Fb. In. Tw.

Kisruh 98 dalam Pementasan “RT Nol RW Nol”

Di RT Nol RW Nol, tak seperti biasanya, tentu saja, malam itu seolah mimpi-mimpi mereka terkabul semuanya. Pergi dari tempat tinggal di bawah jembatan layang, menuju kehidupan baru yang tak pernah mereka sangka sebelumnya. Ani pergi menikah dengan Babah beranak 16, Ina memutuskan pergi meninggalkan Si Pincang dan menikah dengan tukang becak, Si Pincang sendiri memilih akan ikut dengan Ati pulang kampung, dan Si Bopeng pun telah diterima jadi klasi kapal pelayaran. Tinggal seorang nenek yang merasa tak perlu kemana-mana, cukuplah sisa usianya habis bersama gubuknya di RT Nol RW Nol.

Ani dan Ina yang diperankan Grandis dan Mega dalam pementasan "RT Nol RW Nol" Resital Teater Lakon. Foto: @ShifaukaFoto)

Ani dan Ina yang diperankan Grandis dan Mega dalam pementasan “RT Nol RW Nol” Resital Teater Lakon. (Foto: @ShifaukaFoto)

Nenek (Mia), Ani (Grandis), Ina (Mega), Si Pincang (Rangga), Si Bopeng (Rei), dan Ati (Rosita) adalah tokoh-tokoh dalam Lakon RT Nol RW Nol karya Iwan Simatupang yang membuka gelaran Resital Teater Lakon 2015. Pertunjukan yang menghadirkan kehidupan kolong jembatan di atas pentas itu disutradarai oleh Mawar Diah Pratiwi. Dengan artistik khas Mawar sebagai seorang perupa, pertunjukan tersebut cukup berhasil menyampaikan problema kelas marjinal kota.

Dalam sebuah wawancara, Mawar menjelaskan latar yang ia bangun adalah kehidupan di bawah jembatan pada kisaran waktu 1998. Barangkali sebagai sutradara, ia bermaksud mengejawantahkan naskah Iwan yang banyak berbicara tentang kehidupan sosial yang korup, degradasi moral, krisis tenaga kerja, dan dilematika prostitusi. Dimana hal-hal tersebut muncul pada tokoh-tokoh marjinal khas Iwan Simatupang. Namun, pemilihan kisaran waktu tahun 98 terkesan terlalu memaksakan, sebab jika ditarik ke masa kini pun persoalan-persoalan yang dibawa tokoh, masih kontekstual.

Lalu tidak ada upaya kontekstualitas dan penyebutan kisaran tahun di dalam pementasan. Pertunjukan, masih merupakan plot Iwan Simatupang dalam kurun waktu sekitar tahun 60-an. Beruntung pemilihan latar yang simpang siur ini dibantu para aktor yang bermain dengan cukup baik.

Dua pelacur yang diperankan Grandis dan Mega nampak bukan sekedar pelacur umumnya. Mereka membebani muatan karakter yang pilihannya cukup menarik. Ani diberi karakter nakal tempramental dan Ina diberi karakter nakal yang perenung. Dua hal tersebut tidak hanya karena keduanya akan terlibat konflik dalam plot Iwan Simatupang, sebab naskah Iwan terbilang cukup cair untuk diberikan karakterisasi apapun. Tapi karena karakter tersebut benar-benar interpretasi dari aktor yang cukup konsisten dan cair diperankan keduanya.

Aktor yang menarik lainnya yakni tokoh Nenek. Nenek yang diperankan Mia mendapat karakter orang tua humoris yang selalu senang bercerita. Porsi dialog bagi Nenek memang terbilang cukup banyak. Namun naskah dialog tersebut disampaikan dalam satu frame krakter nenek yang selalu responsif pada berbagai kejadian di atas panggung. Seperti saat salah seorang pemeran terjatuh dari bangku, ia berkata, “hati-hati dong kamu, kursinya sudah reyot”. Juga beberapa insiden lain yang dengan sangat baik ia respon.

Ina dan Si Pincang (Rangga) dalam pementasan "RT Nol RW Nol" Resital Teater Lakon. (Foto: @ShifaukaFoto)

Ina dan Si Pincang (Rangga) dalam pementasan “RT Nol RW Nol” Resital Teater Lakon. (Foto: @ShifaukaFoto)

Namun tidak semua tokoh memerankan dengan interpretasi dan pembawaan yang baik. Tokoh Ati diperankan dengan tidak konsisten. Kadang nampak dewasa dan kekanak-kanakan. Sementara tokoh si Pincang lebih nampak seperti orang yang terluka kakinya daripada seorang yang cacat. Nada bicaranya yang retoris pun mengganggu aktor lain dalam membangun percakapan yang bulat.

Titik pokok pementasan Mawar Senin malam lalu yakni tentang interpretasi waktu. Apakah pemilihan latar waktu tahun 98 merupakan kesengajaan agar terciptanya sudut pandang lain tentang kisruh 98, tentang gelandangan kolong jembatan yang punya pandangan tentang problema sosial saat itu? Namun jika tak ada satu pun penanda bahasa dan peristiwa yang menggambarkan kisruh sosial 98, tentu penonton akan kesulitan melihat konteks waktu tahun 1998.

Meski kisruh latar waktu mengganggu penguatan cerita, naskah Iwan yang menghadirkan problema sosial universal, akhirnya menyelamatkan pementasan tersebut. Ditambah para aktor yang bermain cukup eksploratif membuat pementasan anak-anak baru Teater Lakon tersebut cukup memuaskan penonton.

Resital Teater lakon kali ini bertema Lentera Cahaya, pentas dari tanggal 16-18 Maret 2015. Menampilkan naskah RT Nol RW Nol karya Iwan Simatupang, Selamat Jalan Anak Kufur karya Utuy Tatang Sontani, dan Pelajaran karya Eugene Ionesco. Resital adalah kaderisasi Teater Lakon. Tentunya tema-tema kritik sosial yang dipentaskan akan menjadi edukasi bagi para penampil dan pecinta teater.[]

Sumber Foto: @ShifaukaFoto

KOMENTAR
Post tags:

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register