Fb. In. Tw.

Marlam #6: Puncak yang Sunyi

Majelis Sore Malam, atau biasa kami singkat dengan istilah Marlam. Marlam adalah acara yang terbuka bagi siapa saja, digelar setiap dua minggu sekali pada hari Sabtu. Kegiatan utama Marlam adalah pembacaan sebuah cerpen dari para penulis cerpen di Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dibaca secara bergiliran kemudian didiskusikan bersama-sama oleh peserta yang hadir. Sabtu lalu (27/8/2016), Marlam telah memasuki pembacaan dan diskusi cerpen yang keenam kalinya.

Marlam memang selalu berbeda, begitu pun marlam kali ini. Marlam keenam ini diadakan di kediaman Kang Godi Suwarna. Tempat yang biasa kami gunakan, Padepokan Seni Rengganis, malam minggu kemarin disewa anak-anak komunitas motor untuk sebuah acara. Maka mengungsilah kami ke rumah Kang Godi.

Ciamis Sabtu itu diguyur hujan sedari sore. Tak tanggung, hujan deras berlangsung hingga sekitar jam 10 malam. Derasnya hujan dan suara yang dilahirkannya membuat kami harus setengah berteriak ketika harus bergantian membaca cerpen atau sekadar bicara menyampaikan pendapat.

Yang hadir tak banyak. Cuma sembilan orang. Itu pun masih wajah yang sama. Beberapa teman yang sudah mengatakan akan hadir, tak jadi datang karena terhalang hujan. Tak juga yang banyak bicara pada awalnya. Hanya saya dan Kang Toni Lesmana. Kang Deni yang biasanya banyak bercakap pun pada menit-menit awal tampak diam seribu bahasa.

Cerpen yang kami bahas berjudul “Ode Untuk Selembar KTP” karya Martin Aleida. Cerpen yang bercerita tentang Iramani, seorang perempuan 72 tahun yang eks tahanan politik terduga PKI. Iramani menjual tanah warisan ayahnya. Uang hasil penjualan tanah itu dia gunakan untuk membersihkan tulisan ETP (eks tahanan politik) dari KTP-nya. Padahal pada tahun itu, presiden “yang buta namun memiliki hati yang baik setinggi langit”, sudah menghapuskan pencantuman ETP pada KTP para terduga PKI.

Namun Iramani tak pernah menyesali perbuatannya menghabiskan uang jutaan rupiah untuk menyogok orang kelurahan agar menyingkirkan tanda itu dari KTP-nya. Meski anak bungsunya, Tatiana, mendebatnya habis-habisan dan mengatakan apa yang dilakukan ibunya adalah hal sia-sia.

Sepintas, cerpen ini terlihat sederhana, tidak menarik boleh jadi. Cerpen yang didominasi monolog Iramani pada dirinya sendiri, semacam solilokui. Iramani berkisah tentang penderitaannya menjadi tahanan politik dan dampaknya, yang terus menerus melekat kepadanya meski dia telah keluar penjara.

Tangan kuasa benar-benar telah mereguk kemerdekaannya sebagai manusia hanya karena Iramani seorang istri. Suaminya seorang redaktur koran. Iramani nyaris tak tahu apa-apa tentang komunisme. Dia hanya menemani suaminya ketika suaminya menulis editorial, membersihkan kacamatanya, memegangi tangga jika suaminya hendak menjangkau buku di barisan teratas dari rak bukunya, dan pekerjaan istri pada umumnya.

Hanya karena Iramani seorang istri, dia harus mendekam tiga belas tahun lamanya di penjara. Sekeluarnya Iramani dari penjara pun, dia tetap dihantui ETP di pojok KTP-nya. Hanya karena Iramani seorang istri, yang jangankan mengenal baik Karl Marx atau membaca Manifesto Komunis, mendengarnya pun barangkali tak pernah.

Saya merasa bahwa cerpen ini terasa “kurang perempuan” meski tokoh aku adalah seorang perempuan. Ini barangkali karena bukan perempuan yang menulisnya. Maskulinitas masih cukup kental saya rasakan di sini, meski tak ada tokoh laki-laki. Boleh jadi, karena penulisnya seorang laki-laki. Namun itu tidak begitu penting dibanding isi cerpennya. Martin mencoba menyuguhkan realitas kekejian politik. Politik yang tak bernurani. Politik yang hanya mengenal kalah menang.

Sekelam apa pun komunisme di Indonesia, saya memandangnya sebagai sebuah romantisme sejarah. Komunisme pernah ada bahkan berjaya di Indonesia. Segala bidang, tak terkecuali seni dan sastra, pernah menjadi bagian penting perkembangan komunisme di Indonesia.

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menjadi organisasi kesenian bentukan PKI yang cukup efektif sebagai kendaraan ideologi mereka. Dan membincangkan PKI pasti sangatlah panjang dan boleh jadi, hadir dalam berbagai versi.

