Logat Madura pada “Karapan Laut”
Madura adalah salah satu daerah di Indonesia yang tidak pernah habis digali dari segi budaya. Salah satunya oleh Mahwi Air Tawar dalam kumpulan cerpennya Karapan Laut. Cerpenis kelahiran Pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983 telah banyak menulis cerita pendek maupun puisi mengenai Madura.
Sebelum meluncurkan antologi Karapan Laut, Mahwi telah meluncurkan k cerpen pertamanya yang berjudul Mata Blater (Matapena/LKIS, 2010). Buku pertama dan keduanya mengangkat realitas budaya Madura.
Karapan Laut yang diterbitkan oleh Komodo Books (2014) terdiri dari 12 cerpen yang berkisah tentang Madura. Madura seperti yang dikatakan oleh Agus R Sarjono memiliki logat yang khas. Logat bicara yang khas itu menjadi spirit Mahwi dalam menulis cerpen. Artinya, Mahwi memiliki kekhasan dalam bertutur cerita.
Pada cerpen Mahwi, permasalahan yang besar ditarik pada persoalan yang kecil dan sederhana. Sehingga apa yang ingin dibicarakan oleh Mahwi pada cerpennya sampai pada pembaca. Selain itu, Mahwi juga apik dalam menyusun deskripsi suasana.
“Kalung kuningan di leher Rattin berdenting-denting. Gelang di empat kaki sapi sono’ itu terus menggemerincing. Hewan itu berlenggang mengikuti irama saronen diterangi sinar serungking, menambah elok badannya yang berlumur bedak kuning.
Bau kemenyan dan bunga terus menyeruak dari samping langgar. Di sana, Dulakkap khusuk merapal mantra. Ketika ia menaburkan beras kuning pada sabut kelapa, pertil-pertil cahaya kemerahan berhamburan dari sela-sela kabut kelapa seiring lengguhan dan lenggang Rattin”
Dua paragraf di atas adalah awal dari cerpen yang berjudul “Sapi Sono’”. Mahwi mengawali cerita dengan penggambaran suasana yang apik. Sehingga membuat pembaca penasaran dan ingin terus mengikuti alur cerita.
Tidak sedikit penggambaran Madura yang air tawar maupun yang air asin dieksplorasi oleh Mahwi. Madura tidak pernah habis dalam cerpen-cerpen Mahwi. Madura yang merupakan tempat kelahirannya menjadi sumber inspirasi, lebih dari itu menjadi kekuatan pada cerpen-cerpennya.
Bahasa-bahasa lokal banyak terdapat pada cerpennya. Biasanya, apabila penempatan bahasa lokal tidak pas pada cerita yang dibangun, maka akan terlihat ganjil dan tidak enak untuk dibaca. Seakan-akan bahasa tersebut menjadi tempelan yang dimaksudkan mengangkat kearifan lokal.
Mahwi menempatkan bahasa dengan baik. Ia berhasil dalam membangun ke-Madura-an dengan gaya tutur Madura. Artinya, bahasa serta tema yang diangkat pada cerpen-cerpen Mahwi bukan tempelan.
”Sampean ini siapa? Berani-beraninya ….” tanya Durampak.
“Kalerker. Rumah saya dekat sini. Saya ingin membuka warung di sekitar sini,” kata Kalerker.
Saat itu Durampak bisa tertawa geli. “Tahu kalau di sekitar sini hanya ada kuburan?”
“Saya bukan anak kecil. Justru karena kuburan-kuburan itulah. Bukankah sejak jembatan Suramadu dibuka, banyak orang datang mencari kuburan keramat?”
“Bahkan kau tak tahu kalau ….”
“sial. Lelaki bau tanah!”
Saat pertama kali bertemu pun Kalerker sudah berani mengumpat Durampak.
“Lalu? Mau buat kuburan baru demi perutmu. Hah?”
“Persis”
“Jangan coba-coba, nak. Jangan cemari kuburan ini. Cari tempat lain. Masih banyak.”
Penggalan dialog di atas terdapat pada cerpen yang berjudul “Wasiat Api”. Pada cerpen ini, Mahwi menangkap fenomena kekinian yang terjadi di Madura.
Karapan Laut merupakan salah satu buku rujukan cerita-cerita kekinian yang berkembang di Madura. Apabila tertarik dan ingin tahu lebih dalam dengan Madura, maka wajib membaca kumpulan cerpen ini.[]
Judul: Karapan Laut
Penulis: Mahwi Air Tawar
Penerbit: Komodo Books
ISBN: 978-604-9137-63-7
Cetakan: I, 2014
Harga: Rp30.000,-