Fb. In. Tw.

Kegembiraan di Negeri Jiran

Kegembiraan melakukan suatu perjalanan bukan hanya terpaku pada pesona alam, bangunan, serta suasana yang tidak ditemui pada kampung halaman. Lebih dari itu, kegembiraan suatu perjalanan justru tertuju pada bagaimana cara kita berkomunikasi atau menyesuaikan dengan wilayah atau negara yang dituju. Dalam berkomunikasi, kita, khususnya saya dapat meraba bahkan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam percakapan. Perlakuan bahasa yang dituturkan oleh satu sama lain tentu berbeda. Apabila kita percaya bahwa manusia dibentuk oleh realitas sosial, maka satu orang dengan orang lainnya akan berbeda pola pikir.

Pola pikir tentunya akan berkaitan dengan nilai budaya yang terkandung pada suatu wilayah. Pada hal ini adalah Malaysia. Tanggal 03-07 Februari kami tim “Ekspedisi Literasi” (Buruan.co, Rumah Baca Taman Sekar Bandung, Beranda 57, ASAS UPI, serta Sanggar Sastra Purwakarta) melakukan lawatan ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Ekspedisi literasi yang kami lakukan selama 4 hari 3 malam, lebih menitikberatkan pada silaturahmi serta saling bertukar budaya lewat sastra. Bagaimana cara mereka bersastra, mendekatkan sastra terhadap masyarakat, hingga politik sastra yang terjadi di sana.

Cara mereka bersastra tentunya terdapat banyak perbedaan dengan cara kami bersastra, hal ini kami (saya, Bode Riswandi, Rudy Ramdani, Ratna Ayu Budhiarti, Ainunl Muaiyanah, serta Muhammad Lutfi Ishak)  diskusikan di Espresso Lab, Nu Sentral Kuala Lumpur pada tanggal 4 Februari. Di Malaysia, buku sastra yang laku adalah buku puisi yang bahkan tidak sedikit yang best seller. Hal ini berkebalikan dengan di Indonesia, buku sastra yang laris di pasaran adalah fiksi berupa novel atau cerpen. Selain itu, harga buku di sana lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

Fenomena yang sekarang terjadi di sana tentang sastra mainstream dan sastra indie. Mungkin ini dapat dikatakan politik sastra yang terjadi di Malaysia secara kekinian. Sastra mainstream adalah sastra yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka sedangkan sastra indie adalah sastra yang diterbitkan secara individual atau di luar Dewan Bahasa dan Pustaka. Kira-kira seperti itu yang kami dapatkan pada diskusi di Espresso Lab.

Muhammad Lutfi Ishak bersama Pena sejak tahun 2010 menggagas serta membangkitkan diskusi sastra untuk kalangan anak muda. Diskusi ini dilaksanakan di Espresso Lab setiap hari Sabtu minggu pertama. Kafe tempat yang dipilih oleh Lutfi, karena dapat merangkul anak muda sekarang. Apabila diskusi dilaksanakan di tempat lain, peserta diskusi tidak seramai ketka diadakan di kafe. Kira-kira seperti itu Lutfi bercerita selesai diskusi.

Selain fenomena sastra, fenomena bahasa Melayu menjadi perhatian penting Dewan Bahasa dan Pustaka. Malaysia memiliki tiga etnis besar yaitu, Melayu, Cina, dan India. Bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional sedikit tergeser dengan bahasa Inggris dan bahasa Mandarin serta India. Bahkan beberapa sekolah swasta yang notabene orang-orang etnis Cina, tidak terdapat bahasa Melayu dalam mata pelajaran. Padahal di Dewan Bahasa dan Pustaka tertera semboyan yang dipampang sangat besar: “Bahasa Jiwa Bangsa”.

Pena dengan Dewan Bahasa dan Pustaka memperjuangkan bahasa Melayu untuk dapat menjadi mata pelajaran wajib di sekolah serta menjadi bahasa utama. Baik untuk etnis Cina maupun India. Begitulah kira-kira yang kami dapatkan ketika berdiskusi di Dewan Bahasa dan Pustaka.

Selain berdiskusi, kami juga membaca puisi pada “Malam Puisi Pena” di halaman Rumah Pena. Malam Puisi Pena untuk bulan sekarang begitu ramai. Tidak seperti biasanya. Keramaian ini salah satunya karena kedatangan kami dari Indonesia serta launching 5 buku yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka. Selain itu, kedatangan Sastrawan Negara Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh menambah keramaian Malam Puisi Pena.

Dari Indonesia yang membaca puisi diantaranya, Bode Riswandi, Ratna Ayu Budhiarti, Anisa Isti Yuslimah, Rudy Ramdani, serta Sely Desmiarti. Kemudian dramatisasi puisi oleh kawan-kawan dari ASAS UPI yaitu Willy Fahmi, Mustafa Reza, Hendrawan, Muhammad Naufal, serta musikalisasi puisi dari Maja Foundation dengan personel Djodi Zulfiqar, Fasya Nur Fauzan, Grandis Putri, serta Agung. Selain kami, penyair-penyair dari Malaysia ikut membaca puisi pada Malam Puisi Pena. Malam Puisi Pena dilaksanakan setiap akhir pekan minggu pertama setiap bulannya.

Kegembiraan serta kehangatan sangat terasa ketika kami menjadi tamu mereka. Pena yang bekerjasama dengan kami, memberikan sambutan yang luar biasa terhadap kami tim “Ekspedisi Literasi”. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada SM. Zakir, DR. Saleh Rahamad, Muhammad Lutfi Ishak, serta nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Oleh karena merekalah Ekpedisi Literasi 1 Kuala Lumpur, Malaysia berjalan dengan lancar dan sukses.

Ekspedisi Literasi akan kami lanjutkan ke Brunei, Singapura, serta Thailand dengan visi dan misi yang sama yaitu silaturahmi serta saling mengenal budaya khususnya budaya bersastra di negeri masing-masing.

Ini yang bisa saya sampaikan, sampai bertemu di Ekspedisi Literasi selanjutnya.  Dengan kisah dan kegembiraan yang berbeda. Salam.[]

KOMENTAR

Sekretaris Redaksi buruan.co. Lahir di Majalengka 14 Januari 1986. Kumpulan puisinya yang telah terbit "Lambung Padi" (2013). Pengelola Rumah Baca Taman Sekar Bandung.

You don't have permission to register