
Kuliah Lintas Ilmu: Meneladani Sosok Pembaca Sejati
Kuliah Lintas Ilmu adalah sebuah program pembelajaran berbasis apresiasi yang diadakan oleh Ruang Sumber Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) setiap bulan. Program ini digagas oleh MIF Baihaqi sebagai koordinator Ruang Sumber untuk memfasilitasi diskusi lintas ilmu dengan lintas metode dan lintas angkatan. Tujuannya adalah agar mahasiswa, khususnya mahasiswa Psikologi dan umumnya mahasiswa lintas keilmuan, mendapat pengayaan dan pengetahuan tambahan dari bidang ilmu-ilmu lain.
Rabu (18/2), Kuliah Lintas Ilmu memasuki edisi ke-22 (KLI-22) dengan menyajikan topik “Meneladani Sosok Pembaca Sejati: Bung Hatta saat Mahasiswa”. MIF Baihaqi mengundang Deni Rachman dan Muhnizar Siagian, dari Asian-African Reading Club (AARC) sebagai narasumber dalam KLI kali ini.
Dalam pembukaan acara, beliau memaparkan alasan mengapa mengundang kedua narasumber tersebut untuk membahas Bung Hatta. Selain karena keduanya merupakan sahabat dari AARC, keduanya juga mampu memaparkan Bung Hatta dari perspektif yang berbeda. Deni Rachman dari perspektif kebukuan, sedangkan Muhnizar dari perspektif kesejarahan.
MIF Baihaqi juga mengatakan alasan diselenggarakannya KLI-22 pada tanggal tersebut karena bersamaan dengan rangkaian acara yang juga diselenggarakan oleh Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) dan Museum Sri-Baduga (MSB). Tanggal 14-16 Februari MKAA mengadakan Pekan Literasi Asia-Afrika[i], dan tanggal 17 Februari MSB mengadakan Mieling Inggit Garnasih ka 127 Taun di Rumah Inggit, sehingga Psikologi UPI melalui KLI-22 menjadi tuan rumah puncak reli acara nasionalisme tersebut.
Menutup pembukaan tersebut, MIF Baihaqi membaca sebuah puisi Sapardi Joko Damono berjudul “Tentang Mahasiswa yang Mati”[ii]. Kemudian, dilanjutkan pembukaan acara secara resmi oleh Ketua Departemen Psikologi UPI, Helli Ihsan. Sambil Adew Habsta dan Rekan mempersiapkan instrumen musik, MIF Baihaqi sengaja memperkenalkan buku Menjadi Bangsa Pembaca-nya Adew Habsta[iii] yang juga dipamerkan bersama dengan buku-buku Bung Hatta di meja luar Auditorium FIP. Buku-buku Bung Hatta yang dipamerkan merupakan koleksi pribadi Deni Rachman, untuk mendukung pemaparan mengenai karya-karya Bung Hatta semasa hidup.
Sebelum memasuki pemaparan dari kedua narasumber, Nurul, mahasiswa Psikologi mempersembahkan sebuah puisi dari Mustofa Bisri berjudul “Pilihan”. Barulah kemudian Muhnizar dan Deni Rachman memaparkan analisanya mengenai Bung Hatta.
Munizar mendapat giliran pertama memaparkan data-data yang dimilikinya. Katanya, Bung Hatta merupakan seorang mahasiswa Belanda yang sudah naik podium dua kali dalam organisasi Perhimpoenan Indonesia. Beliaulah yang memperkenalkan pertama kali nama Indonesia dalam kancah internasional. Karena pergerakan aktivitas politiknya yang dianggap berbahaya, ia ditahan oleh pemerintah Belanda, dan itu pula yang menyebabkan masa kuliahnya molor hingga 11 tahun.
Bung Hatta adalah sosok yang sederhana dan menurut teman-teman perempuan di kampusnya, ia tidak romantis. Setiap digoda oleh perempuan-perempuan Eropa itu, Bung Hatta selalu mengatakan bahwa ia harus ke perpustakaan. Saat menikah, ia memberikan mahar sebuah buku yang baru saja ditulisnya untuk sang istri.
