Fb. In. Tw.

Kebudayaan Lahirkan Konflik

Minggu, 15 Januari 2017 suasana hari tak begitu cerah cenderung mendung bahkan sempat gerimis. Kebun Seni Bandung cukup ramai. Dipenuhi pengunjung yang mayoritas menuju Kebun Binatang.  Tapi segerombol lainnya berkumpul di sebuah tempat bernama toco.buruan.co. Ya, toko buku ini sedang mengadakan acara diskusi buku The Idea of Culture karya Terry Eagleton yang dipandu oleh Zulfa Nasrulloh dengan pemateri Heru Joni Putra.

Pembahasan pada acara ini tak fokus pada unsur-unsur buku, struktur atau proses kreatif, melainkan pada gagasan yang dituliskan Terry tentang kebudayaan dan konteks kebudayaan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan banyaknya konflik di Indonesia tentang budaya. Maka Heru menjelaskan kenapa itu bisa terjadi.

“Kita sudah terjebak dalam definisi kebudayaan yang mengartikan nilai luhur, sehingga itu dapat menghadirkan konflik etnis” jelas Heru.

Menurut Heru, konflik etnis terjadi tak lepas dari pengertian budaya sebagai nilai luhur. Pandangan seperti itu akan menyebabkan manusia memiliki rasa bangga terhadap budayanya sehingga akan menilai budaya lain lebih rendah atau lebih tinggi. Hal itu yang akan menimbulkan konflik rasis, tidak toleran dan sebagainya.

“Kebudayaan nasional adalah kebudayaan puncak dari setiap daerah” lanjut Heru. Menurutnya pengertian ini pun menjadi masalah bagi Indonesia karena hanya satu budaya yang dianggap representasi daerah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan TMII pada jaman orba. Masalah ini menimbulkan superiornya salah satu budaya di daerah itu. Contohnya rumah Gadang yang dianggap representasi dari Sumbar, Toba representasi dari Sumut. Konflik akan terjadi pada internal masyarakat itu sendiri karena kebudayaannya dianggap tak menjadi representasi daerahnya.

Diskusi berlangsung cukup menarik karena banyak peserta yang ikut menanggapi dan bertanya. Mulai dari kasus Papua yang mencampuradukan kebudayaan dan politik, hingga permasalahan produk ilmu pengetahuan yang menyebabkan definisi kebudayaan itu sendiri. Secara keseluruhan pemateri mampu menjawab dan menanggapi masalah itu. Menurut Heru, kebudayaan bersama yang digagas Terry harus bisa dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat agar menciptakan definisi budaya itu sendiri dan tidak lagi muncul konflik antar masyarakat.

Diskusi ini ditutup dengan pembacaan puisi dari Willy Fahmi Agiska selaku penyair, Ade Arfani Budiman (penyair), Fuad Jauharudin (editor dan pegiat Teater) serta dosen Unversitas Pakuan, Langgeng Prima Anggradinata.

Musikalitas Mozaik
Setelah sore yang seru membahas kebudayaan. Toco juga menghadirkan acara lain yaitu penampilan musik dari band Mozaik. Mozaik merupakan band yang dianggap mempunyai keunikan tersendiri dalam musik. Band yang digawangi oleh Fajar M. Fitrah yang juga seorang penyair memiliki lirik-lirik puitis. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa lagunya yang diangkat dari puisi, sajak Percakapan Mata karya Heri Maja Kelana salah satu puisi yang jadi objek untuk dimusikalisasi.

Lirik-lirik lagu Mozaik cukup puitis dibandingkan dengan band-band populis yang kini popular di kalangan remaja.

“Beberapa memang berasal dari puisi saya, tapi sedikit diubah karena penyesuaian dengan musiknya” jelas Fajar.

Beberapa penyair pun turut mengomentari penampilan dari Mozaik salah satunya Heru yang menganggap bahwa mozaik ini sangat penting bagi dunia karena mempunyai keunikan yaitu lirik yang puitis. Tak jauh berbeda, Adhimas Prasetyo mengungkapkan lagu-lagu Mozaik sangat mudah didengar.

Malam semakin larut hingga akhirnya Mozaik mempersembahkan penampilan terakhirnya lewat musikalisasi puisi karya Yopi Setia Umbara yang berjudul Matahari Jingga Bandung Utara. Tepukan meriah dari penonton mengakhiri acara ini.[]

KOMENTAR
Post tags:

Lahir di Sukabumi, 26 Juli 1995. Bergiat sebagai ketua UKSK UPI dan Anggota ASAS UPI.

You don't have permission to register