Kegelisahan di antara Kesepian yang Luar Biasa
Seorang ibu hampir satu tahun tidur tidak tengkurap ketika didapati test pack miliknya bergaris dua merah. Selama hampir satu tahun, dia berusaha mati-matian mengkonsumsi gizi yang cukup, rela otot punggungnya membengkak, ke mana-mana berjalan layaknya babi hutan sebab betapa membeban sekaligus penting apa yang sedang terjadi di dalam perutnya.
Hal serupa, sebetulnya (juga) terjadi kerap kali saya menulis puisi. Saya harus begitu tabah membiarkan jari-jari tangan saya berloncatan di atas kertas ataupun keyboard komputer. Saya selalu berusaha untuk mengikuti kehendak kata-kata. Membiarkan mereka menuliskan riwayatnya sendiri. Seperti ingin tahu, sampai mana mereka mampu berbicara dan apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan. Maka pada saat itulah saya harus siap menyaksikan pikiran, perasaan dan kata-kata berperang.
Setiap selesai menulis, saya selalu harus menatap layar komputer dalam-dalam. Saya harus menghabiskan berjam-jam untuk memahami betul apa yang telah tertulis, yang sedang saya baca. Namun, yang dapat saya tangkap adalah bahwa kata-kata benar memiliki kekuatan yang luar biasa.
Saya harus belajar untuk mengendalikan diri sedemikian rupa. Saya tidak menapikkan bahwa saya tidak pernah puas dengan puisi-puisi yang telah saya tulis. Berkali-kali saya harus menilai sendiri bahwa puisi yang saya tulis adalah puisi yang tak layak untuk dibaca khalayak, yang hanya pantas berdiam diri di dalam folder komputer saya.
Akan tetapi, saya selalu yakin bahwa setiap puisi itu setelah didandani selalu minta diajak jalan-jalan. Maka saya mencoba mengirim beberapa puisi saya ke media. Tak jarang puisi-puisi saya ditolak. Hingga saya kembali merenung dan bertanya-tanya, “Apa benar puisi-puisi saya ini jelek? Apa benar puisi-puisi saya ini tak pantas dibaca?”
Saya kembali menulis dan mengirimkan puisi-puisi saya ke berbagai media. Sampai pada akhirnya ada beberapa puisi saya yang terbit. Sekali, dua kali, tiga kali saya merasa bahagia. Saya merasa bahwa ternyata puisi saya layak diterima redaktur-redaktur koran.
Setiap hari Minggu saya rajin membuka grup di Facebook yang sering memberikan info tentang karya yang dimuat di media. Suatu hari, saya iseng membuka satu per satu puisi karya penulis-penulis lainnya. Penulis-penulis seusia saya yang karyanya sering dimuat dan dibicarakan.
Ternyata, hal tersebut berdampak buruk pada diri saya. Saya selalu iri dengan apa yang mampu mereka tangkap dan mereka sampaikan melalui puisi mereka. Saya kembali merenung dan nyaris putus asa. Saya merasa harus mendapat semacam pencerahan. Maka saya mengirmkan puisi-puisi saya kepada beberapa teman atau senior. Saya meminta penilaian mereka atas puisi saya. Sayangnya, penilaian yang saya dapat selalu tak sesuai dengan apa yang saya harapkan.
Sampai pada akhirnya, saya pergi ke suatu tempat untuk berguru. Kemudian saya mendapatkan jawabannya. Katanya, kekurangan saya terletak pada logika bahasa yang saya pilih. Di sana, puisi saya dibongkar habis. Disulap menjadi puisi yang megah dan keren dan lebih bernyawa. Saya kaget, “hebat juga kata-kata.” Saya pun pulang.
Tapi tak berhenti begitu saja. Saya kembali pergi ke teman yang lain membawa puisi yang baru saja disulap itu. Kemudian teman saya berkomentar bahwa puisi saya itu berantakan sekali dengan simbol-simbol di dalamnya. Pada akhirnya saya bingung sendiri. Ternyata, setiap orang memiliki penilaian masing-masing terhadap satu karya yang sama. Ketika si A berkata bagus, si B justru mengatakan hal yang sebaliknya. Saya kembali bertanya, “Apa sebetulnya yang dilihat orang-orang dari setiap puisi itu?”
**
Tidak jauh dari kegelisahan ini, saya mendapati tulisan “Saatnya ASAS dan MSB Kembali ke Lembar Kosong” Heri Maja Kelana yang tayang di Buruan.co beberapa minggu lalu. Ketika saya membacanya, kepala saya seperti berputar-putar, kemudian maju-mundur dan terjebak di suatu gang sempit. Di sana, saya menemukan kata-kata berlesatan dari kepala saya, seakan mencari tempat untuk menetap. Dari situlah saya tertarik untuk menanggapi. Terutama soal kekeliruan yang barangkali belum dipahami oleh Bojes, sapaan akrab penyair sekaligus Sekretaris Redaksi Buruan.co tersebut.
Pertama, kegiatan Tadarus Puisi di Majelis Sastra Bandung (MSB) yang biasa dilaksanakan setiap hari Jum’at sudah lama tidak berjalan dengan baik. Kurang lebih 2 tahun terakhir, tidak ada diskusi intens yang biasa diisi dengan diskusi karya: baik cerpen maupun puisi, baik karya pribadi maupun karya bersama. Anggota MSB yang masih terbilang aktif kurang lebih 7-8 orang. Aktif di sini bukan berarti aktif diskusi maupun menulis.
