Fb. In. Tw.

Lokalatih Bersama Lima Perupa Muda

Sebentang halaman hijau terhampar. Di sela pohonan, kicau burung-burung berselingan dengan ricik air kali Pasanggrahan. Kian sempurna, ketika suara riang anak-anak terdengar semarak di sana. Bebas dan gembira.

Demikianlah suasana yang mula-mula saya rasakan manakala menyaksikan Lokalatih Bersama Lima Perupa Muda di Studio Hanafi, Senin (7/5). Lokalatih tersebut diberikan oleh lima perupa muda—Henryette Louise, Moch. Yudistira Wididarma, Silvy Linova, Suyatno, dan Suvi Wahyudianto—kepada 85 siswa dari SDN Parung Bingung 1 dan 2. Kegiatan lokalatih tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan BA[KER]TAS: Pameran Lima Perupa Muda Pilihan Ugo Untoro yang berlangsung di Galari Kertas Studio Hanafi selama 10 hari, terhitung sejak 5 Mei hingga 15 Mei 2018.

“Sebelumnya, dalam pameran tunggal Ugo Untoro ‘Marang Ibu’ (pameran yang sekaligus menandai dibukanya Galeri Kertas pada 24 Maret lalu), Ugo juga memberikan lokalatih kepada sejumlah perupa muda. Lima perupa terpilih kemudian diberi kesempatan untuk berpameran di sini (Galeri Kertas),” kata Art Programme Studio Hanafi, Adinda Luthvianti.

Apa yang disampaikan Teh Dinda—demikian sapaan akrab istri perupa Hanafi tersebut—menunjukkan bahwa ada kegiatan simultan di Galeri Kertas. Dan tak kalah penting dari aktivitas kesenian yang simultan itu adalah regenerasi. Ugo membagi ilmu dan pengalamannya kepada lima perupa muda, lalu kelima perupa muda tersebut membagikan ilmu mereka kepada 85 siswa.

“Hari ini ada workshop buat 85 anak SD. Besok ada workshop serupa buat anak SMA,” papar pengelola Galeri Kertas, Ratu Selvi Agnesia. Lokalatih dilakukan dengan menggunakan media kartu pos dan krayon.

“Selain sebagai media gambar, kartu pos digunakan sekaligus untuk mengenalkan anak-anak pada salah satu media komunikasi zaman dulu. Maklum, zaman sekarang orang kalau kirim pesan sudah serba media digital,” kata Louise, salah seorang mentor. Di satu sisi, hal demikian juga sesuai dengan semangat dan concern Galeri Kertas.

Bagi saya pribadi, mendapati suasana penuh keakraban di Studio Hanafi tak ubahnya seperti mendapati sebuah antitesis. Alasan saya sederhana, bahwa dalam percakapan-percakapan di warung kopi, tak jarang saya mendapat informasi mengenai adanya hubungan yang dingin antara kalangan tua dan kalangan muda dalam pergaulan seni dewasa ini. Galeri Kertas Studio Hanafi menegasikan informasi semacam itu.

Bukan hanya dalam konteks Lokalatih Bersama Lima Perupa saja saya melihat keakraban-lintas generasi terjalin di Studio Hanafi. Saban minggu, misalnya, para penulis muda seperti Esha Tegar Putra, Niduparas Erlang, Heru Joni Putra, Fariq Alfaruqi, dan lain-lain tak jarang berbincang hangat di Studio Hanafi. Bercakap-cakap dengan Afrizal Malna atau Goenawan Mohammad. Hanafi dan istri memang senantiasa membuka lebar pintu rumah mereka bagi anak-anak muda, baik yang punya minat pada sastra, tari, teater, dan tentu saja seni rupa.

Metode lokalatih yang dilakukan kelima perupa muda kepada para siswa juga menyerupai metode lokalatih yang kerap diberikan Hanafi kepada para perupa muda yang berkunjung ke studionya. Mereka diberi kebebasan untuk melukis, lalu mempresentasikan gagasan karyanya di hadapan sang mentor. Kepada mereka, Hanafi sebagai mentor tak sungkan memberi kritik dan masukan—hal yang rasa-rasanya sangat muskil dilakukan seorang maestro.

