Malioboro, Dalam Bayang-Bayang
Setelah menjadi wacana selama beberapa tahun terakhir ini, pembangunan kawasan pedestrian Malioboro akhirnya dimulai. Akhir agustus 2015 lokasi 0 km Yogyakarta mulai dipasang batuan andesit dan akan dibangun air mancur. Tentu hal tersebut membuat deja vu beberapa orang yang pernah mengalami masa lalu di Jogja. Memang benar, beberapa dekade lalu di persimpangan titik 0 Yogyakarta pernah ada air mancur serupa, karena alasan guna kelancaran lalu lintas maka air mancur tersebut kemudian digusur.
Rencananya, kawasan Malioboro akan dijadikan sebagai kawasan pedestrian Yogyakarta tanpa meninggalkan kearifan Yogyakarta. Bukanlah persoalan mudah membuat suatu grand desain untuk kawasan Malioboro sendiri, mengingat sudah puluhan tahun dan dari generasi ke generasi Malioboro sudah menjadi objek vital perekonomian Jogja. Setidaknya akan banyak PR yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta, diantaranya adalah bagaimana cara mengubah tradisi masyarakat di dalamnya. Relokasi pedagang kaki lima, pemindahan lahan parkir, dan penertiban adalah pekerjaan pemerintah yang harus segera dituntaskan. Mengingat berdasarkan rencana pembangunan tahun 2016 revitalisasi Malioboro sudah harus dilaksanakan.
Malioboro sendiri adalah kawasan yang sangat menggiurkan. Setelah proyek jangka menengah tersebut selesai, Malioboro tentu akan lebih menggiurkan bagi para investor. Lalu bagaimana nasib para pribumi yang sudah berpuluh tahun menggantungkan nasibnya pada Malioboro?
Pemerintah kota dan pihaknya kini sedang melakukan sosialisasi dengan masyarakat terkait revitalisasi lahan yang menjadi sumber penghasilan mereka selama bertahun-tahun. Langkah awal yang sedang dikerjakan pemerintah adalah sosialisasi dengan para pedagang di kawasan parkir Abu Bakar Ali. Direncanakan parkir semua kendaraan akan terpusat di beberapa titik tertentu, salah satunya adalah Abu Bakar Ali.
Sejak bulan Maret 2015 pemerintah juga masih bingung apakah diperlukan relokasi para pedagang, atau para pedagang hanya tutup sementara dan diberi insentif, mengingat keputusan tersebut masih menunggu grand desain dari revitalisasi Malioboro sendiri.
Direncanakan pula setelah masalah revitalisasi parkir Abu Bakar Ali terselesaikan, sepanjang jalan Malioboro akan ditertibkan dari parkir kendaraan, dan diharapkan terpusat di beberapa lokasi parkir. Lalu bagaimana nasib para juru parkir di Malioboro?
Berdasarkan penelusuran dari penulis ketika berbincang dengan salah satu pedagang kaki lima di Malioboro, bahwa sewa di Malioboro hingga tahun 2015 sudah sangat tinggi sekali. Akan tetapi berdasarkan penuturannya, hal tersebut sebanding dengan penghasilan yang mereka dapat. Sementara ini, isu yang beredar belum diputuskan pula nasib para pedagang kaki lima yang berjualan sepanjang Malioboro tersebut. Apakah mereka akan direlokasi ke suatu tempat, atau akan diberi insentif pula.
Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar. Meskipun setiap perubahan akan menimbulkan pro dan banyak kontra. Dari tulisan singkat ini belum juga dibahas berbagai motif dari revitalisasi Malioboro tersebut. Lalu apakah Malioboro ke depannya akan tetap berselimut poster dan iklan, seperti yang dituliskan Suminto A. Sayuti dalam puisinya yang berjudul “Malam Malioboro, Meniti Garis Khayal”. Apakah di bawah kerjab Merkuri di jalanan, di setiap simpang terdapat buku catatan, yang walau lepas-lepas kita baca juga lewat kabur pandang.
Kita pun diam dan menunduk
Di Bawah sorot dan kerling mata mereka
Kelicikan yang mendiktekan kehidupan ini
Tentang Penulis
Avesina Wisda lahir di Magelang. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta.