Fb. In. Tw.

Keklisean serta Kenikmatan Membaca Sajak

Membaca puisi ialah sebuah upaya mengalami kembali realitas tertentu, melalui kompleksitas bahasa seorang penyair yang disajikan secara unik dan puitik. Kompleksitas bahasa itu menampakkan dirinya pada pembaca lewat permainan diksi, bunyi, imaji, maupun majas.

Pada tahap pertama membaca, barangkali seorang pembaca mula-mula akan mencoba menikmati dan tenggelam ke dalam “permainan bahasa” yang dihadirkan penyair. Kemudian, barulah pada tahap selanjutnya, melalui pengetahuan referensial dan pengalaman empirisnya, seorang pembaca akan memadukan dan mengerahkan keduanya untuk sampai pada gagasan inti dari puisi.

Menikmati atau tidaknya, sampai atau tidaknya pembaca pada gagasan inti dari puisi, tentu saja akan sangat bergantung pada bagaimana rancang-bangun bahasa yang dibentuk oleh penyair. Rancang-bangun bahasa itu sudah seyogianya didasari oleh kemampuan penyair dalam memaksimalkan korelasi, koherensi, dan korespondensi dalam setiap susunan serta jalinan kata-katanya.

Tanpa tiga hal itu, akan sangat mungkin pembaca menjadi kurang menikmati kekuatan puitik puisi maupun inti gagasannya. Oleh karenanya, akan sangat mungkin pembaca dihadapkan pada ketidakjelasan pembacaan terhadap puisi yang ia baca. Ketidakjelasan itu bisa berupa jalinan kata yang kurang korelatif, imaji yang kurang koheren, ataupun hubungan antara judul dan isi yang kurang berkorespondensi.

Ketidakjelasan semacam itu pula yang kiranya tampak dalam beberapa sajak yang dimuat di HU Pikiran Rakyat (edisi Minggu, 11/2/2018), yakni sajak karya Wahyu Budiantoro yang berjudul “Alun-alun” dan sajak karya Immanuel Riyadi yang berjudul “Rindu yang Tak Menyatu” dan “Senja”.

Alun-alun

 Cahaya kota temaram pada kibar bendera
Mengikuti dingin angin utara
Aroma kopi menyangga nasib bakul-bakul
Tukang parkir sangsi terhadap ketetapannya sendiri
Mesjid berjamaah waktu

 Pengatur pialang berkepala batu
Datang saban hari Sabtu
Malam setengah purnama
Sejoli mencari cinta
Di antara riang tukang sulap
Rumah tahanan memenjarakan siapa?

Setibanya hari raya
Orang-orang mengadukan duka yang tiba
Bersama deru zaman
Layaknya gelaran mahsyar dunia
Sajadah bergambar pria paruh baya
Berpeci merah
Berjalan miring

Cahaya kota temaram pada kibar bendera
Ambulans membawa tubuh pria paruh baya
Ia sekarat menjelang musim penghabisan
Rumputan berwarna hitam pekat
Kepul kopi beraroma maut; menunggu malam penguburan

Sebagaimana terlihat di atas, sajak ini terdiri dari empat bait. Secara keseluruhan, sajak ini berbicara mengenai kematian. Hal itu ditegaskan melalui diksi kibar bendera, duka, ambulans, sekarat, dan penguburan. Makna kematian coba dideskripsikan melalui suasana kota yang temaram melalui berbagai benda dan gambaran peristiwa.

Setidaknya, sajak ini secara keseluruhan memiliki beberapa gambaran (imaji) tentang alun-alun kota yang dibuat menumpuk, di antaranya: (1) gambaran tentang kota yang temaram dan dingin, (2) tentang aroma kopi, (3) tentang tukang parkir, (4) tentang mesjid, (5) tentang pengatur pialang, (6) tentang malam setengah purnama, (7) tentang sejoli yang mencari cinta, (8) tentang rumah tahanan, (9) tentang hari raya, (10) tentang sajadah, dan (11) tentang seorang pria paruh baya yang sekarat.

Dari begitu banyak gambaran, kita bisa lihat bahwa penyair terkesan hanya mendata dan memotret berbagai hal yang teramati di alun-alun itu. Tetapi pertanyaannya, apakah semua gambaran itu saling berkaitan atau menguatkan terhadap makna kematian itu sendiri? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Justru ada beberapa gambaran yang seolah berdiri sendiri, terutama gambaran nomor 2, 3, 4, 5, 7, dan 8. Gambaran-gambaran itu kurang memiliki korelasi dan koherensi dengan makna kematian yang diinginkan penyair. Itu artinya, jika gambaran-gambaran itu diganti dengan hal lain yang mungkin terjadi di sekitar alun-alun pun sangatlah bisa dilakukan. Tapi untuk apa?

Sajak ini justru terkesan bertele-tele dan memberi kesan ketidakjelasan rancang-bangun bahasa untuk sampai pada gagasan inti penyair. Seperti juga halnya yang terjadi pada sajak Immanuel Riyadi yang berjudul “Rindu yang Tak Menyatu”.

Rindu yang Tak Menyatu

Rindu tak berujung temu
Hingga membeku dalam selimut kalbu
Terperenyuk diam di tepi menunggu
Mengingat bayangnya datang berlalu
Dengan perasaan yang sama nan sendu
Kan tetap berjalan jauh bersama waktu
Sejauh doa dalam lubuk hati menderu
Karena rindu hanyalah lingkaran semu
Di mana ujungnya tak satupun yang tahu
Konon katanya dua lebih baik dari satu
Melukis kisah bersama di lembaran baru
Namun adakah peluang untuk menyatu?
Saat kehadirannya hanya refleksi debu.

Sajak ini hanya terdiri dari satu bait. Sajak ini ingin membicarakan sekaligus memaknai gejala rindu yang tak kunjung bertemu dengan objek yang dirindukannya. Sebagaimana sajak Wahyu Budiantoro di atas, sajak ini juga memiliki beberapa gambaran rindu yang kurang korelatif dan kurang koheren antar jalinan larik-lariknya. Setidak-tidaknya, ada beberapa gambaran inti yang dihadirkan dalam sajak ini, di antaranya: (1) gambaran tentang rindu yang membeku karena tak kunjung bertemu, (2) tentang rindu yang senantiasa hadir dan berjalan sepanjang waktu, (3) rindu adalah lingkaran semu yang tak memiliki ujung, dan (4) tentang rindu yang hadir hanya refleksi debu.

Lantas pertanyaannya, apa sebenarnya gagasan inti dari rindu yang tak bertemu itu? Sementara melalui gambaran-gambaran nomor 1, 2, dan 3 yang kurang korelatif, koheren serta kurang memberikan tawaran pemaknaan lebih terhadap rindu itu, pembaca justru hanya mendapatkan deskripsi dari rindu yang tak kunjung bertemu itu saja. Justru sebenarnya yang kemudian menjadi menarik dari sajak ini adalah bagaimana penyair menghadirkan gambaran akibat rindu yang tak kunjung bertemu itu. Selain itu, pembaca juga semestinya diarahkan pada suatu konklusi gagasan inti dari rindu itu sendiri. Sehingga pembaca mendapatkan gagasan segar dan mendalam tentang rindu yang lumrah dialami oleh seluruh umat manusia.

Sementara pada sajak lain yang berjudul “Senja” karya Immanuel Riyadi, terlihat bagaimana kurang koherensinya antar diksi dalam sajaknya. Sajak ini ingin membicarakan suasana dari sebuah senja. Senja itu memicu rasa rindu aku lirik.

Senja

Seperti malam seusai senja
Berkunjung tiba seketika
Memasuki terangnya cahaya
Menutupi segala cakrawala
Namun hadirnya membawa rasa
Hingga tak bisa melupa
Setiap detik yang tersisa
Walau kini hanya merasa
Rindu itu menjadi biasa
Yang berat tak berjumpa setelahnya

Kata senja dalam sajak itu dibandingkan dengan malam melalui sebuah teknik pengandaian: seperti malam seusai senja/berkunjung tiba seketika. Memperbandingkan antara senja dan malam tentu saja kurang logis. Malam ya malam, begitupun sebaliknya, senja ya senja. Kedua-duanya memiliki kedudukan makna tersendiri sebagai sebuah penanda waktu. Pembandingan dua kata tersebut, meskipun terlihat sepele, justru mengaburkan gagasan intinya.

Selain itu juga, ada ketidak-korespondensi-an antara judul dan isi sajak, seperti ditunjukkan oleh larik ketiga dan keempat: Memasuki terangnya cahaya/Menutupi segala cakrawala. Bukankah gambaran-gambaran ini merupakan deskripsi sekaligus penanda waktu dari malam, daripada sebuah senja? Tentu saja hal ini menjadi gambaran yang kontradiktif dengan senja yang ingin digambarkan dalam sajak. Patut disayangkan.

