
Kelas Sosial dalam Puisi Warih Wisatsana
Mendapati sajak-sajak Warih Wisatsana di harian Kompas edisi 19 Mei 2018, adalah sebuah pengalaman membaca yang menarik. Pada empat puisinya yang tayang (“Kemolekan Landak”, “Mesatya”, “Sehari Saja Bebas di Jalan Bypass”, dan “Mythomania”), pembaca diajak menghayati interpretasi penyair atas teks di luar puisi yang ditulisnya juga penghayatan murni sang penyair.
Sajak “Kemolekan Landak” didedikasikan Warih Wisatsana kepada Muriel Barbery. Ia adalah novelis Perancis kelahiran Kasablanka, Maroko, 1969. Salah satu karyanya yang paling populer adalah L’Elegance du Herisson atau Kemolekan Landak (dalam terjemahan terbitan Gramedia, 2006). Novel “Kemolekan Landak” mengisahkan tentang kesadaran kelas sosial dalam masyarakat Perancis dengan sejumlah konflik pribadi di dalamnya.
Muriel Barbery mengemas kompleksitas ceritanya dengan latar sebuah apartemen mewah yang dihuni tokoh-tokoh borjuis semacam penasehat negara, bangsawan, dan diplomat. Protagonis novel ini, Renee, hanyalah seorang penjaga apartemen tersebut, yang ternyata adalah intelektual pecinta seni dan budaya.
Satu lagi tokoh penting dalam novel ini adalah Paloma Josse, gadis berusia 12 tahun. Ia tinggal beberapa lantai di atas Renee. Ia tak suka dengan masa depan borjuis yang telah ditakdirkan dalam keluarganya, ia berencana melakukan bunuh diri pada usianya yang ke-13. Meski masih kecil, ia sering menyindir ayah, ibu, dan kakaknya, yang dianggapnya “kaum borjuis hampa”. Novel ini juga telah diangkat ke layar lebar dengan judul “Le Herisson” oleh penulis skenario sekaligus sutradara Mona Achache pada tahun 2009.1
Bahkan, judul yang digunakan Warih Wisatsana pada sajak ini sama persis dengan judul terjemahan novel yang digarap oleh Jean Couteau dan Laddy Lesmana. Maka, sangat mungkin sajak ini merupakan interpretasi dari novel karya Muriel Burbery tersebut. Berikut kutipan lengkap sajak “Kemolekan Landak” karya Warih Wisatsana.
Kemolekan Landak
kepada Muriel Barbery
Sungguh tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Bukankah kita lalat tak ingin putus asa
berkali membenturkan diri ke kaca
berulang terbangun dini hari
mencari padanan arti
menimang bunyi
Menemukan goa tersembunyi dalam kata
dengan remang cahaya di ujungnya
Jalan berliku ke masa lalu
di mana kau dan aku meragu
bertanya selalu
Pada diri siapakah cermin ini terpahami?
Tapi semalaman tak kunjung kita temukan kiasan
bagi ular yang semusim melingkar di belukar
Atau buah apel dalam ingatan
yang membusuk perlahan
di mana seekor ulat merelakan rumah raganya
sebelum terbang jadi lebah kasmaran
bercumbu sekali lalu mati sendiri
Semalaman tak juga kita temukan
pengandaian sempurna bagi sang juru jaga
Landak molek
yang menyimpan duri dalam diri
menahun di batin tak tersembuhkan
Berulang kita menimbang
meluluhkan arti dan bunyi
agar kisah ini direnungi berkali
mengalir dari kamar ke kamar
bagai tulisan pesan orang mati
Mengalir seturut kelana kucing tua
yang tidur di sembarang taman
mengikuti dari kejauhan
dua perempuan paruh baya
terdiam
menyeberangi malam
Sungguhkah setiap hari menunggu
seseorang mengetuk pintu
sambil menghapal derik jengkrik
dalam haiku
yang tak kunjung
sehening petang
Seraya minum teh
meresapi kehampaan
Tapi tak ada yang menyadari
di lantai tertinggi gedung menjulang ini
seorang bocah melankolia
jemu pada ibu
Membayangkan bunuh diri setahun lagi
Tak kuasa ia melupakan bunga violet muda
hiasan aneka pakaian dalam
selembut jaring laba-laba
yang mengelabui mata
Sederas ingatan cemas
seharian menghanyutkan ibu ke dalam cermin
Ya, tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Semua ini bermula dari lelaki tua
berharap terlihat selalu bijaksana
dengan segala mungkin
ingin putri terkasihnya
menjelma si jelita panggung semalaman
Kiasan sempurna bagi landak molek
yang menyembunyikan duri dalam dirinya
2018
Jika kita menemukan salah satu kunci pada sajak “Kemolekan Landak” karya Warih Wisatsana, maka akan sangat terasa interpretasi dari novel karya Burbery tersebut. Mari kita lihat bait ini misalnya: Tapi tak ada yang menyadari/di lantai tertinggi gedung menjulang ini/seorang bocah melankolia/jemu pada ibu/Membayangkan bunuh diri setahun lagi. Sebuah fragmen yang mengisahkan tentang seorang gadis kecil yang membayangkan bunuh diri setahun yang akan datang. Fragmen ini persis dengan kisah Paloma Josee yang merencanakan bunuh diri karena penolakan akan kehidupan borjuis keluarganya di masa yang akan datang, seperti dituturkan Burbery dalam novelnya.
