
Lokatmala: Melihat Gunung Gede-Pangrango dari Jakarta
Cerita dari Jakarta terlalu tumpat dalam wacana Indonesia. Namun selalu ada saja kekonyolan yang terjadi di kota yang telah lama diprediksi akan tenggelam di masa depan itu (misalnya dalam artikel “New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-level Rise and Coastal Flooding)”.
Beberapa hari lalu perdebatan terjadi di jagat maya orang Jakarta, hingga jadi obrolan untuk menghabiskan kopi dalam gelas plastik di parkiran kantor. Perdebatan itu bermula saat Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta mengunggah foto karya Ari Wibisono. Foto itu menampakkan Gunung Gede-Pangrango terlihat jelas dari Jakarta. Bangganya, Dinas LH DKI Jakarta menulis:
Pemandangan Gunung Gede Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan Kualitas udara sedang bersih 😍
.
📍Jl.Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat 🇮🇩
.
Photo @wibisono.ariRepost from @kabarjakarta1 pic.twitter.com/ALd4Vz1riO
— Dinas LH DKI Jakarta (@dinaslhdki) February 17, 2021
Perdebatan muncul ketika Arbain Rambey, fotografer senior, menganggap bahwa Gunung di foto itu ialah tempelan. Kemudian Ari Wibisono merespons dengan menjelaskan bagaimana proses pengambilan gambar hingga terperinci. Warganet terpecah, ada yang mendukung Arbain ada yang membela Ari. Perdebatan didasarkan pada teknik fotografi, dan membengkak hingga pengalaman pribadi, preferensi politik, dan seterusnya. Warganet yang arif membuat beragam meme nan lucu, misalkan Ultraman yang bertarung di dekat gunung.
Di antara gemuruh perdebatan, saya justru merasakan hal lain. Tampaknya orang-orang yang mengoceh dan berdebat itu berada dalam kondisi yang sama: rindu hidup berdampingan dengan alam, misalnya tinggal di sebuah kaki gunung yang agung. Mereka rindu peradaban yang asri dan bebas dari sergapan polusi. Sang fotografer mencoba memulas dengan filter warna, agar keasrian terasa benar-benar hadir ke pusat kota. Yang menolak seolah tak percaya, di antara hutan beton, mereka bisa melihat Gede-Pangrango.
Kerinduan yang besar itu dengan kasat mata dapat kita lihat. Tiap akhir pekan warga Ibu Kota berbondong-bondong ke wilayah Puncak. Duit mereka ditanam agar tumbuh villa-villa di daerah bebukitan. Investasi mereka ditebar agar ramai rumah makan dan penginapan di tempat dengan lanskap alam terindah. Mereka ingin memiliki apa yang sebenarnya jauh dari gapaian tangan sendiri.
Saya tiba-tiba rindu kampung halaman. Kemudian teringat rumpaka (lirik) Cianjuran berjudul “Lokatmala” persembahan Bakang Abubakar. Begini bagian pembukanya:
Gunung Gedè geusan nyandingkeun hatè
Pangrango kuring ngadago
(Di Gunung Gede hatiku tersandar
Di Pangrango, aku menanti dengan sabar)
Sebelum lanjut membaca tulisan ini, alangkah lebih syahdu jika diiringi tembang tersebut (http://bit.ly/dengarlokatmala). Rumpaka itu, menggambarkan ketentraman seseorang saat berada di sana. Gunung Gede-Pangrango yang dicari-cari oleh masyarakat Jakarta kemarin.
Sebagai orang Cianjur, pertama kali saya muncak ke Gunung Gede ketika hati sedang lumayan kalut. Tahun 2015, seseorang memilih yang lain untuk mengarungi tebing dan jurang kehidupannya, bukan saya. Benar saja apa yang dikatakan lirik lagu itu, mendaki ke puncak Gunung Gede membuat hati yang bergejolak tiba-tiba disihir ketakjuban pada diri sendiri—bisa menyusur jalan terjal bebatuan, menapaki jalan menanjak dan turunan curam. Angin kencang menyapu bimbang. Memandang padang edelweiss di alun-alun Suryakencana membuat hidup terasa akan abadi. Merasa neraka tak akan ada. Tuhan seolah-olah lebih dekat dengan kehidupan dibanding dengan kematian. Udara segar sungguh baik untuk tiap hati yang memar.
