Ketika Seorang Ibu Mengenang Sang Penyair
Aku terlunta memandang pematang tubuhku penuh ilalang
Halilintar menggelepar, bayang-bayang kematian terbentang
Dua baris puisi di atas saya kutip dari sajak “Kenangan Seperempat Abad Silam” karya almarmum penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy. Kebetulan, saat saya ziarah ke makamnya pada 11 Februari 2018 lalu, imaji pada sajak tersebut hampir persis dengan kondisi tempat istirahat terakhir penulisnya saat itu. Ya, makam yang berada di Pemakaman Umum Desa Bendungan, Kecamatan Pangenan, itu, rimbun oleh ilalang. Di saat bersamaan, hujan yang terus mengguyur Cirebon beberapa hari sebelumnya membuat makam sang penyair terendam. Di permakaman itu, makam Alwy bersanding dengan makam ayahnya alm. KH. Abdussomad.
Sajak “Kenangan Seperempat Abad Silam” yang ditulis Alwy pada 1999-2000 cukup merangkum biografi kepenyairan almarhum yang kritis, religius, sekaligus melankolis. Berikut saya kutipkan selengkapnya:
Kenangan Seperempat Abad Silam
jalan-jalan masih berdarah, liku pohon
berkabut dalam risik gelisah, riuh pertempuran
menghambur hancur ke pelukanku semalaman, dan…
Aku terlunta memandang pematang tubuhku penuh ilalang
halilintar menggelepar, bayang-bayang kematian terbentang
juntai bunga api, bilur fajar pagi, dan kilau cahaya galaksi
merayakan kesepian panjang. Dan seperti tak pernah mengenalmu
senantiasa, kuciptakan kembali busur kiblat untuk mengungsi
dan puing-puing, juga retakan waktu yang berangkat tua
menyentuh ulu hatiku dengan sisa kenangan, seperempat abad silam:
alunan dzikir, samudera takbir, dan gemerincing gerimis muram
berpendaran dari sayatan hari-hariku menjadi rintihan puisi
Di lereng tebing ruhaniku, serpihan masa kanak-kanak itu
melukiskan gelombang tangis nyeri pada gari,
doa-doa para sufi beterbangan meniti tangga-tangga
dan pintu langit ampunanmu
rasi bintang-bintang menyisih dari pusaran lambung matahari
deru angin berhamburan membelah pecah imanku yang menyangga
tapi seperti Ibrahim, aku masih menemukan isyarat dan getar rahasia
wajah pualam rembulan, hamparan laut kelam, kemudian kesunyian
di kejauhan, seribu purnama menyepuh berhelai-helai airmataku
yang tergerai dan berdarah, mencium sajadah dan hulu tanah
menara-menara masjid menjulang, ayat-ayat suci bermekaran
di tengah kolam teratai yang bertasbih perih dalam rongga dadaku
seperti orang alim, kuterima gulungan lumpur dan gosong rawa-rawa
juga semenanjung karang, perahu para perusuh yang datang dari jauh
melewati metabolisme darah untuk menyalahkan serat api yang angkuh
kelak melumuri separoh kota menjadi kilang minyak, kuseduh dengan gembira
jaritan caci-maki, lengking gelak-tawa dan rangkaian panjang selongsong senjata
mengapakah perkampungan miskin yang papa kauhanguskan juga menjadi arang
dan menyekapku di tengah kepulauan negeri, dihujani arak serta ledakan perang?
kini, kulupakan kenangan seperempat abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
pesisir bendungan dengan tanah segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
Semua berakhir: para pemimpin memaksa jalan pikiranku menjadi serdadu dan…
Cirebon, 1999-2000
Di luar biografi kepenyairan dan sosoknya yang sangat ekspresif, ternyata Alwy merupakan anak kesayangan dan kebanggaan keluarga. Kenangan akan cikal dari pasangan alm. KH. Abdussomad dan Hj. Aminah itu begitu melekat, terutama bagi sang Ibu, yang dipanggil Emak oleh anak-anaknya.
Ketika saya menemui Emak Hj. Aminah sepulang dari makam dan diperkenalkan sebagai teman almarhum oleh adiknya, Ibu Muyassaroh, Emak langsung menangis menyebut-nyebut nama anak lelaki pertamanya itu dalam bahasa Cirebon.
