
Kisah Kecil di Balik Pemilihan Duta Bahasa Pelajar 2014
Catatan Wida Waridah, ibu rumah tangga, mencintai puisi dan perjalanan.
Bagaimana menuliskan cerita sederhana ini?
Ketika saya merasa bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa
sedangkan seseorang sedang membutuhkan bantuan saya?
Dua sahabat saya yang masih duduk di kelas 10 masuk dalam 100 besar Pemilihan Duta Bahasa Pelajar Jawa Barat. Keduanya harus mengikuti rangkaian tes lainnya untuk bersaing dengan 98 orang lainnya agar terpilih menjadi Duta Bahasa Pelajar Jawa Barat 2014.
Saat mengetahui kabar itu untuk pertama kalinya, saya benar-benar bahagia. Bukan karena masuk 100 besarnya yang membuat saya bahagia. Tapi terpilihnya mereka adalah merupakan kesadaran dari keduanya untuk mengikuti ajang tersebut.
Beberapa minggu sebelum penutupan pendaftaraan untuk ajang tersebut ditutup, saya mengabari beberapa sahabat saya yang masih memungkinkan untuk turut serta. Benar-benar hanya memberitahukan. Sebab tak mungkin meminta mereka untuk ikut, apalagi dengan jalan memaksa. Toh, saya bukan siapa-siapanya. Saya hanya seorang teman, tak lebih.
Mungkin, di antara sekian orang yang saya kabari, hanya kedua orang sahabat inilah yang dengan kesadarannya sendiri ikut mendaftar. Atau bisa jadi ada beberapa lagi, hanya tidak lolos penilaian. Jadi, kebahagiaan saya, terletak pada, mereka mendaftar dengan kesadaran. Bukan atas perintah atau paksaan.
Saya bukan pengajar di sebuah sekolah yang bisa menunjuk muridnya untuk ikut serta sebuah ajang pemilihan atau lomba. Saya hanya seorang ibu rumah tangga yang tak punya kelebihan apa-apa, selain mengajak siapa saja yang datang ke rumah untuk membaca dan menulis. Membaca apa saja. Menulis apa saja.
Kabar bahagia itu ternyata hanya sebentar saja singgah. Besoknya, seorang sahabat menyatakan tidak bisa mengikuti tes selanjutnya, karena tidak diijinkan pergi ke Bandung, tempat penyelenggara menggelar ajang pemilihannya. Ibunya tidak mengijinkannya berangkat. Mungkin karena harinya bertepatan dengan hari Senin. Hari aktif kegiatan belajar. Mungkin juga karena alasan yang lain. Saya tidak tahu.
Sahabat saya yang satunya lagi, dia kebingungan. Dia ingin berangkat ke Bandung, tapi bingung harus bagaimana. Orangtuanya mungkin sibuk. Tak bisa mengantar. Sedangkan berangkat sendiri, dia takut. Jarak Ciamis – Bandung lumayan jauh. Apalagi harus mencari tempat tes di kota yang sama sekali tak pernah didatanginya. Dan harus sudah ada di tempat acara sebelum pukul 08.00 WIB. Kalau telat, didiskualifikasi.
Beginilah saya sekarang. Ingin sekali membantu kedua sahabat saya itu, namun tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, saat pikiran saya mencapai puncak kebuntuan, muncul beberapa ide, yang mungkin bisa dijadikan solusi.
Saya menelepon seorang teman yang ada di Bandung, apakah hari Senin bisa menjemput sahabat saya di Cicaheum pagi-pagi sekali lantas mengantarkannya ke tempat tesnya? Teman saya di Bandung sudah bersedia. Namun masalah muncul saat sahabat saya itu tidak mungkin berangkat sendirian dari Ciamis. Sebab, jika ingin berada di Bandung sebelum pukul 08.00 WIB, maka sahabat saya harus berangkat tengah malam dari Ciamis. Tak mungkin dia berangkat sendirian.
Lalu saya menghubungi pihak penyelenggara, apakah jadwal tes bisa diundur bagi mereka yang datang dari luar kota? Jawabannya tentu sudah jelas, TIDAK BISA. Sebab banyak peserta lain dari luar kota Bandung pun tak keberatan. Ya, ini kompetisi, ini ajang pemilihan, tak ada yang boleh diistimewakan. Semuanya sama.
Saya memahami bagaimana kerja penyelenggara. Toh, beberapa kali juga saya pernah menjadi panitia sebuah ajang atau lomba. Namun, mungkin, dua kisah sahabat saya ini, tidak akan ada yang mengetahuinya, kecuali jika keduanya kelak bisa menjadi juara. Sebab si juara biasanya leluasa bercerita tentang bagaimana mereka bisa mencapai titik puncak itu. Sedang yang tak menjadi juara, ceritanya seringkali terpendam, bahkan terlupakan.
Untuk mencapai sebuah puncak, seseorang harus melewati tanah tandus, tebing terjal, sungai dengan arus dalam, dan banyak hal yang mungkin tak pernah terbayangkan. Tulisan ini saya tulis agar kisah kedua sahabat saya itu menjadi bagian dari kisah siapa saja yang membacanya.
Bahwa ternyata, masih ada orangtua yang melihat ajang Pemilihan Duta Bahasa bukan sebagai ajang yang patut diikuti oleh anaknya. Mungkin lain persoalan, kalau ajang ini adalah ajang glamour yang diekspos berbagai televisi, jurinya artis papan atas, dan popularitas adalah tujuannya.
Saya berharap, sahabat saya yang tidak diizinkan orangtuanya itu masih tetap semangat untuk berkarya. Masih tetap semangat untuk membaca dan menulis. Masih semangat untuk menjalani hari-harinya selepas ini. Sebab dunia belum berakhir. Jauh di depan sana, masih banyak kesempatan lain, masih banyak ajang kreatifitas lain, yang akan menanti buah karyanya.
Sedang bagi sahabat saya yang pada akhirnya berhasil membujuk orangtuanya untuk mengantarnya ke Bandung, semoga berhasil melewati tes demi tes selanjutnya. Ajang ini adalah pembuktian diri, sejauh mana kita sanggup memberikan yang terbaik bagi apa yang kita cintai: Dunia Literasi.[]
Sumber foto: Facebook