Melihat keriangan puluhan siswa SD memenuhi kartu pos (dengan gambar rumah, kendaraan, bola sepak, dan pemandangan), tak ubahnya saya melihat sebuah proses belajar yang ideal. Betapa tidak, anak-anak yang masih bau kencur itu mendapat pengalaman belajar melukis langsung dari pelukis. Setelah melukis, anak-anak itu juga diminta untuk menjelaskan karyanya. Sungguh sebuah kegiatan belajar yang tidak hanya melibatkan aspek kognitif dan psikomotorik, namun sekaligus apresiatif. Saya percaya, hal semenyenangkan ini ideal pula diterapkan pada proses pembelajaran seni bidang lainnya.

Baca juga:
Mengupas Novel 24 Jam Bersama Gaspar
Rukiah: Perempuan yang Menulis Sejarah

Pengalaman Seni
Sementara itu, di sela kegiatan Lokalatih Bersama Lima Perupa Muda, hadir pula dosen sekaligus peneliti Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FIP UMJ) Happy Indira Dewi. Menurut Happy, kunjungan para siswa ke Studio Hanafi penting dilakukan dalam kaitannya memberikan pengalaman estetis kepada para siswa.

“Sangat menyenangkan bisa membawa anak-anak SD ke sini. Mengenalkan mereka kepada seorang maestro dan karya-karyanya secara langsung mudah-mudahan dapat memantik lahirnya seniman atau bahkan maestro seni baru di kemudian hari,” kata Happy.

“Kalaupun mereka tidak menjadi seniman, saya berharap para siswa ini ke depannya punya sentuhan-seni. Jika ada yang jadi insinyur dan bikin jembatan, atau ada yang jadi pakar lingkungan, semua yang mereka buat dan lakukan mudah-mudahan ada unsur seninya,” tambahnya.

Apa yang diharapkan Happy, saya rasa tidak berlebihan. Dalam pengantar buku puisi Acep Zamzam Noor Jalan Menuju Rumahmu, penyair sepuh Saini K.M menceritakan pengalamannya bertemu dengan Muhammad Halim, seorang insinyur lulusan ITB yang di masa mudanya terbilang sebagai salah seorang penyair potensial (di samping Sanento Yuliman yang kemudian menjadi kritikus seni rupa, serta Yuswadi Salya seorang arsitek yang punya wawasan luas di bidang kebudayaan).

Kepada Saini, Halim bercerita bahwa dirinya tidak menulis puisi lagi sejak bekerja di bidang yang ia kuasai. Saat itu, Halim tengah menggarap proyek pembuatan tanggul di Surabaya.

“Mengapa dipersoalkan? Membuat tanggul yang bermanfaat bagi masyarakat sama nilainya dengan membuat puisi yang bermutu,” kata Saini.

Halim tidak menjelaskan mengapa dirinya tidak menulis puisi lagi. Hanya, di akhir percakapannya, pakar civil-basah itu menyatakan bahwa dirinya lebih dapat menikmati hidup ketimbang teman-temannya sesama insinyur. “Saya yakin hal ini merupakan hikmah dari puisi karena saya sempat menulis beberapa karya sendiri dan menikmati karya orang lain,” terang Halim.

Bagi Saini, pernyataan Halim jadi menarik lantaran mengandung sesuatu: Halim dapat lebih menikmati hidup karena lewat kegiatan apresiatif dan kegiatan kreatif di bidang puisi, ia dapat merenungi kehidupan. “Artinya, ia lebih sadar akan kenyataan yang dihadapi dan kemungkinan yang dapat dicapainya. Ia dapat melihat Das Sein (Yang Ada) dan Das Sollen (Yang Seharusnya) dari kehidupan ini hingga gairahnya untuk berjuang lebih besar daripada mencari nafkah,” papar Saini.

Menjelang sore, di hamparan halaman hijau, di sela pepohonan dan kicau burung-burung yang berselingan dengan ricik air kali Pasanggrahan, saya seperti melihat gambaran nyata (atau gambaran ke depan?) mengenai apa yang disampaikan Saini KM soal percakapannya dengan Muhammad Halim—lewat kegembiraan anak-anak yang baru saja menyelesaikan lukisannya.[]

KOMENTAR

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register