Fb. In. Tw.

Mandalawangi-Pangrango: Alter Ego Soe Hok Gie

Mereka menjulang, melebihi bangunan-bangunan yang dibuat tangan manusia. Mereka besar, namun tersembunyi dalam balutan hutan-hutan yang suram, dingin dan sunyi. Orang bilang, mereka tempat bersemayam berbagai misteri kehidupan. Orang bilang, mereka tempat di mana kalian bisa menemukan ketakutan sekaligus keberanian. Mereka adalah gunung, bagian dari bumi ini yang menjadi titik tertinggi. Dari kemegahannya, gunung selalu memiliki kisah dan tempatnya sendiri dalam sebuah peradaban. Di Indonesia, hampir setiap gunung menjadi representasi dari sesuatu yang sakral, mistik dan berbagai hal lain yang ada di luar imaji manusia.

Dibalik itu semua, gunung juga dipercaya sebagai tempat untuk menempa dan melihat kepribadian seseorang. Berangkat dari kepercayaan itu pula saya berpikir, bisa saja gunung menjelma sebagai alter ego seseorang. Terlebih setelah saya membaca kembali puisi dari seorang pemuda yang dikenal karena keberaniannya, tak lain ia adalah Soe Hok Gie. Seperti yang kita tahu, Gie seorang intelektual merdeka yang sangat mencintai gunung. Hatinya terpanggil untuk terus naik gunung dan naik gunung. Karena bagi Gie, naik gunung bisa menguji diri dengan hidup sulit. Naik gunung bisa membuat kita mengenal Indonesia bersama rakyatnya lebih dekat. Naik gunung juga bisa membuat seorang pemuda tumbuh dengan jiwa dan fisik yang sehat.

Dan, dari sekian gunung yang telah dijelajahi oleh Gie, Pangrango menjadi gunung yang sangat ia sukai. Pangrango sendiri merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan terletak di ketinggian 3019 mdpl. Memiliki beberapa jalur pendakian yang cukup sulit, karena jalanannya menanjak dan berundak-undak, ditambah banyaknya pohon tumbang yang melintangi jalur pendakian, hingga kontur tanah yang cukup lembek. Namun, semua kesulitan itu terbayar dengan kehadiran lembah Mandalawangi yang berada tersembunyi 150 meter dari puncak Pangrango. Mandalawangi memang tak seluas Suryakencana yang ada di gunung Gede, tetapi hamparan bunga Edelweiss yang memenuhinya membuat ia terlihat sangat istimewa.

Dalam puisi “Tanda Tanya”, Gie menggambarkan suasana lembah Mandalawangi dengan kabut tipis yang perlahan-lahan turun menyelimuti hamparan Edelweiss. Di tengah kesunyian hutan semua itu tampak indah, namun terasa sepi dan dingin. Sedangkan dalam puisinya Mandalawangi-Pangrango, Gie menggambarkan seolah-olah Mandalawangi sesuatu yang hidup. Sesuatu yang bisa diajak bercengkrama mengenai hal-hal yang hanya diketahui oleh mereka. Sesuatu yang tidak hanya sangat mengenal Gie, tetapi juga menerima dirinya layaknya belahan jiwa.

Bahkan dengan lugasnya Gie menyatakan rasa cintanya kepada Pangrango. Membuat saya teringat dengan tulisan Daniel Dhakidae dalam pembukaan Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Daniel Dhakidae menulis, “Ketika berbicara tentang cinta dalam diri Soe Hok Gie sebenarnya mungkin yang lebih saya maksud adalah penerimaan sang “Aku”-nya Soe Hok Gie oleh kau dalam segala macam penjelmaannya…”

Dari sana saya kembali mengingat bagaimana kisah cinta Gie yang selalu menemui kegagalan. Gie ditolak, karena mereka tidak ingin terlibat lebih dalam pada kehidupannya. Membuat Gie mendendangkan rindu dan cintanya dalam kehampaan. Ya, seperti yang Gie tulis dalam puisinya,

“Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya”
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah

Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup”

Gie menghadapi tanda tanya, dan menerima Mandalawangi—Pangrango sebagai alter ego. Hingga pada akhirnya, abu seorang Soe Hok Gie pun bersemayam dengan tenang di puncak Pangrango.

 

Tentang Penulis
Mustika Anisa. Lahir di Jakarta, 20 Juni 1989. Mengurus BOM Cerpen, sebuah media apresiasi cerpen online. Tinggal di Depok.

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register