Pada akhirnya, setelah membaca tiga sajak di atas, setidaknya pembaca bisa berkesimpulan bahwa sajak-sajak itu memiliki ketidakjelasan dan ketidakpaduan rancang-bangun bahasanya. Pembaca seolah-olah dihadapkan pada permainan bahasa yang bertele-tele sehingga mengaburkan inti gagasan yang ingin disampaikan penyair. Di luar hal tersebut, sudah seyogianya sebuah sajak bukanlah mozaik atau montase dari berbagai gambaran (imaji) yang dibuat secara arbitrer atau manasuka saja. Sebuah sajak semestinya menghadirkan kepaduan rancang-bangun bahasa yang memiliki korelasi, koherensi serta korespondensi antara bentuk dan isinya.

Keklisean Sajak
Seyogianya, sebuah karya sastra mau tidak mau akan sangat bergantung pada kemampuan penyair dalam memberikan daya tawar kepada pembacanya. Daya tawar itu mewujud sebagai persepsi-persepsi serta interpretasi lain terhadap realitas keseharian yang telah dialami banyak orang melalui perangkat puitik (diksi, imaji, bunyi, dan majas). Daya tawar yang dimiliki sajak akan sangat bergantung pula pada “daya jelajah” (pikiran maupun emosi) dari seorang penyair itu sendiri.

Sementara dalam proses penciptaan sajaknya, seorang penyair tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari konteks perkembangan perpuisian maupun realitas zaman yang melingkupinya. Oleh karena itu, mau tidak mau seorang penyair dituntut untuk terus melakukan berbagai invensi serta inovasi, agar sajaknya senantiasa memiliki kesegaran serta mendapatkan identitas yang kuat, di tengah membanjirnya sajak-sajak yang juga telah ditulis begitu banyak penyair.

Meskipun spirit invensi dan inovasi itu merupakan strategi ideal berkarya, bukan tidak mungkin seorang penyair akan terhindar dari keklisean hasil penciptaan sajaknya. Keklisean itu terdapat dalam bentuk maupun gagasannya. Keklisean itu jugalah yang kiranya ditemukan dalam beberapa sajak-sajak karya Immanuel Riyadi. Setidaknya, kedua sajaknya yang berjudul ”Rindu yang Tak menyatu” dan “Cinta Sepihak”,  memiliki suatu keklisean bentuk maupun isi.

Keklisean dari segi bentuk, yang paling mencolok adalah teknik permainan bunyi. Teknik permainan bunyi yang dipilih oleh Immanuel Riyadi rasanya cukup arkais jika dibandingan dengan sajak-sajak penyair Wahyu Budiantoro. Immanuel Riyadi memakai teknik permainan rima di akhir semua lariknya. Teknik ini tentu saja banyak digunakan pada puisi-puisi lama Indonesia, semisal pantun dan gurindam. Teknik perulangan dan persamaan bunyi akhir dalam puisi lama Indonesia itu memiliki prinsip keteraturan pola yang tetap. Keteraturan dan ketetapan pola itu dimaksudkan demi mencapai efek-efek tertentu dalam benak audiensnya. Karena pada waktu itu, puisi-puisi diartikulasikan melalui lisan, maka intensitas dari permainan bunyi itu akan sangat menentukan jalinan komunikasi antara penyair dengan audiensnya.

Pada sajak berjudul “Rindu yang Tak Menyatu”, dengan cepat kita bisa melihat bagaimana bunyi vokal u terus berulang pada ujung semua larik sebagai rima akhir. Begitu pun dengan sajak berjudul “Cinta Sepihak” yang memainkan pengulangan rima akhir berupa bunyi-bunyi aliterasi –ar dan sajak berjudul “Senja” yang memainkan pengulangan rima akhir berupa vokal a.

Meskipun begitu, bukan berarti teknik penggunaan rima akhir yang sama di setiap lariknya itu yang menjadi klise, tetapi justru cara dia mengolah teknik itu sendiri. Pengolahan teknik yang digunakan pada sajak Immanuel Riyadi terkesan membosankan. Pertama, membosankan karena pemilihan diksi-diksinya yang kurang kaya dan eksploratif. Kedua, membosankan karena teknik permainan bunyinya kurang variatif.

