Fb. In. Tw.

Masyarakat Teroris

Saya adalah penganggur di usia produktif. Barangkali usia saya baru menginjak 25 atau 27 tahun. Saya agak lupa. Sebagai penganggur tentu saja saya selalu ada di rumah; tidur atau membaca buku. Oleh sebab saya selalu di rumah, hampir setiap hari saya salat zuhur berjamaah di masjid dekat rumah bersama dengan para pensiunan, orang-orang tua.

Saat keluar rumah untuk salat zuhur, tetangga depan rumah saya menyapa, “Libur?”. Hampir setiap hari dia bertanya “Libur?”. Saya selalu menjawab dengan senyuman sembari berkata dalam hati, “Libur kok tiap hari”. Barangkali ia berkata demikian pula dalam hatinya.

Kalau ke masjid saya harus melewati sebuah warung. Di warung itu, biasanya ibu-ibu rumah tangga berkumpul. Sesekali mereka bertanya “Libur?”, tetapi lebih sering melihat saya dengan tatapan heran. Heran karena “Kok pemuda itu nggak kerja? Jam segini malah salat zuhur”, ini suudzon saya, karena mata mereka berkata demikian.

Sampai di masjid, para bapak-bapak pensiunan terlihat duduk sambil berzikir. Kemudian ketika saya datang, tatapan matanya tertuju pada saya. Mungkin pikirannya sama seperti ibu-ibu di warung tadi.

Dalam pada itu, saya terispirasi oleh konsep terrorist society Henri Lefebvre, di mana masyarakat menjadi pengawas (teroris) terhadap satu sama lain. Masyarakat memperebutkan “kekuasaan” antara satu sama lain. Masyarakat mengontrol konsumsi satu sama lain. Dalam persoalan saya ini, masyarakat tak ubahnya seperti apa yang dikonsepkan Lefebvre.

Apa yang dilakukan tetangga saya, ibu-ibu di warung, dan para pensiunan di masjid tak lain adalah aktivitas kontrol yang dilakukan kepada saya. Dalam konsep masyarakat a la mereka, saya telah melanggar satu epistemé, yaitu laki-laki pada jam salat zuhur di hari kerja seharusnya tidak ada di rumah. Oleh sebab saya melanggar satu epistemé, mereka pun bertanya dan respons, itulah yang kemudian menjadi teror kepada saya untuk masuk atau memenuhi epistemé itu, yaitu laki-laki pada jam salat zuhur di hari kerja seharusnya tidak ada di rumah.

Bagi masyarakat, saya adalah tidak berbudaya, atau dalam term Foucault, saya adalah mad (gila). Jika saya berada di abad pertengah, mungkin saya sudah dimasukan ke dalam “kapal orang gila”, terapung di laut lepas bersama orang gila, pengangguran, dan orang malas. Jika saya berada di abad XIX, mungkin saya sudah dimasukan ke dalam rumah kontrol untuk dinormalisasi, disipilisasi. Tapi ini zaman modern, masyarakat tidak perlu menguasai saya secara fisik dengan memasukan saya ke “kapal orang gila” atau rumah kontrol, cukup dengan bertanya “Libur?” atau menatap saya dengan penuh keheranan.

Akhirnya sekarang saya lebih memilih salat zuhur di rumah. Saya merasa ini adalah kekalahan. Tapi saya selalu merasa lega saat hari Jumat. Saya bisa pergi ke masjid bersama penganggur lainnya di sekitar rumah saya, tanpa sebuah pertanyaan “Libur?” dari tetangga, tanpa tatapan aneh dari ibu-ibu dan pensiunan. Saat pergi untuk salat Jumat, saya pun melebur di antara banyak penganggur, bersembunyi dari masyarakat teroris. Selamat menunaikan ibadah salat Jumat![]

Ilustrasi: diolah dari id.gofreedownload.net

KOMENTAR

Penulis renungan Jumat.

You don't have permission to register