Ketegangan Ruang Perempuan
Cerpen “Surat untuk Anak Perempuanku” karya Tenni Purwanti1 bercerita tentang seorang ibu yang menulis surat untuk anak yang dikandungnya. Ia menulis surat karena tahu anaknya akan terlahir sebagai perempuan di tengah makin diskriminatifnya zaman pada perempuan. Si anak mesti membacanya jika ia kelak berumur 17 tahun. Umur yang rentan sekaligus cukup dewasa untuk mendengar segala nasihatnya.
Surat itu berisi nasihat ibu kepada anak perempuannya. Mulai dari cerita hidup keluarganya yang patriarki hingga fenomena diskriminatif terhadap perempuan saat itu. Namun pertanyaan kemudian, apakah hanya karena itu akhirnya ia mesti menulis surat? Keadaan semacam apa yang membuatnya berpikir tak mungkin bertemu dan bicara pada anaknya saat dewasa? Pertanyaan itu membawa kita pada logika sebuah cerita dan penelusuran motif sebab akibat di dalamnya.
Surat sebagai Tafsir
Cerita pendek (cerpen) yang baik bukan hanya mesti bercerita dengan lancar, tetapi juga menceritakan sesuatu dengan tepat. Ketepatan bercerita di dalam cerpen sangat dipengaruhi oleh ruang cerpen yang terbatas. Di dalam ruang yang terbatas itu diceritakan bagaimana suatu kehidupan terbangun dan tergambar persoalannya. Meski banyak yang menganggap seluruh hal dalam kehidupan adalah persoalan, cerpen yang baik selalu pandai mengarahkan pembaca menuju titik persoalan.
Sebab cerita pendek ini memiliki bentuk surat pribadi, maka penelusuran terhadap kehidupan tokoh sangatlah terbatas. Kecerdasan Tenni barangkali terletak pada penempatan posisi tokoh anak sebagai penerima surat. Tokoh anak diposisikan tidak mengetahui hal ihwal kehidupan ibunya. Dengan demikian, anak dan pembaca cerpen berada dalam ceruk pengetahuan yang sama. Keduanya mesti menggali persoalan dan imaji kehidupan ibu melalui isi surat.
Saat ibu mengetahui anaknya akan lahir sebagai perempuan, ia kemudian menulis surat. Surat itu berisi penyadaran ibu pada anaknya melalui penggambaran kondisi keluarga dan masyarakat. Di dalam keluarga, ibu memiliki seorang ayah yang sering membatasinya dengan berbagai aturan patriarki.
Aku lahir di keluarga yang kental dengan patriarki. Ayahku (kakekmu) adalah seorang yang mendominasi semua hal yang terjadi di dalam rumah. Anak perempuan sepertiku harus belajar mengurus rumah dan melayani ayah dan saudara-saudara laki-lakiku.
Ia dilarang ayahnya untuk bersekolah tinggi dan diminta fokus mengurus dapur, sumur, sebelum nanti melayani suaminya di kasur. Hal ini membuatnya kabur ke luar negeri dan bersekolah di sana hingga jenjang S2. Setelah menjalani hubungan selama dua tahun dengan seorang lelaki, ia pun hamil di luar nikah. Akan tetapi, lelaki itu malah pergi meninggalkannya dengan dalih cemburu dan anak yang dikandungnya dianggap bukan hasil hubungan mereka. Kehamilan itu dirahasiakan dari keluarga hingga akhirnya dibongkar saat masa kelahiran semakin dekat. Ia meminta ibunya datang ke California untuk menemaninya di rumah sakit saat-saat persalinan tiba. Dalam penantian seperti itu, surat tersebut ditulis.
Kondisi kehamilan di luar nikah telah meruntuhkan harga dirinya di mata keluarga. Peristiwa ini merupakan puncak konflik dari cerita pendek ini, dimana keluarga dan tetangganya akan tidak peduli pada prestasi gemilangnya di luar negeri dan saat pulang nanti, ia akan lebih dianggap sebagai perempuan tak bermoral. Dari kondisi ini, akhirnya ia merasa perlu menulis surat sebagai solusi dari kebingungan dan kegamangannya menghadapi hari-hari depan. Surat itu terutama sebagai bekal bagi anaknya di kemudian hari.
Di ruang masyarakat, tokoh ibu yang notabene merupakan perempuan cerdas bertitel S2 dan bekerja sebagai dosen, memiliki pandangan mengenai ruang mental masyarakat pada perempuan. Penjabaran tersebut menggambarkan dinamika sosial yang menjadi ancaman baginya dan anaknya kelak. Penjabaran tersebut ada di dalam surat dengan format tuturan yang nyaris menyerupai esai sebagai berikut.
