Mari Mendekati Ilahi
Dulu, di zaman pemerintahan orde yang lalu, di sebuah ibukota kabupaten, diadakan proyek pelebaran jalan. Karena jalan tersebut berada di tengah kota, proyek tersebut meminta tumbal. Rumah-rumah warga dan tentu juga tempat-tempat usaha yang berada di sisi kanan-kiri jalan harus dikorbankan, meski ada uang penggantian. Di antara deretan rumah-rumah itu, ada satu rumah yang kemudian menyebabkan keluarnya sebuah keputusan luar biasa dari penguasa kabupaten waktu itu. Apa sebabnya?
Pemilik rumah tersebut punya anak yang masih duduk di Sekolah Dasar. Kebetulan—meski sebenarnya tidak ada yang kebetulan di dunia ini, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya—anak tersebut satu kelas dan sepermainan dengan anak bupati. Dan seperti biasa, anak-anak senang bermain ke rumah temannya. Pun demikian anak bupati itu. Singkat cerita, mengobrollah kedua anak itu tentang rumah mereka. Seperti mendapat kesempatan, anak pemilik rumah yang akan terkena proyek itu bercerita kepada anak bupati bahwa rumahnya akan digusur, dan ia tunjukkan rasa sedih dan bingung akan pindah ke mana, dan yang jelas, mereka akan berpisah.
Sepulang ke rumah, si anak bupati bercerita kepada orangtuanya tentang keluh-kesah temannya si anak warga. Anak itu merengek kepada ayahnya, meminta agar rumah temannya tidak dibongkar. Ia tidak ingin kehilangan dan berpisah dengan teman sepermainannya.
Sungguh tak dinyana, karena sayang kepada anak, Pak Bupati mengeluarkan sebuah keputusan yang luar biasa—meski sebetulnya itu adalah hal biasa untuk kondisi saat itu, dan juga mungkin sekarang. Ia memerintahkan pimpinan proyek agar pelebaran jalan tidak perlu dibuat lurus; sebelum rumah warga yang satu itu, jalan harus berbelok supaya rumah tersebut tidak dibongkar. Maka selamatlah rumah tersebut dari pembongkaran.
Apa pesan ‘moral’ dari cerita di atas? Cerita ini hanya contoh saja bahwa jika kita dekat dengan orang penting yang punya pengaruh, dan termasuk dengan seorang penguasa, maka kita akan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Dengan kedekatan itu, kita akan dikecualikan dari aturan-aturan yang semestinya berlaku umum untuk semua. Tak heran jika di instansi-instansi, baik pemerintah maupun swasta, karyawan ingin dekat dengan pemimpinnya. Maka berbagai cara pun dilakukan untuk bisa dekat dengan pemimpin, bisa melalui hobi, olahraga, atau kolega. Tak jarang juga yang main sikut dan main injak kanan-kiri agar bisa menampilkan muka di hadapan atasan.
Ini kedekatan dengan manusia yang betapapun tinggi kedudukannya dan besar kekuasaannya, tidak ada apa-apanya di hadapan Allah Swt. Apalagi jika kita dekat dengan Pencipta dan Pemilik alam semesta ini, yang kekuasaan-Nya tidak terhingga. Contohnya dapat kita baca dalam kisah Nabi Ibrahim as. Beliau adalah kekasih Allah yang begitu dekat dengan-Nya sehingga dalam Al-Quran, Allah menyebutnya al-khalil, sang kekasih.
Karena dianggap telah menghina tuhan-tuhan kaumnya, Ibrahim diputuskan untuk diberi hukuman. Karena tindakannya sudah melebihi subversif, hukumannya pun tak tanggung-tanggung: dibakar hidup-hidup! Rupanya hukuman bakar hidup-hidup sudah ada sejak zaman baheula.
Ternyata hukuman bakar hidup-hidup itu kini hidup lagi. Baru-baru ini dunia kita digemparkan dengan pembakaran hidup-hidup seorang tentara penerbang dari Yordania, Mu’adz Kassasbeh, yang menyulut kemarahan raja dan dan rakyat negara itu. Pelaku pembakaran ini adalah kelompok radikal paling bengis, ISIS.
