Marxisme dan Agama
“Tahu adalah berarti, bahwa kebenarannya tidak bertentangan dengan akal dan pikiran. Di luar itu adalah ‘pengetahuan tambahan’. Aku maksudkan begini: Sifat manusia itu adalah mau tahu semua. Kalau ia tidak tahu, semua dibikinnya sendiri ‘kira-kira’; dibikin khayal; dibikinnya hypothese dan kepercayaan itu adalah ‘penambah’ semata-mata kepada pengetahuan yang terbatas itu. Penambahan yang dibikinnya sendiri. Penambahan untuk menentramkan nafsunya ingin tahu semuanya itu. Itulah maka manusia maha pencipta. Maha pencipta juga dari maha pencipta yang dianggapnya Maha Pencipta. . . Tuhan itu ciptaan adalah manusia sendiri, yang diciptakannya sebagai tambahan kepada pengetahuannya yang terbatas itu. . .”
Kutipan di atas adalah dialog tokoh Anwar dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Nuansa seorang materialis, ateis, dan atau marxis begitu kental terasa pada kutipan tersebut. Memang benar bahwa menurut kaum meterialis, marxis, agama sebenarnya adalah produk manusia. Agama atau Tuhan diciptakan atas dasar kebutuhan manusia akan pegangan hidup, kebutuhan rohani, mungkin juga untuk pegangan hidup, tempat mengadu, merepresi rasa takut, kebuntuan logika, dan kebutuhan akan harapan.
Dalam pandangan kaum marxis, agama diciptakan untuk membuat seseorang taat. Jika terjadi ketidakadilan dalam hidup seorang proletar, agama dapat menjadi sesuatu yang dapat merepresi penderitaan. Seorang proletar atau kelas tertindas akan senantiasa menggunakan agama sebagai pewajar atas penderitaan yang dialami. Karena agama ia perlu mampu berserah, karena agama menerima kewajaran dan kenyataan penindasan. Ia harus menerima bahwa penindasan adalah cobaan hidup yang—pada satu sisi—harus diterima. Memang ada keharusan untuk mengubah nasib sendiri, namun kiranya terlalu banyak simbol untuk merepresi hasrat perubahan, misalnya doa dan amalan-amalan. Akhirnya, hasrat perubahan tidaklah revolusioner karena adanya ketergantungan pada yang-metafisik.
Bagi kaum marxis, tidak ada cara lain untuk melakukan perubahan kecuali dengan membangkitkan kesadaran kelas dan revolusi. Mereka tidak bergantung pada yang-metafisik. Itu sebabnya perjuangan terasa lebih konkret dan revolusioner.
Menurut kaum marxis, agama merupakan produk kelas penguasa yang digunakan untuk mempertahankan status quo. Agama mampu meredam pemberontakan dan kemarahan kelas proletar, tak lain karena apa yang telah disebutkan di atas. Karena agama adalah produk masyarakat berkelas, agama akan tetap kukuh bilamana kelas-kelas sosial masih ada. Oleh sebab itu, bagi kaum marxis, kepunahan agama dapat terjadi bila kelas-kelas sosial telah hilang.
Mereka berpikir demikian karena mereka melihat bahwa ilmu pengetahuan terbukti tidak mampu memunahkan agama. Memang benar bahwa agama dan Tuhan tidaklah rasional, namun keirasionalan itu nyatanya tidak mampu memusnahkan agama. Oleh sebab itu, sosialisme-lah yang menjadi kunci kepunahan agama.
Apakah benar adanya begitu? Kapan sebenarnya agama muncul pertama kali? Bukankah agama sudah mewujud pada tahap komunal primitif? Bukankah agama tidak lahir dari kelas penguasa? Apakah Nabi Musa a.s. adalah seorang penguasa?
Namun, mengapa pula marxisme laku di sebagian (kecil) orang-orang beragama? Asumsinya adalah marxisme menjadi pelipur lara (yang lain, selain agama) atas penindasan yang dilakukan kapitalisme. Marxisme telah menjadi tempat berharap (yang lain, selain agama) akan terwujudnya kebebasan. Sosialisme juga telah menjadi iming-iming hasil akhir dari ikhtiar revolusi, seperti halnya surga yang telah menjadi iming-iming hasil akhir dari ikhtiar kesalehan.[]
Ilustrasi: myakise.blogspot.com
Sorry, the comment form is closed at this time.
enki
memang, yang dibutuhkan hari ini adalah manusia2 pecinta tuhan yang tidak terjebak pada kepentingan personal yang bisa membuat manusia yg beragama menjadi penjahat dan penjilat. bila bukan (tidak ada lagi) para orang kiri yang berjuang, siapa lagi kalau bukan kita yg beragama yang memperjuangkan kesejahteraan umat. bagaimanapun, bila kita yang mengklaim sebagai manusia yang berpegang pada kebenaran diam saja melihat kondisi umat, sedangkan yg salah jalan (mis. marxisme) berjuang mempertaruhkan hidup mereka( saya salut buat mereka), maka terkutuk dan celakalah yang sudah memegang kebenaran tetapi hanya sibuk dengan kegiatan memperkaya hidupnya doang.