M Isolo E vivo
Bandung Utara selalu saya rindukan. Mungkin karena banyak sekali kenangan yang tertinggal atau angin yang sejuk, mungkin pula banyak kuliner yang berjajar sepanjang jalan Setiabudhi sampai Lembang. Yang jelas saya mencintai Bandung Utara.
Di Bandung Utara ada tempat yang selalu saya rindukan yaitu gedung Isola. Gedung ini dibangun tahun 1933 oleh arsitek yang bernama Charles Prosper Wolff Schoemaker. Sekarang menjadi gedung rektorat Universitas Pendidikan Indonesia. Gedung ini salah satu gedung bersejarah yang masih berdiri kokoh.
Pesona gedung Isola banyak menginspirasi penyair-penyair untuk menulis puisi. Selain itu, pesona gedung ini juga mampu menarik mahasiswa untuk berlama-lama nongkrong sekadar merebahkan penat, mengerjakan tugas, sampai berpadu kasih. Saya juga pernah mengalami hal-hal seperti itu.
Sudah lama saya tidak main ke kampus Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam pikiran saya pasti banyak terjadi perubahan yang signifikan. Ternyata pikiran saya benar, banyak sekali perubahan di kampus ini. Namun satu yang tidak berubah, yaitu pesona gedung Isola.
Semakin dekat langkah saya menuju gedung Isola, semakin dekat pula dengan kenang-kenangan. M Isolo E Vivo (aku sendiri dan bertahan). Kalimat itu membuat saya tertawa, sebab saya mempunyai pengalaman putus cinta dan lari menyendiri di bawah gedung Isola ini. Aih, tiba-tiba saya teringat dengan puisi Lukman Asya yang berjudul “Di Belakang Taman Partere”.
pohon-pohon ikut menceritakan kesunyian pada batu
dan daun-daun kering yang telah lama meninggalkan
kehidupan.
(Lukman Asya, Di Belakang Taman Partere)
Seperti yang Lukman Asya ceritakan pada puisinya, ada pohon, angin, kompeni, kenangan, doa serta musim, di sana saya sedang berada sekarang di bawah gedung Isola, di Taman Partere. Kemudian saya berbicara dalam hati “siapa yang akan setia?”
Saya senang berlama-lama di bawah gedung Art Deco. Mengamati pohon, bunga-bunga, ikan-ikan di kolam yang keruh dan hijau. Entahlah, semacam ada gairah magis untuk terus bertahan di sini. Mungkin juga sudah lama saya tidak mendatangi tempat ini. Hampir sekitar 5 tahun.
angin mendesir seperti puisimu di hatiku; dahan-dahan itu
lama nian menderitkan sesuatu yang layak dikenang
sejarah ibu: sejarah yang maha pahlawan darahnya
tak kering-kering, tak kering-kering mengalir kembali di nadiku.
(Lukman Asya, Di Belakang Taman Partere)
Pertemuan saya dengan Isola adalah pertemuan yang kesekian, namun kali ini ada hal yang mengganjal. Sebab perasaan saya ketika datang mirip dengan puisi Lukman Asya. Gedung Isola telah memberikan segalanya, saya mengenal sejarah Bandung Utara lewat gedung ini, pertama kali saya mengenal gadis Bandung Utara yang eksotik dan manis juga lewat gedung ini, kemudian saya diperkenalkan cara merawat bunga dan pohon.
Angin, seperti yang banyak ditulis oleh Lukman Asya pada puisinya, memang benar-benar menjadi kekuatan pesona Bandung Utara, khususnya Isola. Seorang kawan pernah berkata “Isola tak bisa diadili dengan mata terbuka”. Isola memiliki sejarahnya sendiri pada setiap pendatang.
Isola ah Isola. Apalagi yang harus saya katakan, kau telah menjelma tubuh para penyair yang pernah merasakan angin utara serta pernah singgah di Bumi Siliwangi.
Isola, aku sendiri dan bertahan.
Tentang Penulis
Usman Nurdiansyah. Lahir di Cianjur. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia.