Fb. In. Tw.

Khusyuk Sosial

Dalam ibadah, kita menjalin dua hubungan, yaitu hubungan vertikal dan hubungan horisontal. Hubungan vertikal adalah hubungan kita dengan Allah Swt, yang disebut hablum-minallah, dan hubungan horisontal adalah hubungan kita dengan sesama manusia, yang disebut hablum-minan-nas.

Namun dalam praktiknya, kedua hubungan ini tidak terpisahkan sama sekali. Artinya, hablum-minan-nas harus berorientasi pada hablum-minallah, dan hablum-minallah harus berdimensi hablum-minan-nas. Dengan kata lain, dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, kita harus berorientasi pada hubungan dengan Allah. Kebaikan-kebaikan yang kita lakukan kepada sesama manusia harus kita dedikasikan sebagai upaya untuk mencari ridha Allah, bukan yang lain. Demikian sebaliknya, hubungan kita dengan Allah harus berdimensi sosial dalam arti harus memberi efek pada hubungan sosial.

Kalau kita perhatikan, ibadah-ibadah mahdhah, artinya ibadah yang prosedur dan tatacaranya diatur dalam Al-Quran dan Sunnah, terdapat dimensi sosial di dalamnya. Ibadah yang termasuk dalam kategori ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.

Zakat jelas sekali dimensi sosialnya. Islam mewajibkan muslim yang mampu untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Zakat adalah sedekah wajib bagi pemilik harta yang sudah mencapai nishab dan haul. Di samping yang wajib, ada juga sedekah sunnah, yang tidak ditentukan baik besaran maupun waktunya.

Puasa juga memiliki dimensi sosial meski tak langsung. Dengan puasa diharapkan setiap muslim yang mampu merasakan bagaimana kehidupan yang dialami oleh saudara-saudaranya yang tidak mampu, yang mungkin tidak bisa makan dan berpakaian secara layak, atau hanya bisa makan sehari sekali dengan menu tunggal: nasi saja, atau plus garam. Maka melalui puasa, diharapkan muncul empati dan kepedulian dari orang-orang yang berkecukupan kepada orang-orang yang berkekurangan.

Haji pun demikian. Haji mesti dilakukan secara berjamaah. Bahkan dalam menunaikan ibadah haji, kaum muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di satu tempat, yaitu Masjidil Haram dan sekitarnya. Mereka berinteraksi dan saling mengenal satu dengan yang lain, tidak hanya dengan yang satu kampung, satu negara, bahkan dengan yang berbeda negara, berbeda suku bangsa dan bahasa.

Di samping itu, menurut Mahmud Syalthuth, mantan rektor Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, musim haji merupakan momen untuk pertemuan para perwakilan umat Islam dari berbagai negara. Itulah forum yang tepat untuk membahas masalah-masalah umat Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk di antaranya masalah-masalah sosial yang sedang dihadapi kaum muslim.

Lalu, bagaimana dengan shalat? Shalat umumnya dipahami sebagai hubungan individual seorang muslim dengan Tuhannya. Namun kalau kita amati, dalam shalat pun terdapat dimensi sosialnya. Antara lain, dalam shalat fardhu yang sangat dianjurkan dilakukan secara berjamaah. Dengan berkumpul di masjid, baik sebelum maupun sesudah shalat fardhu berjamaah, mestinya seorang muslim dengan muslim yang lain saling menyapa dan saling menanyakan kabar entah dirinya ataupun keluarganya. Bukannya berkumpul di masjid tapi masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri: shalat dan berzikir, lalu pulang.

Lebih dari itu, kalau kita merujuk pada hadis-hadis yang berkaitan dengan shalat, kita akan menemukan keterangan yang menunjukkan bahwa dalam shalat pun, hablum-minan-nas tidak boleh dilupakan. Salah satunya adalah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, “Aku pernah ingin memanjangkan shalat, namun aku mendengar tangisan bayi. Maka aku pendekkan shalatku karena khawatir akan memberatkan ibunya.” (HR Al-Bukhari).