Dilihat dari sisi lain, teknik penggunaan rima akhir yang sama di ketiga sajaknya bukan berarti tak mencapai kekuatan puitik sama sekali. Boleh dikatakan bahwa teknik permainan bunyi yang digunakan Immanuel Riyadi juga mencapai efek yang memberi kesan emosi tertentu dari sajak-sajaknya. Misalnya rima akhir vokal u yang terdapat dalam sajaknya yang berjudul “Rindu yang Tak Menyatu”, yang di antaranya diwakili oleh diksi: temu, kalbu, menunggu, berlalu, sendu, waktu, menderu, semu, tahu, satu, baru, menyatu, debu. Dari perulangan bunyi u lewat diksi-siksi itu, kiranya kita bisa merasakan bagaimana ada suatu emosi aku lirik, berupa perasaan-perasaan sendu dan keluh kesah yang menderu-deru. Efek emosi yang ditimbulkan dari perulangan bunyi u tersebut cukup mendukung ide yang ingin disampaikan, yakni tentang kerinduan yang tak kunjung menyatu.

Sementara keklisean dari segi gagasan/ide, di antaranya terdapat dalam sajak yang berjudul “Cinta Sepihak”. Keklisean itu kita temukan dalam larik, cinta sepihak takkan wajar/pun dapat bertengkar (larik kesatu dan kedua). Pandangan bahwa adanya konflik batin yang muncul karena cinta yang sepihak  barangkali sudah lumrah bagi kita. Tanpa larik sajak ini pun, kita sebetulnya sudah mengalami dan mengetahuinya. Pandangan-pandangan umum semacam ini memang cukup menganggu. Pembaca justru kurang ditawari dimensi makna yang lebih kaya lagi dari itu, sehingga bisa kita katakan, hal tersebut sebagai sebuah keklisean dari sajak.

Di luar keklisean bentuk dan isi, sebenarnya sajak-sajak Immanuel Riyadi memiliki potensi teknik yang bisa dikembangkan, yakni teknik personifikasi. Personifikasi kerap digunakan Riyadi di ketiga sajaknya. Melalui teknik personifikasi itu, kita bisa melihat bagaimana hal-hal yang abstrak, semisal rindu atau cinta, bisa dibuat seolah-olah hidup. Rindu bisa saja tiba-tiba berpijar, rindu bisa tiba-tiba membeku, berjalan, dsb. Teknik personifikasi membuat sajak-sajak Riyadi terkesan memiliki daya imajis. Jika teknik ini dikembangkan dan diolah terus-menerus, mungkin akan membantu Riyadi untuk perlahan keluar dari keklisean.

Kenikmatan Membaca Sajak
Di luar pembahasan hal-hal teknis seperti dijelaskan di atas, saya sebetulnya melihat adanya sebuah sajak yang bagi saya pribadi cukup berhasil dan asyik untuk dinikmati, yakni sajak Wahyu Budiantoro yang berjudul “Puisi”.

Puisi

Serupa
Tanah pemakaman
Ia digali oleh tangan
Penyairnya sendiri

Pada sajak pendek yang hanya terdiri dari empat larik ini, kita bisa melihat adanya gagasan yang memusat dan rancang-bangun bahasa puitik yang padu. Sajak ini mencoba menawarkan ide bahwa puisi bisa lahir dari mana saja, digali di mana saja, tak terkecuali di ruang-ruang kematian sekalipun –seperti yang juga ditegaskan oleh kata ­pemakaman pada larik kedua. Sementara di sisi lain, sajak ini bisa juga dimaknai sebagai dunia puisi yang begitu ironi. Puisi adalah kematian itu sendiri dan kematian itu justru digali oleh penyairnya sendiri. Kiranya, di sanalah letak ironi dari sajak ini.

Dari dua model interpretasi tersebut, kita bisa menganggap bahwa sajak ini cukup berhasil membuka ruang pemaknaan. Pembaca bukan hanya diberikan semacam kenikmatan ketika memasuki imaji mengenai puisi itu sendiri, tetapi juga diberi keleluasaan ruang untuk memilih sendiri cara memaknainya.

Sementara secara bentuk, struktur ucap yang dipilih dalam puisi ini cukup rapi. Kata-kata yang dipilihnya, hampir bisa dikatakan, tidak ada yang tak saling berhubungan. Sajak ini cukup sadar akan potensi dari kependekan serta kepadatan kata-katanya. Barangkali, si penyair lebih bisa menguasai keseluruhan sajaknya dengan baik. Ia tidak tergoda untuk mencoba memanjang-manjangkan sajak dengan hal-hal yang kurang berhubungan dengannya. Kematangan sikap dalam berkarya seperti inilah yang patut dicontoh oleh penyair-penyair lain. Sehingga hubungan antara sajak dengan pembacanya menjadi sebuah hubungan yang intim dan saling melengkapi.[]

KOMENTAR

Willy Fahmy Agiska, kepala Toco (toco.buruan.co). Aktif menulis puisi. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Masih single.

You don't have permission to register