Mahwi: Implementasi Jarak dan Waktu
Seorang kawan melontarkan pertanyaan “siapa penyair Madura?” kawan yang satu lagi menimpali pertanyaan tadi dengan pertanyaan “siapa cerpenis Madura?” yang menimpali pertanyaan tersebut tidak lain adalah Mahwi.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kadang menjadi guyonan ketika ada seorang Mahwi Air Tawar. Mahwi yang konon akan intens dengan menulis cerpen karena honornya lebih besar daripada puisi, sekarang kembali menulis puisi lagi. Bahkan dibukukan oleh penerbit Arti Bumi Intaran, Yogyakarta (2016) dengan judul Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi.
Buku antologi puisi Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi ini masuk dalam 15 besar Hari Puisi 2016. Artinya puisi ini diperhitungkan oleh dewan juri yang terdiri dari Maman S. Mahayana, Abdul Hadi WM, serta Sutardji Calzoum Bachri. Namun, peruntungan lomba belum berpihak pada Mahwi.
Kesahajaan Mahwi
Meskipun Mahwi sudah lama menetap di Yogyakarta dan sekarang di Tangerang, akan tetapi ke-Madura-annya masih sangat terasa dari cara berbicara, menulis, hingga ketika berguyon. Guyonan-guyonan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah tukang becak serta orang Madura yang hendak pergi ke Jakarta.
Penumpang: Ke pasar depan berapa rupiah, cak?
Tukang Becak: 10 ribu.
Penumpang: 5 ribu ya? Dekat, kok. Tuh kelihatan.
Tukang Becak: Bo a bo, langit juga kelihatan. Siapa yang mau narik ke sana.
Kemudian cerita yang satu lagi.
Orang kaya dari Madura akan pergi ke Jakarta dengan pesawat terbang. Setelah membeli tiket, dia langsung naik peawat serta duduk di kelas bisnis. Tidak lama dari sana, penumpang lain (sebut saja Marwan) datang hendak duduk di kursi yang ditempati oleh orang Madura.
Marwan: Maaf, Pak, ini tempat duduk saya.
Orang Madura: Sampeyan siapa?
Marwan: Saya penumpang.
Orang Madura: Lho sesama penumpang kok ser-ngoser. Itu kan masih banyak tempat dodok yang kosong. Sampeyan dodok saja di kursi yang masih kosong.
Karena tidak ingin terjadi keributan, Marwan meminta bantuan pramugari serta menceritakan kejadian yang dialaminya. Dan setelah mengecek tiket Marwan, ternyata benar, dia duduk di kelas bisnis. Sedangkan orang Madura tersebut membeli tiket kelas ekonomi.
Pramugari: Maaf, Pak, Bapak duduknya di belakang. Ini tempak duduknya bapak itu.
Orang Madura: Sampeyan siapa?
Pramugari: Saya pramugari
Orang Madura: Apa itu pramugari, saya ndak tahu. Apa kerjaan sampiyan?
Pramugari: Saya bertugas melayani Bapak.
Orang Madura: Loh sampiyan tugasnya melayani saya kok ser-ngoser. Saya ndak mau.
Pramugari melaporkan kejadian ini kepada kapten pilot. Kapten pun mendatangi orang Madura tersebut.
Kapten: Maaf, Pak. Ini tempat duduk milik Bapak Marwan. Tempat duduk bapak di belakang.
Orang Madura: Sampeyan siapa?
Kapten: Saya pilot.
Orang Madura: Apa itu pilot, apa pekerjaan sampiyan?
Kapten: Saya yang nyopir pesawat ini.
Orang Madura: Saya naik bis tidak pernah di ser-ngoser sama sopir. Pokoknya saya mau duduk di sini saja.
Kapten pilot pun mengalami kesusahan meladeni orang Madura tersebut. Hingga akhirnya ada penumpang yang baru saja naik Mbok Tukiem. Pramugari menceritakan kejadian dengan orang Madura kepadanya. Mbok Tukiem langsung mendatangi orang Madura.
Mbok Tukiem: He…he…he…, Pak, sampeyan mau ke mana?
Orang Madura: Oh, saya mau ke Jakarta.
Mbok Tukiem: Lho, sampeyan salah duduk, Pak. Ini tujuan ke Medan. Kalau ke Jakarta, tempat duduknya di belakang. Tuh ada yang masih kosong.
