelley sendiri. Anne K. Mellor, profesor English Literature and Women’s Studies di UCLA, membaca Mathilda sebagai ekspresi penulisnya tentang fantasinya atas hubungannya dengan sang ayah, William Godwin1. Elizabeth Nitchie sendiri mengatakan dengan tegas, “Mary adalah Mathilda”3. Kritikus lain, Tilottama Rajan, seorang profesor English Literature di Western University, menyebut keputusan Shelley mengirim manuskrip naskahnya kepada sang ayah sebagai sebuah tindakan penghinaan yang dilakukan dengan sadar4.Memang tidak disebutkan dengan jelas penghinaan atas apa yang ia maksud, tapi begitulah, kebanyakan memercayai Mary Shelley mengartikulasikan kisah hidupnya sendiri ke dalam sebuah karya fiksi.
Bagi saya, membaca Mathilda bisa dilihat dari dua sisi: sebagai pembaca awam dan sebagai anak psikologi. Sebagai pembaca awam, percayalah, menyelesaikan fiksi tipis ini melelahkan sekali. Dalam kondisi biasa, tingkat lelahnya rendah, mungkin cenderung membosankan. Namun, jika membaca dalam kondisi yang sama kalutnya dengan sang narator, kelelahan emosional timbul bersama rasa muak. Saya sempat mengutuk buku tragis ini, tapi membaca kembali “…hubungan cinta terlarang antara ayah dan anak” dan “penebosan dosa” pada sampul belakang buku ini, membuat saya akhirnya mau mencari literatur jurnal yang membahasnya. Di situlah, sebagai anak psikologi, Mathilda menarik untuk dikaji.
Terakhir, Mathilda rasanya tidak bisa benar-benar dikatakan sebagai rujukan fiksi yang mengangkat tema tabu: inses. Tidak. Buku ini memang mengangkat tema itu, tapi hubungan inses ayah-anak dalam novela ini berhenti hanya sampai pengakuan verbal. “Inses dalam kasus Mathilda terjadi hanya pada verbal; level mental dan emosional,” sebut Christa Schönfelder. Novela ini lebih menekankan pada pergolakan batin narator utama atas sepaket trauma beruntun dalam hidupnya dan pilihannya untuk menjalani sisa usia mudanya sebagai panggung tragedi abadi.
Catatan:
1. Schönfelder, C. (2013). Wounds and Words: Childhood and Family Trauma in Romantic and Postmodern Fiction. Bielefeld: Transcript Verlag. from http://www.jstor.org/stable/j.ctv1wxrhq.
2. Penyataan Mellor dikutip dalam jurnal Lauren Gillingham. Gillingham, L. (2003). Romancing Experience: The Seduction of Mary Shelley’s “Matilda”. Studies in Romanticism, 42(2), 251-269. doi:10.2307/25601618.
3. Nitchie, E. (1943). Mary Shelley’s “Mathilda”: An Unpublished Story and Its Biographical Significance. Studies in Philology, 40(3), 447-462. from http://www.jstor.org/stable/4172624.
4. Rajan, T. (1994). Mary Shelley’s “Mathilda”: Melancholy And The Political Economy Of Romanticism. Studies in the Novel, 26(1/2), 43-68. from http://www.jstor.org/stable/29532998.
Identitas Buku
Judul : Mathilda
Penerbit : Moooi Pustaka
Tahun terbit : Mei, 2020
Penulis : Mary Shelley
Penerjemah : Wawan Kurniawan
ISBN : 978-623-90185-3-5