Salah satunya akibat patriarki. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Dalam keluarga, patriarki menempatkan sosok ayah sebagai sosok yang memiliki otoritas terhadap istri, anak, dan harta benda. Aku lahir di keluarga yang kental dengan patriarki. Ayahku (kakekmu) adalah seorang yang mendominasi semua hal yang terjadi di dalam rumah …
Beberapa hal dijelaskan dengan bahasa esai oleh ibu. Ia menjelaskan tentang apa itu patriarki dan membandingkannya dengan kondisi ayah yang sering menghukumnya saat pulang larut malam. Ibu juga menjelaskan tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang menuntut adanya kesiapan kaum perempuan secara fisik dan mental. Bahkan, tokoh ibu menerangkan tentang makna kesetaraan antara laki-laki perempuan yang terletak pada posisi saling menghargai dan menempatkan diri dalam suatu konstruksi sosial. Paparan-paparan tersebut ditulis untuk anaknya jika kelak ia berumur 17 tahun. Pilihan umur seolah menjadi kreasi Tenni untuk kemudian dapat memaparkan cerita yang terlampau berbahasa esai.
Hal ini berakibat, keintiman antara ibu dan anak sedikit sekali dihadirkan. Kehadirannya yang cukup baik misal nampak pada bab awal pengenalan tokoh. Ibu meminta anaknya untuk bebas menamainya dan meminta izin berkomunikasi dengan sebutan “aku”. Ibu juga meminta izin untuk memanggil anak itu dengan nama inisial R dari nama yang telah disiapkannya. Nama itu dapat diganti jika kelak si anak tak menyenanginya. Ibu hanya meminta R menyayangi dan menghormatinya. Seluruh keputusan tentang nama itu mesti pula lahir dari pikiran dan hatinya tanpa paksaan orang lain. Dari gambaran peristiwa ini, kita justru dapat melihat sikap dan gagasan ibu yang demokratis tanpa perlu memaparkannya dengan bahasa esai.
Dalam babak pengenalan tokoh, terdapat pengetahuan bagi pembaca tentang alam masa depan, melalui pemaparan ibu bahwa si anak akan membaca surat tersebut saat umurnya 17 tahun. Hal ini jelas menunjukkan suatu ruang tafsir ganda bagi pembaca. Dari sana kita dapat melihat kondisi tokoh ibu dan ketegangan ruang masa depan si anak. Semisal gambaran kondisi umur ibu saat menulis surat adalah 29 tahun dan dapat dipastikan umur ibu saat surat itu mesti dibaca anaknya (17 tahun kemudian) yakni 46 tahun. Sehingga pembaca dapat menduga-duga, apakah karena perkara umur tersebut akhirnya ia menulis surat? Karena ia merasa tidak percaya diri untuk menemui anaknya saat dewasa?
Pembagian Ruang
Persoalan surat ini dapat dikatakan tidak sekedar merupakan teknik dari bercerita Tenni Purwanti. Ada kepekaan terkait pembagian ruang dalam cerpen tersebut. Surat tersebut merupakan ruang privat dimana segala pemaknaan atas ruang publik terjadi. Sementara Danesi dan Peron membagi pemaknaan pada ruang menjadi tiga variabel, yakni “teritorialitas” (territoriality) atau pemaknaan denotatif atas fisik ruang, “kepanjangan diri” (extension of self) atau pemaknaan sepihak/pribadi pada ruang, dan “konotasi sosial” (coded connotation) atau pemaknaan dalam konvensi sosial tertentu2. Perhatikan nukilan cerpen berikut.
Aku tak hendak menakutimu yang terlanjur lahir sebagai perempuan. Surat ini hanya ingin membuka matamu bahwa tidak mudah menjadi perempuan di negeri dengan riwayat kekerasan yang tinggi …
Tokoh ibu memberi pemaknaan pada teritorial surat sebagai kepanjangan dari dirinya. Kehadiran dirinya untuk menjaga sosok anak yang kelak mungkin tak dapat ditemuinya saat dewasa. Hal yang ingin disampaikannya yakni kondisi rumah dimana ayahnya (kakek anaknya) menghadirkan dirinya sebagai representasi konotasi sosial.
Dalam keluarga, patriarki menempatkan sosok ayah sebagai sosok yang memiliki otoritas terhadap istri, anak, dan harta benda. Aku lahir di keluarga yang kental dengan patriarki. Ayahku (kakekmu) adalah seorang yang mendominasi semua hal yang terjadi di dalam rumah ….