Selepas itu, tembang “Lokatmala” selalu menemani saya saat merindu kampung halaman, keluarga, dan bocah riang yang seringkali terusir dalam kehidupan dewasa.
Gunung Gede-Pangrango memang telah lama menjadi pusat kehidupan bagi masyarakat Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Ia telah memberikan banyak keajaibannya. Banyolan paling terkenal saat saya masih remaja ialah: produk terbaik Mojang di Cianjur pasti berasal dari daerah Puncak, Cipanas, Sukaresmi, dan sekitarnya. Kulitnya putih, bersih. Setiap datang ke sekolah wajahnya selalu tampak segar nan bersinar. Candaan itu secara sederhana menggambarkan kualitas air, udara, cuaca, dan keajaiban alam kaki Gunung Gede yang membuat masyarakatnya hidup dalam kecantikan alami.
Secara ekonomi, Gunung Gede telah menghasilkan miliaran rupiah lewat tiket pendakian, wisata Kebun Raya Cibodas, hingga pedagang asongan stroberi, gorengan bayam, gemblong, moci, dan lainnya. Ki Adeng, guru ngaji saya dulu memberi ungkapan menarik selepas ia berkunjung ke sana. “Gusti itu baik sekali, hanya dari hamparan rumput dan bebukitan, sungai yang bening, danau-danau kecil, aneka bunga, Kebun Raya Cibodas telah memberikan banyak penghidupan untuk masyarakat di sekitarnya,” begitu kira-kira ucapannya yang dapat diingat.
Bahkan bukti berkahnya Gede-Pangrango masih terasa sampai Jakarta. Saya sering berpapasan dengan mobil berpelat Cianjur yang mengangkut bunga ke Pasar Kembang Rawa Belong, atau mengangkut sayur ke Pasar Pal Merah. Tak terbayang jika tak ada yang mengangkut dari sana. Pasangan muda-mudi bisa kehilangan romantismenya, perut-perut buncit kehilangan makanan sehatnya.
Kedua gunung itu juga memberikan warisan besar terhadap ilmu pengetahuan Indonesia, misalnya melalui penelitian hutan hujan tropis yang dilakukan oleh Junghuhn pada ratusan tahun lalu. Saya tahu dan merasakan betul, keajaiban dan kedamaian hidup di kaki Gunung Gede-Pangrango.
Karenanya, ketika perdebatan itu bergulir, saya seolah ingin kembali lahir. Kemudian hidup damai di sana. Tidak dengan Jakarta tempat saya ngontrak saat ini. Kota yang berlimpah duitnya, sungguh kurang waktu untuk menikmatinya. Kota yang sempit jalannya, sungguh bejibun mobilnya. Kota yang terlalu berat beban tanggungannya, terlalu ringan para pemimpin memikirkannya. Maju kotanya bahagia warganya?
Kejadian ini menurut saya menjadi momen simbolis penting: ada kerinduan besar yang terus bergemuruh di hati warga banyak kota besar Indonesia. Mereka merindu dan bertanya-tanya, kapan konsep hijau dan berkelanjutan melekat dalam setiap kebijakan? Mengapa kemajuan mesti tergesa-gesa saat alam bisa dinikmati jika kita punya banyak jeda? Mengapa pembangunan harus selalu disertai dengan pembabatan, perampasan, pengusiran, dan penghancuran?
Jakarta dan daerah sekitarnya kini tengah dikepung banjir. Air mengalir ke rumah-rumah, air mengalir ke pipi-pipi. Dan sebaiknya tulisan ini saya sudahi.
Memang benar seperti lirik dalam “Lokatmala”, pada akhirnya yang dicari manusia adalah ketenangan, meskipun entah tersembunyi di tempat mana. Dan gunung yang memberikan segalanya kepada kita, seperti Gede-Pangrango, selalu berhasil menciptakan kondisi itu:
Mun napsu mah aduh matak sungkan mulang
Hayang ngahenang-ngahening
Ngahiyang di batu dongdang
Silanglang di jamban herang
(Jika tak sadar, aku enggan pulang
Ingin tenang menikmati hening
Terlelap di atas batu dan melayang
Mandi mengurai rambut di sungai bening).