Orang Madura: Oh, salah duduk ya. Ini jurusan ke Medan ya. Untung bertemu sampeyan, lik. Kalau ndak, saya bisa kesasar ke Medan.
Banyak sekali cerita guyon yang selalu ia ceritakan pada saya apabila bertemu. Saya senang mendengarkan cerita Mahwi. Dari saling bertukar cerita itulah kami menjadi akrab. Ditambah sosok Mahwi yang murah senyum serta bersahaja.
Puisi-puisi Mahwi pun demikian. Mahwi dapat mengakrabi apa yang ada di dekatnya. Oleh karena itu banyak sekali tempat serta peristiwa yang ia ceritakan pada puisinya. Ia ceritakan dalam bentuk deskripsi, baik suasana maupun keindahan.
Jarak dan waktu sangat penting untuk orang yang bersahaja seperti Mahwi. Karena dengan dua itu ia menjadi dekat serta banyak yang ia dapatkan dari apapun. Baik dari cerita orang yang ditemuinya, buku-buku, situs, hingga kuliner.
Apakah jarak selalu berhubungan dengan waktu? Ternyata tidak. Jarak tidak selamanya berhubungan dengan waktu. Benda, peristiwa, serta momentum pada puisi Mahwi dihidupkan ketika ia menjemput ingatan. Di sini jarak dan waktu bermain. Selain itu, Mahwi bersandar pada jarak psikologi.
Jarak psikologi yang saya dapatkan pada puisi-puisi Mahwi adalah jarak antara ia dengan dirinya sendiri. Seakan penyair menjadi bagian dari peristiwa tersebut. Mahwi menghidupkan kembali fenomena masa-masa kejayaan. Seperti yang ia tulis pada bab Tanah Air Cerita.
Mahwi masuk dalam cerita rakyat, kemudian ia menjadi bagian pada cerita rakyat tersebut. Ia tidak hanya mengabarkan sebuah cerita yang ditulisnya, namun ia juga sebagai aku lirik yang menderita dan bersukacita.
Pada bagian bab Tanah Air Puisi, Mahwi menjadi kolektor benda-benda antik yang sangat mahal harganya. Ia menjaga serta merawat benda tersebut. Selain itu, benda yang ia miliki memiliki adalah benda yang ia sukai. Hingga akhirnya benda tersebut menjadi pintu masuk pada masa glory yang ingin ia capai.
Mahwi terjebak dalam waktu, ia lupa bahwa sekarang adalah masa glorynya. Bukan lagi zaman Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Chairil Anwar, atau Hamzah Fansuri. Mahwi memiliki krisis identitas, sehingga ia menelisik kembali estetika yang ia temukan dari zaman ke zaman.
Kalam Fansuri
Bersama harapan dalam semadi
Bara meleleh dalam denyut nadi
Biar pelukan sehangat sulur madi
Berat dijumpa hening menjadi
Di serambi Mekkah puisi berkobar
Di Cuk Nyak Dien hati berdebar
Di tangan Fansuri Aceh bersyair
Di hutan nestapa tertawan getir
Kutimang rancak pulung beliung
Kekal di madah penyair merenung
Kalam dan budi merupa lembayung
Kasip nestapa luruh di senandung
Kulayari lautan pantun Fansuri
Kemudi perahu seteguh padri
Kulipat lanskap duka peri
Kuayun damai di samudera diri
Lima kapal lima pelabuhan
Lima ketukan gerbang tasliman
Lama terkepal jiwa perjuangan
Lepas pilu jelang kemenangan
Lagi-lagi saya harus mengatakan, bahwa Mahwi memang orang yang bersahaja. Ia banyak bermain pada wilayah interteks. Namun teks yang ia temukan dibiarkan begitu saja, ia hanya mengambil serta mempelajari kemudian meletakannya kembali di tempat semula. Ia tidak berani mencuri dan memporak-porandakan teks.
Puisi-puisi Mahwi yang terkumpul pada buku Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi dibagi menjadi tiga bab. Bab pertama Air Tanah Puisi, Tanah Air Puisi, Tanah Air Cerita. Ketiga bab tersebut memiliki segmentasi yang berbeda. Namun dapat dipertemukan oleh waktu dan jarak.
Mahwi adalah implementasi dari waktu dan jarak itu sendiri. Tentunya setelah ia banyak bersentuhan dengan bayak hal. Relativitas waktu pada puisinya terjadi tanpa ia pikirkan atau konsep.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
jbs
ulasan keren dari buku yang keren