Kota yang Resah di Kertas Basah
Ketika sekolah komunikasi di Bandung, saya sangat menikmati esai-esai Seno Gumira Ajidarma dalam Tiada Ojek di Paris. Banyak temuan-temuan peristiwa menakjubkan, menggelikan, ganjil, atau bikin marah. Semuanya itu membicarakan satu tema: urbanisme, terutama cerita soal Jakarta.
Di buku itu terbaca mengenai pemakaman yang kalah oleh pembangunan jalan, kabel listrik semrawut, mobil sebagai rumah ketiga, dan seterusnya. Seno menulis penutup di salah satu esainya, “Apa boleh buat, dimensi ruang di Jakarta memang tidak selalu bermakna seperti tampaknya. Berbagai dimensi pandangan inilah yang membentuk Jakarta sebagai ruang bermakna”.
Pemaknaan-pemaknaan terhadap kehidupan sebuah kota itu kental terasa saat saya membaca kumpulan puisi Dea Anugerah berjudul Kertas Basah (2020). Momen puitik Dea, saya kira, banyak bermunculan dari pengalaman tubuhnya yang berkeringat, mulutnya yang berbusa, cinta yang membara, dan berbagai perasaan lain saat ia bergelut dan menghayati kehidupan urban sekitar Jakarta.
Hal itu mulai saya curigai saat menemukan puisi kedua di bukunya, Seekor burung di atap/ taksi terbang rendah/ sepanjang Sudirman/ biru melampaui biru/ kertas minyak dan/ filter instastory// Aku melipat lengan, ia melaju/ seperti cita-cita berubah// jadi cicilan, buyar/ walau sudah gajian// Kupilih KRL dari yang banyak/ bukan untuk berbagi nasib// Di luar jam kerja nasib butuh ongkos/ masing-masing.//. (Burung, hlm. 2-3).
Jalan Jenderal Sudirman, yang sehari-hari terlihat dari jendela kantor saya, kadang dinikmati di malam hari sambil mereguk susu atau kopi dari Emang Starling, kembali menyeruak menjadi sebuah memori yang manis. Burung yang sulit terlihat ketika langit Jakarta seringkali berpolusi, justru ditemukan oleh Dea tengah terbang: menjadi merek sebuah perusahaan taksi.
Puisi itu, tentu bisa menjadi makna lain jika dibaca oleh orang luar kota besar yang tidak mengetahui merek taksi dengan burung biru itu. Apalagi ditambah kata benda filter biru instastory, misalnya.
Namun, Dea ingin juga menyampaikan pesan lain. Meskipun taksi burung biru itu ada di Jakarta, tak semua orang dapat menikmatinya, hingga kebanyakan pekerja dari kota penyokong sekitar Jakarta lebih banyak yang memilih naik KRL. Puisi itu, bagi saya, menawarkan suatu nilai, kemajuan di sebuah city yang Maju Kotanya Bahagia Warganya, belum tentu dirasakan seluruh lapisan masyarakatnya. Keadilan buram bagi warga yang jiwanya “buyar oleh cicilan walau sudah gajian”.
Puisi lain yang memikat hati saya ialah “Bekasi” (hlm. 18-19), puisi yang pernah dimuat di Buruan.co. Bekasi yang sering disebut planet lain, ternyata punya kehidupan yang gula-gula sekaligus getir dalam penghayatan Dea.
Pesawat, putih-putih
terbenam
ke belakang hari
Tapi hanya hari
yang lain lagi
Motor matik murah, kredit
bulan keenam
ditepikan di samping kali
Tapi hanya kali
yang lain lagi
di mana tak seorang pun
mencari cita-cita
pada ludah terapung
dan sedotan, putih
pelan-pelan
membelahnya.
Kemiskinan kaum urban, terekam apik melalui benda-benda kecil yang lekat dengan kehidupan mereka. Namun, hanya penyair yang memiliki sepak terjang dan kekhusyuan tinggi, saya kira, yang mampu menemukannya, lalu menggubahnya menjadi larik-larik yang menggetarkan hati pembaca.
Terutama saya sangat ingin memerhatikan enam larik dalam dua bait terakhir puisi Bekasi itu. Saya kira, rentang pemaknaan yang diberikan cukup lebar, dan memang seperti itulah seharusnya puisi bekerja. Tak seorang pun/ mencari cita-cita/ pada ludah terapung// bisa dimaknai tak seorang pun menggantungkan harapan hidup pada janji politisi yang kemudian jadi ludah bagi orang miskin, bisa juga dimaknai bahwa omongan cita-cita bagi orang miskin hanya jadi ludah yang kemudian dalam larik berikutnya dibelah oleh sampah. Tentu masih luas pemaknaan lainnya.
Melalui puisi ini, saya menjadi diberikan kesadaran, hal lain yang ditawarkan oleh Dea dalam kumpulan buku puisinya. Dea banyak menggali momen puitiknya, atau melakukan penghayatan dan memberikan pemaknaan melalui benda-benda kecil dan mati. Puisi pembukanya berjudul “Boneka” (hlm. 1), dapat menjadi contoh. Mata plastik boneka-boneka/ pantulkan semua/ kecuali perasaan//. Melalui benda mati, hati saya digedor, apakah saya boneka itu?