Sementara itu, pada sajak “Mesatya”, kita barangkali harus membuka salah satu buku yang berisi pupuh sinom payangan, pupuh sinom lawe, ginada bagus semara, pupuh pangkur, ginada linggar petak, pupuh semarandana, semarandana cilinaya, ginada eman-eman, ginada jaya prana, pupuh durma, jayendra, candrawati miwah sane lianan. Buku tersebut berjudul Gita Ithiasa Dewi Sita Mesatya karya Jro Made M Mahardika terbitan Penerbit Paramita Surabaya. Atau, mungkin ada teks lain selain buku ini yang menjadi sumber inspirasi sajak ini.
Sementara itu, upacara adat mesatya merupakan pengorbanan manusia (perempuan) hidup-hidup ke dalam unggun api pembakaran mayat di lingkungan kalangan keluarga raja-raja Bali pada masa lalu. Upacara adat ini mula-mula tersiar ke dunia luar atas laporan dari pegawai VOC/Pemerintah Belanda, Jan Oosterwijck (1633) dan J.A. Dubois (1829). Mereka yang melakukan pengorbanan kebanyakan dilakukan oleh janda-janda raja yang berasal dari kasta rendahan, atau oleh gendak-gendak raja dan bahkan oleh pelayan-pelayannya, kendatipun selalu disanjung-sanjung bahwa perbuatan satia di Bali mencerminkan kesetiaan perempuan Bali terhadap suaminya.2
Mesatya
(1)
Ini tarian terakhirmu yang indah
atau tubuh pasrah yang sedih
Penulis lakon itu mengelabuimu
membujukmu jadi sita yang setia
berserah diri
terjun ke unggun api
padahal aku bukan titisan rama
bukan pula samaran rahwana
Ia menjanjikanmu kisah abadi
tersurat prasasti di kaki candi
sebagai putri terpilih tak terganti
Seakan hari terlunasi dan tergenapi
Padahal semalaman
kita telah mengubah akhir cerita
pangeran itu mereguk secawan racun
menolak kutuk langit
yakin dirinya suci
tak akan mati hari ini
Adapun raja tua durjana tewas di pembaringan
dengan sebilah pisau tipis menembus jantung
Ia sempat memuji wangi tubuhmu
kemudian napasnya tersengal
menyadari ajal sejengkal dari sesal
(2)
Tapi semalaman di atas panggung
penulis lakon itu berulang membujukmu
meyakinkanku
bahwa wanita sempurna
sebagaimana sita setia tak ternoda
Tersurat segalanya pada cerita kitab lama
seturut riwayat dan hikayat
yang tak tercatat
Bahwa unggun api ini kekal dalam diri
terus menyala menguji hati sungguhkah suci
Bahwa tubuh perempuan yang bersalah
hanya akan menyisakan puing
hidup padam
segelap arang
(3)
Bukankah kita sepakat
mengelabui penulis lakon itu
di atas panggung pada akhir cerita
unggun api padam sebelum kau terjun
Tubuhmu seketika menderas hujan
luluh meremang
lalu payung payung
melayang turun perlahan
Kita sehening dinding
memandang ranjang
berangsur hilang
Tapi ini tubuh pasrah yang indah
atau tarian terakhirmu yang sedih?
(4)
Penulis lakon itu berkali meyakinkanmu
sita bahagia karena sungguh tak ternoda
Padahal ia sendiri mungkin tak percaya
2018
Pada puisi ini, penyair Warih Wisatsana, menuturkan kisah pengorbanan sita yang setia. Upacara pengorbanan ini sama seperti upacara adat mesatya di Bali pada masa lalu, seorang perempuan yang setia terhadap raja terjun hidup-hidup ke atas unggun api pembakaran mayat yang menyala-nyala.
Baca juga:
– Memetik Buah Tangan Jokpin
– Belantara Kata Ahmad Yulden Erwin
Dalam sajak ini, realitas tersebut coba ditentang dengan sebuah harapan yang jelas-jelas sekadar harapan. Seperti dapat kita baca Penulis lakon itu mengelabuimu/membujukmu jadi sita yang setia/berserah diri/terjun ke unggun api… Padahal ia sendiri mungkin tak percaya.
Seperti halnya sajak “Kemolekan Landak”, sajak “Mesatya” juga berbicara tentang kelas sosial. Sebab perempuan-perempuan yang dikorbankan dalam upacara adat mesatya kebanyakan bukan dari kalangan bangsawan. Melainkan dari kalangan rakyat jelata. Tentu saja dua sajak yang mengutarakan pesan kelas sosial ini menarik. Apalagi ketika hadir di tengah kehidupan masyarakat hari ini yang berupaya keras hidup setara.[]
- Resensi Novel: “Kemolekan Landak”, Pertarungan Kelas Sosial Prancis dalam Apartemen. merahputih.com
- Adat Mesatya di Bali. kanduksupatra.blogspot.com