“Ya Allah, lamun ana murid atawa batur-bature Syubban mene, Mak beli kuat. Mak eman pisan ning Syubban. Ampura Syubban lamun due salah lan dongakna Syubban terus ya (Ya Allah, kalau ada murid atau teman-temannya Syubban ke sini, Mak selalu gak kuat. Mak sayang pisan ke Syubban. Maafkan Syubban kalau punya salah dan selalu doakan dia ya).”*
Niat awal saya ketika sampai ke Cirebon untuk menulis kota dan hubungannya dengan puisi Alwy, seakan-akan terpupus oleh keharuan yang saya saksikan ketika menemui Emak Hj. Aminah. Betapa ia sangat bersedih sepeninggal almarhum. Menurut Ibu Muyassaroh, Emak seperti lebih sedih ditinggal oleh Angban ketimbang waktu ditinggal Abah. Angban adalah panggilan keluarga kepada almarhum, diambil dari kata Ang = Mas, dan Ban dari Syubbanuddin. Masih menurut adik Almarhum, Emak bahkan jatuh sakit tak lama setelah Angban meninggal.
Di rumahnya, Emak Hj. Aminah berada dalam pengawasan dan perawatan keluarga karena penyakit yang menyebabkan pengapuran pada tulangnya. Akibat penyakitnya ini, sehari-hari Emak hanya bisa beraktivitas di atas kasur, tak mampu berdiri apalagi berjalan, dan beribadah pun di situ. Tapi Emak masih kuat buat sekadar duduk.
Tangis Emak sebentar reda, sebentar pecah. Berkali-kali Emak mengatakan, “Ya Allah, ing dalem impen, Syubban sering ngomong ‘Mak, mene. Ning kene enak.’ (Ya Allah, di setiap mimpiku Syubban selalu bilang, ‘Mak, ayo kesini. Disini enak Mak.’).”
Saat tangisnya reda, meski sedang dalam kondisi sakit, mata renta Emak dapat melihat kami yang jauh lebih muda dari anaknya yang telah mangkat. Emak pun menceritakan kenangan-kenangannya tentang Alwy sejauh yang sanggup diingatnya.
Emak Hj. Aminah menceritakan pada kami hal yang paling membanggakan baginya dari Alwy. Bukan, bukan puisi yang ditulis Alwy yang diceritakannya, tetapi bagaimana cara Alwy memuliakan dirinya sebagai seorang Ibu.
Banggane kula ning Syubban iku lamun balik ning umah terus sungkem. Lamun adi-adine sungkem ning isun, cuma cium tangan bae, Syubban sejen, deweke sungkem tangan, cium kaki, dedekep lan ngerangkul isun. Terus mekonon bae lamun deweke sungkem ning kula (Bangganya Emak pada Syubban adalah ketika dia pulang ke rumah lalu sungkem. Kalau adik-adiknya sungkem sebatas cium tangan, Syubban beda, dia sungkem tangan, cium kaki, memeluk dan merangkulku. Selalu seperti itu kalau dia sungkem kepada Emak).
Emak juga masih mengingat momen menarik yang menunjukkan sisi eksentrik anak kebanggaannya. Suatu hari Alwy pernah menitipkan uang buat sang ibu pada seseorang, padahal orang yang dititipinya itu tidak ia kenal.
Syubban iku anak paling dibanggaken Mak, lamun ana rejeki sing seminar atawa diskusi sering dikirimaken kanggo Mak lan adi-adine. Siji cerita, ning kota Cirebon deweke pernah ketemu karo wong sekampunge (Bendungan), padahal deweke beli kenal lan nitipaken amplop kanggo keluargane ning Bendungan, kanggo Wakaji Aminah (Syubban itu anak paling dibanggakan oleh Mak, setiap ada rejeki dari seminar atau diskusi selalu dikirimkan ke Mak dan adik-adiknya. Sampai suatu cerita, di kota Cirebon dia bertemu orang sekampungnya (Bendungan), padahal ia tidak mengenalnya dan menitipkan amplop buat keluarganya di Bendungan, buat Wakaji Aminah).
Setelah merasa cukup menemani Emak Hj. Aminah, kami pamit undur diri untuk kembali ke Cirebon: saya harus mengejar jadwal kereta menuju Yogyakarta. Sebelum kami beranjak, Emak kembali menanyakan nama kami, dan meminta anak kesayangannya didoakan. Kami lantas memanjatkan Al-Fatihah bersama untuk sang penyair. Tentu saja Emak menangis lagi saat kami tinggalkan. Setelah keluar dari pintu rumah, bahkan saat motor kami hidupkan, masih terdengar sayup-sayup tangisan Emak menyebut-nyebut nama anak lelakinya, “Syubban, Syubban…”
kini, kulupakan kenangan seperempat abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
pesisir bendungan dengan tanah segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
Dua baris dari bait terakhir puisi Alwy yang mencoba melupakan masa kanak-kanak itu kini mungkin sudah tak berlaku. Ia telah kembali ke pesisir bendungan (Desa Bendungan), kembali ke tanah segar tempat ia bermula, kembali ke tempat yang syahdu.[]
*Percakapan kami dengan Emak direkam dan ditranskripsi oleh Wahyudi Wah, pegiat sastra Cirebon, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.