Layar Tancap di Pantai Depok
Sabtu (22/9/2018) kemarin, sekira jam 15.40 WIB, dari Gamping, saya melaju di atas si Pato menuju Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) untuk menjemput teman saya, Yulia. Sehari sebelumnya kami sudah janjian untuk pergi menonton layar tancap di tepi pantai. Pada malam Minggu itu, Yayasan Sinema Yogyakarta kembali menyelenggarakan agenda rutin “Open Air Cinema”, sebuah gelaran nonton film indie di ruang terbuka, semacam layar tancap. Kali itu, “Open Air Cinema” digelar di area Pintu Masuk Pantai Depok, Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta.
Saya sampai di FIB UGM tepat pukul 16.00 WIB. Setelah memastikan Yulia mengenakan helm dengan aman, kami berangkat menuju lokasi acara dengan berboncengan di atas si Pato, motor bebek kesayangan yang namanya diambil dari nama mantan pemain klub favorit saya AC Milan. Kami tiba di Pantai Depok sebelum azan magrib.
Acara dimulai pada pukul tujuh malam. Hembusan angin laut, langit cerah, serta siraman cahaya bulan menyambut antusiasme penonton yang datang dari berbagai kalangan. Mulai dari komunitas pencinta film, mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta, tidak ketinggalan warga di sekitar Pantai Depok.
“Open Air Cinema” dibuka dengan video profil Yogyakarta dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Video tersebut menampilkan paparan makna sumbu filosofis Yogyakarta yang terbentang dari Alun-alun Selatan hingga Tugu Jogja.
Selanjutnya giliran kelompok teater Jam Malam tampil. Mereka menyajikan cerita yang terinspirasi dari boneka voodoo, menggabungkannya dengan tema-tema hitam putih kehidupan, serta sifat hewani yang bersemayam dalam diri manusia.
Setelah pertunjukan teater dari kelompok Jam Malam yang kurang lebih berdurasi 15 menit, acara berlanjut ke agenda utama, yaitu nonton layar tancap. Ada tiga film indie yang diputar oleh panitia. Ketiga film diputar secara maraton.
Film pertama yang diputar adalah Singsot (2016). Film yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo ini bergenre horor. Film ini pernah ditayangkan di Open Air Cinema Jogja-NETPAC Asian Film Festivals 2016. Bercerita tentang seorang anak kecil yang dihantui rasa takut karena suka bersiul di malam hari dan mengabaikan peringatan dari neneknya. Bersiul di malam hari merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Jawa karena dipercaya dapat mengundang makhluk halus.
Berlanjut ke film kedua, Setan Siang Bolong (2013) yang disutradarai oleh Ismail Basbeth. Bercerita tentang Charlie dan Alex, sahabat sekelas yang pada suatu hari ketika pulang sekolah terpaksa harus mengalami kejadian-kejadian mengerikan. Ternyata semua kejadian itu hanya prasangka ketakutan mereka saja. Film horor kocak ini merupakan salah satu film Official Selection pada perhelatan Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada tahun 2013.
Film pamungkas yang diputar adalah Vampire (2014). Bercerita tentang sahabat bernama Kili dan Kecap yang kelaparan di tengah malam Jumat kliwon. Malam menakutkan bagi yang percaya mistis. Sial bagi mereka, warung yang buka saat itu hanya pecel lele-nya Cak Iwan yang berdekatan dengan kuburan angker. Hal-hal itulah yang memancing dugaan dan prasangka akan segala kemungkinan berbau mistis bisa terjadi saat itu, yang pada akhirnya memang terjadi meski tak menimpa mereka. Film besutan Fitro Dizianto ini juga pernah diputar di Open Air Cinema Jogja-NETPAC Asian Film Festivals tahun 2015.
Setelah semua film kelar diputar, acara tidak langsung bubar. Sosok-sosok penting di balik layar produksi film pendek yang diputar ditampilkan ke muka. Di antaranya, Fitriana Ambarwati (Produser film Vampire) dan Eden Junjung (Editor film Setan Siang Bolong). Dalam kesempatan itu, para sineas tersebut menyampaikan salah satu pesan penting. “Bahwa jika anak-anak dan masyarakat umum tidak perlu takut untuk mengikuti minatnya. Jika memang tertarik untuk menekuni dunia film secara formal maupun informal.”
Baca juga:
– Berbincang Bersama Tamu dari Seberang
– Perspektif Lain Max Havelaar
Dahaga Yulia, yang ngebet ingin nonton layar tancap pun terpuaskan. Saya pun begitu. Puas melihat ada suatu ruang apresiasi alternatif yang disajikan untuk masyarakat umum, tak hanya eksklusif untuk kalangan tertentu saja. Panitia mencatat lebih dari seratus penonton yang hadir. Mulai dari anak-anak kecil, bapak-bapak, juga ibu-ibu.
Antusiasme warga sekitar pantai yang menikmati suguhan film yang diputar di layar tancap ini patut juga diapresiasi. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi nostalgia tersendiri bagi saya yang senang menonton layar tancap ketika masih kecil di desa, di Jepara. Barangkali, nostalgia semacam itu bukan hanya milik saya seorang, tapi juga seluruh penonton yang datang di Pantai Depok malam itu.
Menjelang jam sembilan malam, saya bersama Yulia kembali lagi ke kota Yogyakarta. Kembali berboncengan di atas si Pato.[]