Di negeri kita pun tak ketinggalan. Tapi pelakunya adalah warga yang kesal atas sering terjadinya tindak pembegalan, sementara mereka menganggap aparat kurang sigap. Maka seorang begal pun menjadi sasaran amarah warga Pondok Aren, dibakar hidup-hidup hingga meregang nyawa.
Namun, berbeda dengan Mu’adz Kassasbeh dan begal Pondok Aren, meski sama-sama dibakar hidup-hidup, api tidak menyentuh tubuh Nabi Ibrahim. Padahal, kita tahu bahwa sifat api adalah panas dan membakar hingga bisa menghanguskan benda apa pun yang dilalapnya. Itulah sunnatullah, aturan dan hukum Allah. Tapi mengapa sunnatullah itu tidak berlaku bagi Nabi Ibrahim? Ia keluar dari kobaran api dengan tubuh yang segar-bugar, tanpa sedikit pun tersentuh api.
Itu karena Nabi Ibrahim adalah kekasih Allah. Karena kasih-Nya, Allah menyelamatkan Nabi Ibrahim dari tindakan keji kaum Kaldan yang dirajai oleh Namrud. Ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam kobaran api, Allah memerintahkan api agar tidak menjadi panas dan membakar bagi sang kekasih. Yâ nâru kûnî bardan (hai api, menjadi dinginlah!), begitu firman Allah Swt kepada api, seperti diabadikan dalam al-Quran surah al-Anbiya’: 68.
Itulah untungnya kalau kita dekat dengan Allah. Tapi kedekatan dengan Allah bukan perkara untung-untungan. Kita tahu, bagaimana perjuangan Nabi Ibrahim as dalam perjalanan mencari hakikat Tuhan. Tentu itu bukan perkara yang mudah, dan butuh banyak pengorbanan.
Nah, kita pun bisa dekat dengan Allah, sehingga kita bisa mendapatkan kemudahan dalam hidup dan dalam beberapa hal juga mungkin dikecualikan dari aturan yang berlaku. Caranya ya dengan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (Qs Muhammad: 4).
Lalu, dengan apa yang sudah kita lakukan saat ini, dengan mengikuti tuntunan agama, apakah kita sudah merasa Allah dekat dengan kita? Bagaimana kita mengukur kedekatan kita dengan Allah Swt? Adakah alat atau kriteria untuk mengukur kedekatan itu?
Jawabnya, “ada”. Yang bisa mengukur kedekatan kita dengan Allah adalah diri kita sendiri. Untuk mengetahui kedudukan kita di sisi Allah Swt adalah dengan merasa-rasa bagaimana kedudukan Allah pada diri kita. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Barangsiapa ingin tahu kedudukannya di sisi Allah, hendaklah ia memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya setiap kebaikan memiliki dua dimensi; dimensi dunia dan dimensi akhirat. Maka pilihlah dimensi akhirat atas dunia. Itulah yang disukai oleh Allah. Barang siapa memilih dimensi dunia, itulah orang yang tidak memiliki kedudukan di sisi Allah.”
Dengan cara inilah kita dapat mengetahui kedekatan kita dengan Allah, bukan dengan cara mendatangi paranormal atau ‘orang pintar’.
Kalau begitu, kita harus mengevaluasi ibadah kita kepada Allah. Dari mana kita memulai evaluasi ini? Yang paling tepat, kita memulai evaluasi atas shalat kita. Ini karena, seperti kata Nabi Saw, shalat adalah tiang agama. Selain itu, kata Nabi juga, bahwa yang pertama akan dihisab pada hari kiamat kelak atas seorang hamba dari amal perbuatannya adalah shalatnya; jika shalatnya baik maka dia beruntung.
Memang rasanya tidak mungkin kita meraih kedudukan seperti Nabi Ibrahim as, kecuali kalau Allah menghendaki. Namun yang jelas, orang yang lalai terhadap shalat, tidak bisa shalat khusyuk, dan apalagi melaksanakan shalat-shalat sunnah, bagaimana mungkin ia mengaku dekat dengan Allah. Orang yang rajin shalat saja belum tentu dekat dengan Allah, apalagi yang lalai shalat. Yuk ah, kita shalat![]