Namun, saya sangat menyadari pilihan Dea untuk memberikan pemaknaan lebih pada benda kecil saat membaca puisi berjudul “Rambut” (hlm. 9).
Saat kita terlelap
negara memunguti
rambut-rambut gugur
dan membawanya pergi
agar lantai terang
sebab terang itu baik
meski udara retak-retak
dan daun, daun
berkepakan
Di langit, bintang melulu putih
dan seikat demi seikat
uban menyerupai ekor awan.
Puisi itu sebenarnya dibacakan langsung oleh Dea dalam penutup sebuah video reportase andalannya, Distrik, saat membahas mengenai kampung terpadat di Jakarta: Tambora, terutama Kelurahan Kali Anyar. Di video itu saya coba kembali mengikuti gerak Dea dengan sangat hati-hati, mencoba menggali bagaimana ia menghayati kompleksitas kaum urban. Di sana ia menemukan banyak hal, memasak di atas bau tinja, rumah-rumah tanpa tempat MCK, satu rumah dihuni banyak KK, dan sebagainya. Namun, dari sekian banyak pergulatan, Dea hanya memilih satu benda untuk diambil simbol: rambut. Tentu ada kesengajaan dan tujuan tersendiri, saya kira.
Namun, justru pemaknaan terhadap benda-benda mati dan kecil itulah yang menarik perhatian saya, dan membedakannya dengan puisi urban kawan dekatnya, Benny Satryo dalam buku Antarkota Antarpuisi. Meskipun Dea mencoba memiliki keisengan dan gocekan yang liar seperti Benny, tetapi momen-momen yang dipilih Dea tetap memiliki warna dan daya tawarnya sendiri. Benny, dalam puisinya, lebih memilih “perilaku kaum urban” dibanding cara Dea menampilkan “benda mati di sekitar kaum urban”.
Bahasa yang dipilih Dea, saya kira, juga merupakan eksperimen. Ejekan bahwa Benny Satryo itu tidak merusak keajegan dalam sebuah puisi, mulai dilakukan juga oleh Dea. Meski, tentu, pemilihan momen puitik tadi menjadi pembeda. Kata-kata yang dirangkai oleh Dea memiliki warna yang agak gelap, menjadi teka-teki. Sementara Benny Satryo, dengan gayanya, sangat terbuka dan guyon. Dea juga sebenarnya masih lumayan ketat dalam membahasakan pengalamannya melalui puisi. Misalnya dalam larik berikut, ditemukan sajak berbentuk a-b-a-b.
Pabrik menghalau ikan bayang
bandar kalah makin mengurung
Ada SMS anak terkenang:
Bpk Ibrn dkmpung?
(Kelapa, hlm. 26).
Dea juga coba menjadikan bahasa sebagai bahan gocekan dengan gaya lain. Hal itu kentara dalam puisi berjudul sangat panjang: “Bagaimana Indonesia Menjelaskan Timor Leste, 1975-1999 dalam Lagu-Lagu Pop Lokal 90-an Terbaik Versi Cosmopolitan” (hlm. 10). Di puisi itu, Dea mencoba membangun sebuah percakapan, seperti di ruang media sosial, antara Timor-Timur dan Indonesia. Isi percakapan itu ialah serpihan dari lirik-lirik lagu pop seperti disebutkan dalam sebuah judul. Saya kira, Dea pandai menangkap gejala kaum muda yang kadang nge-prank seseorang dengan lirik lagu, atau memang sengaja berbalas pesan melalui cara itu.
Namun, percobaan gocekan bahasanya itu, ada juga yang bagi saya kurang menawan. Akhirnya tak berhasil melewati kaki-kaki konsep puisi yang saya tancapkan. Misalnya dalam puisi Resep (hlm. 24):
Obat baik dikonsumsi tiga kali sehari
Jika dosis berlebih, tutup buku ini.
Puisi itu bagi saya agak gaje. Apa sih, gitu. Jadi puisimu itu obat bagi hati kami, Penyair Dea?
Selain itu, kekurangan dari buku puisi yang diterbitkan Gambang ini ialah tulisan mengenai proses kreatif Dea yang dihidangkan di awal. Bagi saya, itu seperti kredo yang merusak pembacaan lebih murni. Seharusnya tulisan semacam itu cukup ditempatkan di akhir buku saja, hemat saya, setelah pembaca selesai menikmati puisi yang dibawa Dea dalam gerbong Kertas Basah ini.
Secara keseluruhan, saya sangat menikmati bagaimana salikur (21) puisi yang dihidangkan Dea Anugerah. Saya merasakan kekalahan sebagai kaum urban dalam puisi-puisi yang sedikit gelap, sekaligus jenaka. Seperti melihat hasil kerja seorang ilustrator menggoreskan pensil untuk menggambar sebuah kota dalam kertas yang basah.