Betapa besar kepedulian Rasulullah Saw terhadap kondisi sosial yang ada di sekitarnya, termasuk dalam urusan yang sering dianggap sepele: tangisan bayi. Hanya karena ‘tangisan bayi’, beliau meringkas shalatnya, padahal semula beliau ingin melaksanakannya lebih panjang. Namun hampir tidak pernah ada kepedulian yang sama ditunjukkan para imam shalat zaman sekarang, meski kadang tangisan bayi itu terjadi di dalam masjid tempat shalat berjamaah yang diimaminya dilangsungkan.

Dalam hadis lain, Rasulullah Saw mengingatkan imam shalat agar selalu memperhatikan keadaan makmumnya, jangan memimpin shalat terlalu cepat dan jangan pula membaca surah yang terlalu panjang atau rukuk dan sujud terlalu lama. Imam mesti memperhatikan kalau-kalau di antara mereka ada orang lanjut usia. Selanjutnya, kata Nabi, “Kalau kalian shalat sendirian, silakan panjangkan shalat sesukamu.”

Sementara saat ini, banyak imam shalat yang merasa enjoy dengan kesenangannya sendiri: membaca surah yang panjang atau sujud yang lama, tanpa memperhatikan keadaan makmumnya.

Atau, yang juga sering terjadi, seseorang melakukan shalat sunnah qabliyah di dalam masjid tanpa memperhatikan orang-orang yang sudah datang lebih dahulu. Seringkali orang-orang harus duduk lama menunggu satu orang yang datang belakangan dan melaksanakan shalat sunnah qabliyah, sebelum iqamat dilantunkan.

Mengerjakan shalat sunnah itu baik, tetapi hendaklah memperhatikan situasi dan kondisi. Jika shalat sunnah dilakukan sebelum shalat berjamaah di masjid, hendaklah memperhatikan keadaan jamaah yang sudah ada. Itulah sebabnya di beberapa masjid, waktu untuk shalat sunnah qabliyah dibatasi. Jika timer sudah berbunyi, maka iqamat segera dilantunkan. Padahal kalau setiap muslim peduli dan mau mengerti keadaan muslim lain yang sudah hadir di masjid, timer itu tidak diperlukan.

Mungkin saja, terutama dalam shalat fardhu subuh, ada orang yang punya keperluan segera atau harus berangkat dari rumah lebih awal tetapi tidak ingin kehilangan shalat subuh berjamaah di masjid. Dengan adanya orang yang datang belakangan ke masjid, tetapi memaksakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah qabliyah, mungkin akan muncul rasa kesal dalam hatinya dan merasa terganggu karena harus menunggu lebih lama. Jika demikian, shalat sunnah qabliyah seperti itu bisa kehilangan kesunnahannya, dan bisa menjadi sejenis kemaksiatan. Menurut hadis, definisi muslim adalah: Al-Muslimu man salimal-muslimuna min lisanihi wa yadihi (seseorang dikatakan muslim apabila muslim lain terhindar dari gangguan lisan dan tangannya).

Contoh lain, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu hari, Sayidina Ali kw sedang shalat di masjid. Ketika itu, datang seorang musafir ke dalam masjid untuk meminta-minta. Karena tak seorang pun di masjid itu yang mau memberi, Sayidina Ali menggerak-gerakkan jari tangannya memberi tanda kepada sang musafir untuk mengambil cincin yang melingkar di jarinya. Lalu musafir itu mengambil cincin tersebut dari jari tangan Sayidina Ali. Setelah mendapatkan cincin itu, sang musafir meneruskan perjalanannya, sementara Sayidina melanjutkan shalatnya.

Menurut sebuah versi, peristiwa ini menjadi asbabun-nuzul turunnya ayat 5 surah al-Ma’idah: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat sementara mereka sedang rukuk.

Jelaslah bahwa shalat bukan untuk menenggelamkan seorang muslim ke dalam suatu trance atau ketidaksadaran terhadap kondisi masyarakat dan keadaan yang ada di lingkungan sekitarnya. Shalat bukan alasan bagi seorang muslim untuk melupakan tanggungjawab sosialnya. Justru shalat mestinya bisa meningkatkan kepedulian dan kepekaan seorang muslim terhadap lingkungan sosialnya. Dengan demikian, ia menggabungkan hablum-minallah dan hablum-minan-nas sekaligus dalam shalatnya. Wallâhu a’lam bish-shawâb.[]

KOMENTAR
Post tags:

Ketua DKM Al-Muhajirin Permata Biru, Cinunuk, Cileunyi, Bandung.

You don't have permission to register