Bahkan, ada lelucon bahwa istri pertama Hatta adalah Indonesia, istri keduanya adalah buku, dan istri ketiganya adalah Rahmi. Setelah sekilas memaparkan sejarah Bung Hatta, Muhnizar menghubungkannya dengan keadaan Indonesia saat ini. Mentalitas masyarakat Indonesia saat ini, seperti korupsi, adalah budaya yang diperangi oleh Hatta. Universitas memiliki tugas penting untuk memerangi budaya tersebut, yaitu menyampaikan kebenaran.
Muhnizar menyimpulkan dari buku Pokoknya Rekayasa Literasi, kondisi mahasiswa saat ini tidak memiliki kematangan literasi. Bung Hatta dapat menjadi negarawan besar karena kemampuan literasinya sudah matang dan dimiliki oleh beliau sejak mahasiswa, yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi. Dengan menulis, kita melawan lupa. Dengan membaca, kita menambah ilmu pengetahuan dan dengan berdiskusi, kita mengadu kemampuan dengan orang lain.
Deni Rachman, kemudian melanjutkan pemaparan yang memulainya dengan kehidupan perkuliahan Bung Karno. Katanya, berbeda dengan Hatta, Soekarno ternyata lulus tepat waktu dari THS[iv]. Ia hanya sempat cuti selama satu tahun untuk menjenguk ayah ideologisnya, Tjokroaminoto, sehingga lama kuliahnya 5 tahun. Selanjutnya, Deni menjelaskan bahwa ia mengenal Hatta dimulai saat menjadi pedagang buku di pasar kaget Gasibu, kemudian saat tadarusan di AARC, dan akhirnya terjebak dalam dunia pengoleksian buku-buku Hatta.
Beliau memaparkan satu persatu buku-buku Hatta yang ia dapatkan selama awal bergelut di dalam dunia buku. Mulai dari buku yang sempat dipaparkan oleh Muhnizar sebelumnya, sampai buku yang memang banyak diminati oleh banyak orang. Katanya, sempat ada orang yang berebut mendapatkan buku Hatta saat ia menjual beberapa karya beliau.
Perkenalannya dengan Hatta, berlanjut ketika ia menggagas mendirikan AARC. Pada awalnya, AARC menadaruskan buku The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani, tetapi perjuangan mendirikan KAA tidak luput juga dari perjuangan seorang Hatta di atas podium. Dua buku Hatta yang ditadaruskan AARC yaitu Indonesia Merdeka, yang berisi pledoi pembelaan beliau saat diadili di Belanda, dan Demokrasi Kita, yang berisi protes Hatta kepada Bung Karno dan menyebabkan keretakan mereka.
Deni melanjutkan, Hatta adalah seorang kolektor buku. Saat pulang dari Belanda, Hatta membawa 16 peti buku dan membutuhkan waktu satu minggu bagi pemerintah Belanda untuk menyortir buku-buku beliau. Ia juga seorang penulis yang produktif. Sampai tahun 1975, terkumpul 43 buku yang sudah diterbitkan dan masih ada yang terbit berikutnya sampai akhir hayatnya.
Untuk mengenali seorang Hatta, Deni menyarankan beberapa buku untuk dimiliki – minimal dibaca. Buku pertama adalah Memoir, sebuah otobiografi Hatta yang beliau tulis pada masa Orde Baru. Kemudian buku Demokrasi Kita yang sempat ditadaruskan AARC, Beberapa Fasal Ekonomi yang ditulis saat diasingkan di Banda Neira, Mendajung Antara Doea Karang yang berisi paparan politik bebas-aktif Indonesia, Alam Pikiran Junani, dan Bung Hatta Menjawab.
Athhar, seorang mahasiswa Psikologi, kemudian menyelingi paparan luar biasa itu dengan dua buah lagu. Satu lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals saat kematian Bung Hatta dan satu lagi adalah Indonesia Pusaka. Setelah itu, diskusi dilanjutkan kembali dengan beberapa pertanyaan menarik diajukan kepada para narasumber. Akhirnya, KLI-22 ditutup dengan penyerahan piagam dan kenang-kenangan kepada seluruh pengisi acara oleh MIF Baihaqi, selaku pelaksana program.[] Bandung, 19 Februari 2015
[i] Salah satu rangkaian acaranya adalah Khataman The Bandung Connection, tanggal 15 Februari 2015.
[ii] 1996, dalam buku Ayat-Ayat Api, 2000.
[iii] Rencananya buku ini juga akan didiskusikan dalam KLI edisi Maret 2015.
[iv] Sekarang ITB.
Sumber foto: M. Ridha