Kegelisahan di Rumah Tanpa Langit-Langit
Bangunan dengan bentuk segi empat memanjang itu berdiri di bawah beberapa pohon Albasiah. Beratap genting tanah liat dengan warna merah bata, berdinding selembar bilik bambu, serta tiga pintu di bagian depan bangunan.
Sekilas rumah tersebut mirip rumah penduduk seperti umumnya. Perbedaannya bangunan tersebut mempunyai ukuran lebih panjang dibanding rumah penduduk biasa. Selain itu, desain dalam rumah tersebut hanya terdiri dari satu ruangan besar tanpa sekat dan tanpa langit-langit.
Dengan demikian, semua kegiatan rumah tangga dilaksanakan di sana dan dapat dilihat terbuka oleh siapapun yang berada di dalamnya. Selain itu, pada malam hari kerlip bintang di langit dapat sedikit terlihat dari sela-sela genteng. Semilir angin malam menyelinap diam-diam melalui sela-sela dinding dari selembar bilik yang menjadi dinding.
Tak jauh dari bangunan tersebut berdiri bangunan dengan bentuk sama dengan jumlah kurang lebih sepuluh bangunan. Jarak antara bangunan yang satu dengan bangunan lain dipisahkan oleh petak-petak datar dalam lahan miring. Daripada disebut sebagai komplek perumahan, komplek tersebut lebih layak di sebut sebagai kebun yang “ditanami” rumah bilik tanpa langit-langit.
Rumah-rumah tersebut memang bukan rumah penduduk seperti biasa. Rumah bilik tersebut adalah rumah hunian sementara masyarakat korban retakan tanah di Kampung Legok Nangka dan Bebedahan, Desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Hunian sementara itu dibangun segera setelah terjadi retakan tanah yang disusul oleh kedatangan bupati dan dilanjutkan dengan pembangunan hunian sementara oleh Dinas Sosial. Namun, dari pengakuan warga, mereka tidak dilibatkan maksimal dalam proses pembangunan tersebut. Mereka hanya menerima jadi bangunan tersebut.
Lantaran tak ada pilihan lain, masyarakat mau tidak mau menempati bangunan tersebut dengan berbagai keterbatasan dan kegelisahan yang menggelayut di masing-masing kepala penghuninya.
Hari ini, setelah enam bulan berlalu, di tengah ketidakpastian Pemerintah Kabupaten Bandung dalam memberikan lahan dan tempat tinggal yang lebih layak, warga kembali gelisah.
Rumah bilik tanpa langit-langit yang mereka tempati sekarang mulai bermasalah. Tiang penopang utama dan penyangga bangunan mulai miring dan goyah. Hal ini disebabkan beban yang berat dan angin kemarau yang lebih kencang dari biasanya.
Warga mulai merasakan hawa dingin yang lebih menusuk karena selembar dinding bilik tidak cukup kuat menahan hembusan angin musim kemarau, terutama di malam hari.
Selain itu, ketika mereka berebah atau beraktivitas seperti biasa, seringkali dari atas rumah berjatuhan debu yang berasal dari material penahan genting, juga dedaunan yang masuk dari sela genteng. Debu dan dedaunan itu langsung jatuh menimpa warga, karena memang hunian sementara ini dirancang tanpa langit-langit.
Kegelisahan lain, yaitu mengenai hal yang lebih personal. Komunikasi antara suami dan istri dan hubungan intim. Dalam suasana ketidakpastian dan serba terbatas, seringkali masalah komunikasi menjadi krusial antara suami-istri, dan tentu saja keluarga umumnya.
Karena sama-sama berada dalam kondisi yang tidak pasti, mengontrol emosi merupakan hal yang sulit. Pertengkaran rumah tangga menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dan disembunyikan. Sebenarnya, pertengkaran suami-istri bukan hal yang keliru. Namun, ketika pertengkaran tersebut dilihat sepenuhnya oleh anak-anak mereka dan terdengar lebih jelas oleh tetangga hunian sementara, tentu saja itu menjadi masalah baru, menjadikan masalah yang lama menjadi lebih rumit.
Hal krusial selain pertengkaran adalah masalah libido suami-istri. Tentu saja seperti masalah pertengkaran, masalah pengaturan libido merupakan hal yang wajar. Namun, ketika libido tersebut sulit dikontrol terutama di depan anak-anak, bisa jadi akan menimbulkan efek negatif bagi anak-anak. Mungkin saja, secara psikologis efek tersebut akan menempel dalam memori jangka panjang si anak. Alamak, bagaimana nasib kehidupan mereka ke depan.
Serangkaian hal di atas adalah kegelisahan yang beberapa sudah terbukti. Di luar kegelisahan tersebut ada kegelisahan yang sama sekali tidak terprediksikan. Sifatnya insidental. Ini adalah efek domino dari dinamika kehidupan di pengungsian.
Kisah yang cukup memilukan. Seorang ibu muda terpaksa harus kehilangan bayinya di pengungsian. Pada usia tujuh bulan janinnya tidak kuat lagi menahan jabang bayi. Akhirnya, bayi tersebut lahir dalam kondisi prematur. Tidak lebih dari dua minggu, sang jabang bayi akhirnya menghembuskan nafas terakhir di pelukan ibunya, di hunian sementara.
Tidak ada penyebab pasti mengenai faktor meninggalnya bayi tersebut selain premature, dan tentu saja kurang mendapatkan perawatan yang memadai. Tidak ada ada juga yang berani menyalahkan siapapun dan kondisi yang dialami. Namun demikian, semua warga sepakat bahwa kondisi di pengungsian sedikit banyaknya telah mempengaruhi piskologis ibu muda tersebut.
Kondisi tertekan itu semakin terasa ketika menjelang lebaran. Di tengah orang lain sibuk menyiapkan lebaran dengan membeli baju baru untuk mereka sendiri, suami dan anaknya, memasak opor ayam dan masakan lainnya, dia harus berjibaku di hunian sementara. Ibu muda sekuat apa yang bisa bertahan dalam kondisi tersebut?
Namun seusai lebaran, persis ketika saya berdiskusi dengan warga sore itu, semua kegelisahan warga sepertinya tidak akan segera berakhir. Alih-alih segera berakhir, sepertinya malah akan bertambah.
Kegelisahan mengenai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya. Di bulan kemarau, debit air mengecil. Masyarakat berebut untuk mendapatkan air. Akibatnya sumber mata air lain harus dicari.
Masyarakat telah berhasil mengidentifikasi sumber air baru untuk mereka di hunian sementara. Masalahnya, sumber air itu cukup jauh dari hunian sementara. Perlu sejumlah biaya untuk membeli seperangkat pengalir air bersih.
Di tengah kondisi yang tidak menentu, hal itu menjadi masalah yang menghawatirkan. Sebenarnya, hal ini tidak akan terlalu menghawatirkan jika pemerintah membantu sepenuh hati dengan menyediakan perangkat pengalir air ke hunian sementara.
Namun, hal itu sepertinya hanya sekedar angan-angan saja. Lantaran, pemerintah sepertinya sudah merasa cukup dengan memberikan penampungan air, tanpa perangkat pengalir air dari sumbernya.
Ah, pemerintah apalah-apalah.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
Sahlan Bahuy
Miris!