
Main-Mind di Museum: Pertunjukan Inklusif Berbasis Teater Museum
Februari mendatang, kelompok Jalan Teater akan menggelar Main-Mind di Museum: sebuah pertunjukan inklusif berbasis teater museum. Tiga museum yang dipilih sebagai ruang sekaligus panggung pertunjukan berlokasi di Kota Bandung, yakni Museum Sri Baduga, Museum Geologi, dan Museum Konferensi Asia-Afrika. Sahlan Mujtaba, pendiri Jalan Teater sekaligus produser dan sutradara Main-Mind di Museum menjelaskan bahwa garapannya kali ini bertolak dari kecenderungan umum
museum-museum di Indonesia.
“Keberadaan museum masih sebatas tempat penyimpanan artefak atau pajangan bendabenda koleksi. Dalam urusan penyampaian informasi, museum masih jarang diinovasi dengan cara- cara kreatif. Padahal, museum mempunyai potensi ragam daya ungkap terkait multifungsinya sebagai ruang audio-visual juga interpretasinya terhadap masa lampau,” ungkap Sahlan, Jumat (30/12/2022).
Hal itu kentara pada pola komunikasi penyelenggara museum tiap kali menjelaskan koleksi museum kepada pengunjung. Jika bukan lewat caption atau takarir(tekstual), informasi disampaikan secara oral oleh pemandu dengan cara-cara yang tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Pemandu sekadar memberi penjelasan dan pengunjung sekadar menyimaknya. “Komunikasi semacam itu jarang menyentuh (apalagi mengaktivasi) perasaan dan tindakan pengunjung,” sambung Sahlan.
Lewat Main-Mind di Museum, Jalan Teater berupaya mendobrak kejumudan itu. Dimaksudkan untuk mengeksplorasi ragam metode komunikasi interaktif dan pembelajaran kreatif di museum, garapan ini juga diharapkan dapat mengeksplorasi praktik-praktik pembelajaran di museum yang berpusat pada pengunjung. Konkretnya, pertunjukan yang berlangsung tidak hanya untuk ditonton, tetapi juga menunjukkan bahwa pedagogi alternatif museum sedang dipraktikan.
Sebagai sarana pedagogi alternatif, Main-Mind di Museum mengusung empat konsep pertunjukan. Pertama, interpretasi orang pertama, di mana fasilitator memerankan tokoh tertentu, misalnya tokoh sejarah, dan berinteraksi dengan pengunjung museum melalui perannya.
Kedua, pertunjukan teater. Tim Main-Mind di Museum membuat pertunjukan dengan latar waktu tertentu, misalnya kehidupan di Indonesia pada tahun 1950-an (untuk konteks Museum Konferensi Asia-Afrika) dengan tujuan agar fasilitator dapat membantu pengunjung memahami peristiwa sekaligus masalah-masalah yang berlangsung pada periode tersebut juga memaknai relevansinya dengan situasi saat ini.
Ketiga, pemeragaan kembali peristiwa sejarah. Bentuk ini dapat menjadi rekreasi teatrikal dari suatu peristiwa bersejarah, dan prosesnya melibatkan sejumlah pengunjung. Keempat, permainan peran. Bentuk ini dikenal sebagai “interpretasi orang kedua”, fasilitator dan penonton bekerja sama memainkan perannya.
Sahlan menekankan, aspek peran adalah elemen penting dalam pertunjukan Main-Mind di Museum. Di sini, kerja pemeranan lebih tentang ‘memainkan’ daripada ‘menjadi’, dan mengandalkan improvisasi ketimbang hapalan teks tertulis.
Teknisnya, fasilitator dan pengunjung memilih suatu peran dan memainkannya dalam situasi imajinatif. Dalam pertunjukan ini, pemeran (fasilitator dan pengunjung) lebih dari sekadar aktor: mereka adalah sarana untuk mengeksplorasi masalah, menceritakan kisah, mengembangkan tema, dan sebagainya. Fasilitator dan pengunjung mengoptimalkan perannya lewat kegiatan aktif seperti bercerita, menulis, bergerak, merespon suara, dan improvisasi.
“Dalam sebuah pertunjukan berbasis naskah lakon, seorang aktor terikat oleh teks. Namun dalam pertunjukan ini, fasilitator dan pengunjung dapat mencoba semua jenis peran dan situasi secara bebas untuk menjelajahi cerita atau peristiwa apa yang ingin dideskripsikan dan aspek mana yang paling menarik dari cerita atau peristiwa itu,” jelas Sahlan.
Proses garapan Main-Mind di Museum berlangsung sejak akhir November lalu, seminggu sekali, melibatkan sejumlah komunitas dan elemen masyarakat—yang disebut kolabolator—terutama penyandang disabilitas, pelajar, guru, praktisi pendidikan, akademisi, sejarawan, seniman, serta penyelenggara dan pengelola museum.
Pelibatan semua komponen itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan lain diselenggarakannya Main-Mind di Museum: menjadikan museum sebagai ruang inklusif dan demokratis dalam kaitannya sebagai wahana pendidikan dan rekreasi.
Pentas Main Mind di Museum akan dilangsungkan saban hari Sabtu pada tiga pekan pertama bulan Februari 2023. Rinciannya: Museum Sri Baduga (1-2/2/2023), Museum Geologi (10-11/2/2023), dan Museum Konferensi Asia Afrika (15/2/2023).
“Ketiga museum itu dipilih berdasarkan konteks tema museum yang beragam, sehingga memungkinkan
pendekatan dan eksplorasi artistik yang berbeda,” pungkas Sahlan. Seluruh pertunjukan ini gratis dan terbuka untuk umum. Informasi lengkap mengenai Main-Mind di Museum bisa didapat via akun Instagram @main_mind.id.
Narahubung:
Sahlan Mujtaba (085752999788)