Keripik Setan
Catatan Selaksa Biru
Sebagai pembuka kata, izinkanlah saya menyampaikan bahwa saya tidak tergolong ke dalam pengikut calon mana pun dalam pengertian seorang pendukung. Saya bukan pendukung calon nomor satu, bukan pendukung calon nomor dua, bukan buzzer, bukan ahli agitasi, bukan ahli propaganda, saya adalah seorang penggemar, seorang amatir, seorang yang mengikut pada kehendak hati sendiri dan penggemar keripik.
Dalam hal ini saya ingin mengikuti tradisi para amatir besar, yang membangun kesadaran dengan membaca, seperti yang dilakukan oleh Franz Kafka, bahwa sebuah buku semestinya mampu menjadi kapak yang menghajar kita atau mengguncang pikiran kita.
Begini bunyi kutipan dari Franz Kafka: “Jika buku yang kita baca tidak membangunkan kita dengan hantaman di kepala, untuk apa kita membaca? … Sebuah buku semestinya menjadi kapak bagi laut beku di dalam diri kita.”
Sebuah buku atau tulisan yang baik selalu menyisakan kepenasaranan. Hingga akan muncul pertanyaan: “Kok bisa ia menulis sepeti itu?”
Buku yang baik atau tulisan yang baik memiliki kekuatan untuk menghajar dan mengguncang pikiran kita. Dan buku-buku yang demikian itu yang harus diperbanyak untuk kita baca. Karena dengan membaca buku-buku demikian kita menikmati peristiwa kreatif. Membuat kita terperangah. Segala yang disampaikan buku tersebut melekat lama dalam benak dan membiasakan kita berpikir.
Seperti pembaca yang merindukan bacaan dengan tema yang beragam. Bacaan yang baik selalu mengesankan. Dan bacaan yang buruk selalu menyebalkan. Seperti penyakit menular yang mesti hati-hati. Dan jika bisa, kita menghindarinya.
Banyak penulis yang juga belajar pada orang-orang yang sudah menulis lebih dahulu. Maka begitu pula seorang pebisnis.
Namun saya tidak akan membicarakan soal bisnis, juga tidak soal membaca. Bahkan tentang Franz Kafka juga bukan. Akan tetapi yang akan saya sampaikan mungkin memiliki kekuatan. Serupa kekuatan yang dapat menghajar rasa kantuk. Mengguncang kepala. Ya, saya akan mengulas tentang keripik: Keripik Setan.
Ini masih tentang Pentagon. Ini tulisan ke-10 tentangnya. Cerita tentang Pentagon pastinya membosankan. Bukankah begitu?
Menyebut keripik setan dan Pentagon tidak sempurna tanpa kehadiran satu nama: Hana Wahyuni. Ya, Hana yang membawa keripik setan ke lantai tiga Pentagon. Melalui Hana warga lantai tiga dapat merasakan bagaimana rasanya lidah mereka terbakar. Berkat Hana kelangsungan hidup lantai tiga tidak terlalu bergantung ke warteg samping terminal Ledeng. Maka kepada Hana selayaknya terima kasih itu dialamatkan.
Ini cerita tentu saja jauh sebelum berbagai jenis keripik memenuhi udara Kota Bandung. Keripik Setan yang saya maksud bukan keripik setan dengan ciri khas tingkat kepedasan. Alias varian level. Bukan. Ini bukan keripik Ma Icih atau Karuhun atau Basreng. Ini jauh sebelum itu.
Jika Ma Icih dengan penulisan Maicih (disatukan) lahir pada Juni 2010, keripik setan Pentagon hadir sewindu sebelumnya. Jika Maicih hadir lewat kepiawaian Reza Nurhilman. Maka keripik setan Pentagon ya, karena Hana Wahyuni memasoknya.
Reza Nurhilman pemilik PT Maicih Inti Sinergi yang memasok keripik pedas Maicih dan Bakso Goreng (Basreng) mampu menjadi “Kingkong” dari Singkong. Singkong menjadi seharga keju. Reza berhasil salah satunya karena sistem pemasaran yang unik.
Hana Wahyuni adalah Dana Usaha Hima Satrasia. Melalui kepiawaian tangan Hana kas himpunan mahasiswa salah satunya bisa selalu penuh. Selain memberi manfaat bagi organisasi Hana dengan keripik setannya tentu memberi manfaat bagi penghuni lantai tiga Pentagon.
Lukman Asya, Dadan Saputra, Idham Hamdani, M. Ankawijaya, Edi Koben, Asep “Kobo”, Nana Jiwayana adalah sedikit nama yang patut berterima kasih pada Hana. Di saat lapar memuncak dan hanya ada nasi putih di lantai tiga. Maka kehadiran keripik setan adalah oase.
Sekre ASAS yang bekas toilet itu adalah tempat teraman bagi Lukman Asya yang dalam kekhusuannya menikmati keripik setan. Ruang kelas di samping Hima juga adalah tempat terfavorit bagi M. Ankawijaya menyelinap dengan keripik setan di tangan lalu mengunyahnya sepelan jalannya siput. Sambil tentu saja memandang ke bawah kea rah Hima Bahasa Arab.
Bagi Dadan Saputra menonton film Sinchan di Minggu pagi adalah ritual yang tak bisa terganti. Duduk di kursi jok hitam tanpa kaki. Memandang ke utara, ke Tangkuban Parahu. Televisi hitam putih di atas meja rendah. Tentu tidak sempurna tanpa keripik setan. Menonton Sinchan dengan mengunyah keripik setan adalah perpaduan Mahanikmat baginya.
Kenikmatan rasa pedas di lidah meski telah dua belas tahun berlalu rasanya seperti masih baru. Rasa pedas seperti juga buku bermutu bagi Franz Kafka. Mampu menghantam dan mengguncang. Bagai kapak bagi laut beku di kepala kita.
Salam keripik.[]
Bandung, Sekre ASAS, 27 November 2014