Lama
/1/
Aku datang ke Lama karena mereka bilang ini tempat yang tenang untuk menulis. Bangunan rapuh bergaya Tiongkok menyambut di depan mataku begitu kami melewati gerbang yang bertuliskan ‘selamat pulang’. Rumah-rumah tua yang dibangun dari adonan kapur membentang di sepanjang pinggiran sungai yang melintasi kota. Sebuah jembatan kecil menyambungkan antara bangunan gereja dan pertokoan lama, juga gedung-gedung yang nampaknya sudah ditinggalkan. Beberapa lansia terpekur di pinggiran sungai sambil menatap air yang laju. Rasa-rasanya ini memang tempat yang pernah punya masanya sendiri. Bunyi laut bisa terdengar bahkan hanya dengan menutup mata.
“Hei, apa di sini orang-orang lebih sering makan ikan?”
“Kenapa?”
“Kau kan tahu aku alergi ikan.”
“Masa? Bukannya dulu kau makan cumi-cumi?”
“Cumi-cumi bukan ikan.”
Luis memoncongkan bibirnya seolah memikirkan sesuatu, “Kau bisa makan apa pun selain ikan.”
/2/
Luis tinggal di Lama. Ia lahir di Lama dan kembali ke sini setelah menikah. Kini ia menjadi pedagang, meneruskan usaha kecil keluarganya. Keputusan ini bisa dibilang bunuh diri, melihat betapa sepinya Lama.
“Kau mau air?”
“Tidak,” kubilang padanya jujur.
Serbuan angin masuk lewat jendela mobil. Angin yang sejuk dan membuatku panas sekaligus. Kupandang awan yang berarak. Beberapa lalat terbang melayang dalam mataku. Rasanya memang tidak mungkin Luis memilih tempat lain selain di sini. Ia orang yang berpikiran jauh. Kupikir karena pembawaannya itu maka kami dapat terus berteman sampai sekarang.
/3/
Aku bertemu Nona Saeki dalam acara penerimaan anggota baru pers mahasiswa. Luis memperkenalkannya padaku dan setelah itu diam-diam menjembatani hubungan kami. Nona Saeki gadis yang lucu dan energik. Rambut pendeknya yang dicat oranye membuat ia mudah dikenali.
Yang membuatku tertarik pada Nona Saeki adalah ketertarikannya pada Kafka. Ia punya banyak referensi bacaan klasik dan selera humor yang unik. Ia akan tertawa ketika tak seorang pun di dekatnya bicara, dan semakin meninggikan volume tawanya saat seorang mengucapkan kalimat pertama—apa pun bunyinya. Kendati begitu, Nona Saeki bisa jadi sangat sensitif pada saat-saat tertentu. Waktu yang kuhabiskan dengannya serupa jam pasir: begitu mengalir, lalu terhenti dan berbalik.
Aku tidur dengannya beberapa kali dan setelah itu tidak pernah meniduri siapa pun. Bukannya tak ada kesempatan, aku hanya ingin terus merasakannya saja. Tak ada ingatan sesempurna Nona Saeki. Bahkan ketika kusingkirkan bagian-bagian detailnya dari dalam cerita ini. gelombang yang timbul setelahnya selalu membuatku karam.
Dulu kupikir tidak menulis sama saja dengan tidak bernyawa, tapi ketika aku menulis, kematian berkelindan di sekitar kenyataan. Sampai ketika aku memilih untuk berhenti menulis dan menemukan kenyataan di sekelilingku terasa begitu mati, bagiku tak ada lagi bedanya antara menulis dan tidak menulis. Hidup atau mati. Kenyataan atau fana.
/4/
Luis berhenti di depan sebuah rumah tua bercat putih. Persis seperti rumah-rumah yang kami temui di sepanjang jalan. Ia membantu menurunkan barang-barangku dari mobil sambil bersiul. Kami berdiri agak lama di halaman tanpa melakukan apa pun—atau mengatakan apa pun. Matahari turun tepat di atas kepala kami dan aku berupaya agar tak kepanasan.
Tak lama, Nona Saeki membuka pintu depan. Ia tampak begitu cantik mengenakan celemek kuning bergambar bunga matahari. Rambutnya diikat ekor kuda dan aku tak bisa berpaling. Aroma kuah asam menyeruak dari sekujur tubuhnya.
Luis menepuk pundakku dengan keras.
“Selamat datang di Lama, kawan!”
Nona Saeki tertawa.