Fb. In. Tw.

Lagu-Lagu Pilihan Murakami di Masa Pandemi

Seperti yang bisa kita lihat dan rasakan bersama, hingga hari ini, masa pandemi Covid-19 masih belum juga menunjukkan titik akhirnya. Barangkali orang-orang mulai menerima dan membiasakan diri dalam pola hidup yang baru. Meski orang yang terjangkit dan meninggal makin hari makin tinggi. Bukan tanpa alasan jika beberapa orang mulai jengah dan akhirnya berhenti berharap pada nasib baik.

Karantina mandiri menurut saya bukanlah persoalan yang sepele. Sekarang orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, berbicara dengan diri sendiri, dan kadang merajuk putus asa. Orang-orang mencari-cari pelampiasan dalam kesendirian masing-masing, bahkan yang bisa sampai menyakiti diri dan orang lain. Jalan-jalan dipenuhi ketakutan. Sedangkan rumah-rumah dipenuhi kejenuhan.

Mei lalu, sebagai upaya menjaga kewarasan di masa pandemi, penulis berkaliber Haruki Murakami menggelar siaran spesial “Akarui ashita o mukaeru tame no ongaku” (Musik untuk hari esok yang cerah) dari rumahnya sendiri lewat jaringan radio Tokyo FM, pada acara Murakami Radio yang biasanya ia pandu setiap dua bulan sekali. Meski siaran itu sudah lewat beberapa bulan, tapi tidak ada salahnya untuk menyimak lagi lagu-lagu yang dipilih oleh Murakami.

Murakami sendiri, seperti yang sudah diketahui, kerap menghadirkan alusi pop-culture dalam karya-karyanya. Sedangkan alusi berupa lagu adalah hal yang paling kentara. Selain itu, sebagai seorang yang juga pernah mengelola jazz bar, khazanah permusikannya menarik untuk disimak, sekalipun ia pernah mengaku sama sekali tidak bisa memainkan satu pun alat musik, apalagi soal bernyanyi. Dengan karakter suara yang agak berat dan tidak terlalu ekspresif untuk ukuran disc jokey, Murakami memutar sambil mengomentari lagu-lagu pilihannya.

Saat mendengar siaran itu, saya teringat seorang penyiar radio dalam novel Hear The Wind Sing, novel pertama dari Murakami. Seingat saya, dalam novel itu si penyiar radio memutar lagu “Rainy Night in Georgia” dari Brook Benton, di mana satu liriknya berkata “tryin’ to find a warm place to spend the night,” padahal saat itu sedang musim panas, sembari penyiar itu mencuri-curi waktu untuk meminum sebotol cola dingin. Sementara beginilah juga, Murakami memutar lagu-lagu sarat harapan di saat pagebluk masih berlangsung dan tidak terlihat akan segera berakhir.

Inilah playlist lagu yang diputar:

Sambil memutar lagu-lagu, Murakami beberapa kali menyelanya dengan komentar-komentar pendek seputar isu covid-19. Pagebluk ini, menurut Murakami tidak pantas untuk dikiaskan sebagai sebuah perang. Tidak ada perseteruan antara kebaikan melawan kejahatan. Tidak perlu kekuatan untuk bisa saling bunuh. Tidak perlu kebencian. Namun hal ini adalah ujian tentang seberapa keras orang-orang bekerja sama dan saling menolong dalam berbagai hal.

Satu-dua hal besar mungkin akan berubah di masa mendatang, selepas pagebluk berakhir. Semua itu adalah hal yang wajar. Seperti yang Murakami bilang saat merespon sebuah pesan, kurang-lebih begini: “yang penting sekarang adalah tetap menghirup dan menghela napas kita.” Barangkali suatu hari salah seorang dari kita bertemu seekor kodok besar yang meminta bantuan untuk menghentikan pagebluk ini, barangkali juga tidak, tapi siapa yang tahu apa yang terjadi besok?

Beginilah kita sekarang, seperti apa yang dikatakan dalam lagu ciptaan George Harrison yang dilantunkan Nina Simone, “Little darling, it’s been a long cold lonely winter. Little darling, it seems like years since it’s been here.” Meski titik akhir pagebluk belum juga terlihat, tidak ada yang salah untuk terus berharap sambil menikmati lagu-lagu, “Here comes the sun, little darling. It’s alright, it’s alright.”

Eh, tapi tunggu dulu. Coba cek lagi, di langit sana, bulan masih ada satu ‘kan?

KOMENTAR
Post tags:

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register