Saya tidak akan mengupas realisme sosialis sebab saya memang belum begitu memahaminya. Apakah cerpen Martin Aleida ini tergolong realisme sosialis? Madzhab sastra dan seni yang banyak jadi pegangan seniman dan sastrawan kiri. Tak ada yang menjawab dengan pasti. Cerpen ini terasa agak lembut. Tak dibanjiri banyak jargon-jargon dan nada pemberontakan khas kiri. Cerpen ini tergolong santun dalam menyuarakan kekiriannya, jika cerpen ini dipandang kiri.

Suara pemberontakan disajikan dengan lembut bahkan tersembunyi. Pemberontakan Iramani terhadap kedzaliman kuasa yang telah membubuhkan ETP di KTP-nya hanya karena dia seorang istri dari seorang pemimpin koran. Pemberontakannya bukan dengan mengamuk dan menggerakkan massa.

Pemberontakan Iramani justru hadir lewat perjuangan dan keteguhannya menghapus ETP, meski dia harus mengeluarkan banyak biaya, meski menurut anaknya apa yang dia lakukan sebenarnya sesuatu yang sia-sia. Pemberontakan pada keadaan. Iramani ingin memperjuangkan dirinya, tubuhnya, jiwanya, nasibnya, dan takdirnya sendiri. Nasib yang selama ini buram atau diburamkan oleh kekuasaan. Iramani menolak menyerah.

Penindasan yang hadir sebagai sebuah kesewang-wenangan penguasa, kiranya tak hanya dialami Iramani saja. Dari salah satu sudut pandang, perempuan adalah korban negara yang paling rentan. Tiap ada kebijakan apa pun, perempuan, khususnya ibu rumah tangga, adalah yang paling terdampak. Bagaimana naiknya harga-harga bisa membuat kaum ibu-ibu memutar otak mengatur keuangan keluarga. Barangkali ini tak dilakukan semua perempuan, tapi setidaknya sebagian besar.

Membicarakan perempuan agaknya sulit dilepaskan dari feminisme. Apakah cerpen ini juga adalah cerpen bernafas feminisme? Bisa jadi ya. Ketegaran Iramani, yang tak bergeming meski dihantam anak bungsunya, tak adanya penyesalan usai menghabiskan uang jutaan, boleh jadi menyuarakan feminisme dalam bentuk lain. Ketegaran khas perempuan. Ketangguhan yang hadir dari proses alam.

Perempuan yang memang ditugasi menstruasi, ditugasi hamil, dan melahirkan mungkin terlatih secara tak langsung untuk menjadi tangguh. Tiga hal yang disebutkan di atas ialah tugas inheren yang ada pada semua perempuan, lepas dari konstruksi sosial. Tentang bagaimana dia harus berlaku dan diperlakukan ketika menstruasi, hamil, atau melahirkan, itu baru persoalan konstruksi sosial. Namun bisa juga feminsme yang terbaca bukan benar-benar dimaksudkan pengarangnya. Ini boleh jadi murni sebagai interpretasi bebas, bahkan jauh meninggalkan teks dan genetika cerpennya sendiri.

Hal lain yang jadi perbincangan ialah mengapa kisah KTP ini harus dikisahkan dari sudut Iramani? Mengapa tak dari kacamata Tatiana? Padahal boleh jadi, jika Tatiana yang berkisah, sebagai seorang anak perempuan eks tahanan politik yang ikut menemani ibunya di penjara, kisah ini bisa lebih dramtis dan menyentuh. Tapi benarkan demikian? Apa alasan Martin menggunakan Iramani sebagai juru bicara?

Perbincangan kami tentang ini mengantar pada keyakinan bahwa ihwal ETP pada KTP ini bukan perkara yang bisa dibagi dengan orang lain, bahkan anak sekali pun. Trauma ini bukan hal yang murah dan mudah untuk dibicarakan pada orang lain. Barangkali begitulah manusia. Ada hal-hal yang hanya bisa dikatakan sendiri hanya pada dirinya (atau Tuhan?).

Bukan Iramani tak mau berbagi, namun memang ini tak mudah dikatakan. Derita yang terlampau ini tak mampu menemukan kata-kata jika musti diucapkan pada selain dirinya sendiri.

Dari sinilah barangkali mengapa Iramani yang digunakan sebagai juru bicara. Iramani sendiri yang mencercapi derita ini, derita yang terlampau ini, yang tak mampu tersusun menjadi kalimat sebagai dialog pada orang lain.

Puncak derita
Puncak bahagia
Puncak rasa
Adalah sunyi.

Ciamis, 29 Agustus 2016

KOMENTAR
Post tags:

Lahir 19 Agustus 1990. Seorang penari tradisi. Pegiat teater di Ciamis. Seringkali menjadi aktor dan sutradara pada kelompok Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC). Majelis Sore Malam (Marlam) adalah kegiatan yang digagas bersama beberapa temannya di Ciamis. Tahun 2019 mengikuti lokakarya penulisan esai bertajuk Program Penulisan MASTERA.

You don't have permission to register