Kau mungkin bingung bagaimana patriarki bisa melahirkan kekerasan? Aku dipukul ayahku karena pulang setelah magrib dan tanpa izinnya. Ia menganggap anak perempuan harus berada di rumah sebelum magrib dan harus minta izin ke manapun hendak pergi …
Dari nukilan di atas, kita dapat melihat ke dalam ruang privat berupa surat yang ditulisnya, bahwa tokoh ibu menilai rumah sebagai kepanjangan konotasi sosial dari ruang publik. Rumah telah dikendalikan oleh ayah yang patuh pada konotasi sosial patriarki. Hal tersebut membuat dirinya tidak nyaman dan memutuskan pergi ke luar negeri. Di ruang publik yang berbeda, kehidupan tokoh ibu berjalan mulus hingga tragedi kehamilan di luar nikah menimpanya. Hal ini kemudian menjadi titik balik tokoh ibu untuk memberi pemaknaan lagi pada rumah (ruang lama) dimana anak perempuannya kelak hidup.
Semoga kau bisa mengerti apa yang telah kusampaikan ini. Kau mungkin akan mencari tahu siapa ayahmu, tapi mungkin juga tidak. Kau juga mungkin akan membenci laki-laki setelah menyimak ceritaku. Apalagi kau dibawa ibuku kembali ke Indonesia dan mungkin kau akan tinggal di rumahku bersama kakekmu, sang penganut patriarki sejati.
Konotasi sosial masyarakat Indonesia tentang kondisi rumah dimana di dalamnya terdapat anak haram tentu tidaklah menguntungkan. Hal ini sepertinya menjadi salah satu motif dari surat tersebut mesti ditulis oleh tokoh ibu. Lebih dari itu, sosok ayah (kakek si anak) tentu akan memperlakukan anaknya dengan tidak baik. Dua hal tersebut tentu saja terpikirkan oleh tokoh ibu. Di samping ia kemudian melihat begitu banyak peristiwa diskriminasi terhadap perempuan seperti ditulis di awal suratnya.
Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini.
Paparan awal dari suratnya ini nampak seperti motif utama dari cerita. Namun jika kita melihat konflik utama dari tokoh ibu, yakni kondisi rumah yang menganut konotasi sosial masyarakat Indonesia yang patriarkal. Pemaparan konflik masyarakat di atas merupakan citra konotasi sosial untuk memperkuat citra konotasi individu atau kepanjangan diri ayah yang menguasai rumah. Rumah yang kelak ditempati anak perempuannya.
Ayah atau kakek si anak merupakan satu-satunya motif kuat keterancaman hidup ibu, sehingga ia tak mungkin menemui anaknya saat dewasa. Namun hal ini amat sedikit mendapatkan penguatan cerita tentang sosok ayah dalam segala tindak tanduknya terhadap tokoh ibu. Sehingga spekulasi akan keterancaman diri tokoh ibu, lebih pada impuls sesaat dari kondisi kekhawatiran ibu sebelum ia melahirkan. Impuls itu pun diperkuat dengan kondisi psikologis sosok ibu dari kondisi keluarga, serta medan sosial yang akan kembali mencekik kebebasan individunya saat ia pulang ke Indonesia. Impuls dari ketegangan ruang perempuan tokoh ibu. Perempuan dengan kondisi biologis yang hamil serta kondisi psikologis yang meresahkan rongrongan moralitas sosial (keluarga dan masyarakatnya).
Cerpen Surat untuk Anak Perempuanku karya Tenni Purwanti menghadirkan cerita tentang tokoh perempuan dalam suatu ketegangan sosial. Ketegangan tokoh perempuan yang keluar dari rumah untuk kemudian mesti kembali lagi ke rumah. Ketegangan yang tercipta karena interupsi masyarakat dan sosok ayah pada ruang pribadinya. Intervensi konotasi sosial ruang publik pada ruang pribadi tokoh perempuan merupakan wacana yang relevan diangkat. Di tengah makin tegangnya intervensi publik terhadap ruang privat dan diskriminasi laki-laki pada perempuan. Tenni kemudian berkata melalui tokoh ibu pada anak perempuannya.
Pada akhirnya, yang bisa kulakukan adalah memberimu bekal untuk menjadi manusia yang menghargai kemanusiaan. Kita melawan dominasi laki-laki bukan untuk mengubahnya menjadi dominasi perempuan, tetapi untuk membuat lelaki dan perempuan di posisi setara sebagai sesama manusia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap laki-laki dan perempuan lain.[]
- Dimuat di Kompas, Minggu, 14 Januari 2018.
- Dalam buku Semiotik & Dinamika Sosial Budaya (Komunitas Bambu, 2011) karya Benny H. Hoed halaman 111-112.