MSB kini lebih sering mengadakan acara kesusastraan dibanding diskusi. Dan kesibukan menjadi panitia acara sastra dirasa justru mengganggu proses persalinan para penulis sastra dari konsep ke berkarya. MSB sendiri telah aktif mengadakan Pengajian Sastra setiap bulan, mendampingi acara-acara kesusastraaan lain yang diselenggarakan seperti “Workshop Cerpen Kompas” misalnya, atau mengisi acara (membaca puisi) di beberapa acara kesusatraan.
Dari 7-8 anggota yang terbilang aktif tadi, ada beberapa yang memutuskan untuk berhenti menulis (puisi/cerpen). Beberapa lainnya terpaksa harus istirahat sejenak bahkan berjenak-jenak karena terjebak kesibukkan yang sifatnya lebih urgent.
Kedua, mengapa Bojes hanya membicarakan ASAS dan MSB saja? Seolah-olah, komunitas yang layak dibicarakan itu hanya dua itu saja. Seolah-olah ruang diskursus sastra kompeten yang ada di Bandung itu hanya dua komunitas tersebut. Seingat saya yang pernah menjadi putri kecil/penghuni setia MSB, saya sering menemui beberapa orang yang menghadiri acara Pengajian Sastra dari kampus-kampus lain seperti UIN, UNPAD, STSI (sekarang ISBI), UNPAS, UNISBA dan segelintir orang lainnya yang tampak anak kuliahan yang tak sempat berkenalan karena alasan cewe ga ngenalin duluan.
Saya paham mengapa Bojes hanya menyebut dua komunitas itu dalam tulisannya. Sebab Bojes sendiri keluarga ASAS, dan MSB kelihatan aktif mengadakan acara kesusastraan. Barangkali gaung komunitas di luar ASAS dan MSB tak semerdu dua komunitas tersebut.
Namun, bagi saya pribadi, Bojes sendiri adalah senior di dunia sastra di Bandung, apakah tidak berlebihan pengamatan seorang senior mengenai perkembangan sastra di Bandung cukup menyebut ASAS dan MSB saja? Tak adakah proses ngapelin kampus-kampus di Bandung untuk tahu lebih jelas bagaimana perkembangan sastranya? Lalu, kenapa komunitas sastra Sunda juga tidak disinggung-singgung? Apakah memang tak ada?
Saya pikir, MSB tidaklah harus disandingkan juga dengan komunitas lainnya. Menimbang MSB adalah majelisnya sastra Bandung, ruang pertemuan para penulis Bandung, lebih pantas sebagai muara dari setiap komunitas sastra yang ada di Bandung. MSB bukanlah tempat untuk mencetak penulis-penulis besar dan sukses seperti yang disinggung Bojes dalam tulisannya. Tapi di sisi lain, saya setuju MSB perlu mengunjungi salon khusus untuk memperbaiki (sebut saja) gaya bersastra saat ini, dan itu memang tidak mudah.
Saya, sebagai salah satu keluarga MSB, menemukan kesepian yang luar biasa. Tiga tahun lamanya, bahkan mungkin lebih saya rasa berada di MSB, saya tak pernah mendapati ada anggota keluarga baru yang datang dan menetap bersama kami. Kebanyakan dari mereka hanya berkunjung barang satu atau dua kali kemudian pergi lagi. Kadang saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri, “Apakah saya, sebagai salah satu tuan rumah kurang baik dalam memberikan sambutan, atau bagaimana?”
Tapi, pada akhirnya, setiap pertanyaan tak melulu menemukan jawabannya. Malah saya kembali dihadapkan pada pertanyaan lainnya, ketika beberapa kawan satu persatu pergi meninggalkan rumah. Dan tidak dipungkiri, pada akhirnya, ternyata saya juga mulai senang keluyuran di luar rumah. Hingga kesepian saya tertinggal dan menghiasi warna tembok rumah.
Kiranya kalau tulisan Bojes ditujukan kepada masing-masing pribadi penulis, saya pikir itu bisa menjadi ‘cambuk’ yang cukup bagus. Namun, apabila tulisan tersebut ditujukan pada komunitas, saya pikir kurang tepat. Komunitas hanya sebagai ruang, sebagai arena, bukan subjek penghidup.
Komunitas hanya memberi kesempatan pada para penulis (untuk) saling berbagi, berdiskusi dan memotivasi satu sama lain. Meskipun saat lelaki menyinggung pakaian perempuan, di waktu yang sama ia menyinggung perempuan itu. Selebihnya, segala sesuatunya kembali lagi pada penulis itu sendiri. Berhasil atau tidaknya seorang penulis, tidak selalu ditentukan dari asal mula ia ada (komunitas), tapi dari seberapa mampu ia konsisten pada dirinya dalam menulis, serta seberapa mampu ia dapat berdiri di tengah persaingan yang cukup ketat.
**
Membaca tulisan Bojes pada bagian lain, saya jadi ingin tahu, “Seperti apa penulis dapat dikatakan berhasil dan tidak berhasil? Apakah yang sering muncul di setiap media? Apakah yang sering dibicarakan banyak orang? Kemudian, apa sebetulnya ukuran penulis yang berhasil itu menurut Bojes sendiri?”
Saya pikir, kalau hanya sebatas mempertanyakan makna dan penghayatan, sulit rasanya untuk dibicarakan secara mendetil. Setiap penulis memiliki caranya sendiri untuk menyampaikan apa yang hendak ia sampaikan. Dan setiap pembaca, seperti yang saya alami sendiri, memiliki penafsiran yang berbeda terhadap karya sastra yang dibacanya.[]