Fb. In. Tw.

Kasih Ibu yang Mana Lagi?

Tepat sehari setelah momentum hari Kartini, HU Pikiran Rakyat menerbitkan cerpen berjudul “Wanita Pertama” karya Nasrul M Rizal pada 22 April 2018. Tebersit satu pertanyaan ketika saya menyadarinya, apakah cerpen ini dipilih redaktur karena (hanya) mengangkat tema wanita atau terdapat wacana lain dalam tema tersebut?

Pertama kali yang terlintas dalam benak saya ketika membaca judul cerpen “Wanita Pertama” adalah hadirnya intertekstualitas. Ya, dengan judul “Wanita Pertama”, saya kira cerpen ini akan mengangkat kisah penciptaan perempuan pertama, Hawa. Namun, ternyata perkiraan saya salah. Cerpen ini bercerita mengenai kasih sayang Ibu kepada anak laki-lakinya.

Tema mengenai kasih sayang Ibu terhadap anak-anaknya banyak dipilih dalam karya sastra khususnya prosa. Pramoedya Ananta Toer pun memilihnya untuk tema minor dalam beberapa karyanya. Misal dalam Tetralogi Buru, di balik tema kesadaran penolakan kolonialisme yang dibawa Minke, Pram menampilkan kasih sayang Ibu melalui Nyai Ontosoroh. Sama halnya dalam Midah Si Manis Bergigi Emas, di dalamnya menceritakan perjuangan Midah untuk mencapai kebebasan dan cita-citanya yang terbentur dengan kelahiran Rodjali, anaknya.

Namun, tema kasih sayang Ibu dalam dua karya tersebut adalah tema minor. Artinya terdapat wacana lebih besar yang ingin disampaikan Pram melalui karyanya. Berbeda dengan apa yang Nasrul M Rizal lakukan dalam “Wanita Pertama”, tema kasih sayang Ibu menjadi tema mayor dalam karyanya.

Cerpen “Wanita Pertama” diawali dengan rasa syukur tokoh Aku dengan kehadiran buah hati dan berjanji untuk selalu menyayangi buah hatinya. Namun, setelah dewasa sang buah hati memilih meninggalkan Ibunya untuk kuliah di Yogyakarta. Awalnya tokoh Aku dan anaknya menjalin komunikasi yang lancar melalui telepon, tetapi setelah beberapa waktu berlalu anaknya berubah. Anaknya jarang menelepon atau menerima telepon darinya, hingga anaknya mengakui bahwa dirinya mencintai perempuan lain. Waktu cepat berlalu sampai anaknya mengadu kepada tokoh Aku, bahwa sang anak dicampakkan oleh perempuannya dan berniat untuk membalas perlakuan yang dia dapatkan. Tokoh Aku melarang anaknya untuk berbuat lebih jauh dan meyakinkan bahwa ada perempuan lain yang lebih menyayanginya yaitu dirinya sendiri. Cerita ditutup dengan permohonan maaf anak dari tokoh Aku yang sudah melupakannya demi perempuan lain yang mencampakkannya.

Tema dan alur cerita yang seperti ini tentu sering kita temukan. Bukan hanya dalam prosa atau jenis karya sastra lain, tetapi dalam dunia sinematografi, kita akan lebih sering menemukannya lagi. Hal tersebut membuat cerpen “Wanita Pertama” tidak memiliki daya tawar yang berbeda dengan karya lain yang memiliki tema serupa. Tidak ada yang spesial. Seperti kaset intermeso yang terus berputar dalam kepala kita bahwa kasih sayang orang tua tidak terbatas oleh apapun.

Tidak ada yang salah dengan pemilihan tema kasih sayang Ibu, hanya saja terasa membosankan. Apalagi jika kita benturkan dengan momentum Hari Kartini. Seharusnya banyak wacana yang bisa diambil dari realitas hari ini untuk diangkat dalam cerpen. Selain itu cerpen dapat dibawa dengan sudut pandang yang lebih segar dibandingkan dengan hanya membicarakan kasih sayang dengan sudut pandang Ibu.

Realitas yang dapat diambil sebagai wacana atau sudut pandang dalam cerpen terbilang melimpah. Misalnya dari sudut pandang seorang Ibu selebgram yang diserang netizen karena mengunggah rencana MPASI anaknya yang belum genap berusia enam bulan. Padahal selebgram tersebut sudah konsultasi dengan dokter anak yang sudah tidak diragukan lagi pengetahuannya. Atau tentang penyanyi dangdut yang digosipkan transgender dan tidak mau mengakuinya, malah untuk membuktikan dirinya wanita tulen, dia sesumbar bisa hamil dan tentu saja hal tersebut tidak terbukti.

Bisa juga mengambil wacana dari peristiwa yang ramai akhir-akhir ini, yaitu wacana terorisme dengan sudut pandang seorang Ibu yang harus merelakan tubuh anak-anak dan suaminya berhamburan terkena bom. Padahal dalam sebuah berita, menyebutkan bahwa sang anak adalah siswa berprestasi. Beragam sudut pandang dan wacana tersebut, saya kira akan terasa lebih kontekstual dan segar.

Baca juga:
Memahami Anak-anak dalam Cerpen
Di Bawah Titik yang Tak Sederhana

Jika mengikuti selera saya dalam membaca karya sastra, cerpen ini kurang saya nikmati. Selain tema yang terlalu biasa atau mainstream, tidak ada hal lain yang ditawarkan dalam cerpen ini, misal melalui metafora yang tidak biasa atau teknik penceritaan yang berbeda dari cerpen kebanyakan.

Hadirnya dirimu di kehidupanku adalah anugerah paling indah. Kamu membuatku utuh. Menjadikan aku wanita paling bahagia di dunia. Aku berjanji padamu, akan terus menyayangimu walaupun kamu tidak memintanya. Aku akan terus mencintaimu meskipun kamu mencintai wanita lain. Kamu tersenyum manis menanggapinya. Hanya tersenyum. Tidak ada yang lain. Sejak saat itu kita mulai mengisi waktu berdua.

Paragraf di atas adalah paragraf pembuka dalam cerpen “Wanita Pertama”. Pemilihan kata dalam paragraf pembuka mencerminkan keseluruhan pemilihan kata dalam cerpen. Diksi dalam paragraf pembuka adalah bahasa yang lugas, tidak ada peribahasa atau metafora yang coba ditampilkan penulis di dalamnya. Meskipun dalam teknik penceritaan ada sedikit upaya dari penulis untuk menghadirkan kejutan di akhir cerita.

Wanita pertama rela diduakan olehmu. Ia tetap bahagia meski kamu bahagia karena wanita lain. Sedangkan wanita kedua sedikit pencemburu. Ia akan meminta waktu lebih banyak. Dan beberapa kali akan protes karena kamu lebih memperhatikan wanita pertama. Dua wanita itu adalah aku, ibumu, dan seorang wanita yang akan menjadi istrimu.

Kejutan tersebut hadir saat tokoh Kamu mengadukan niatnya kepada tokoh Aku untuk membalas perempuan yang sudah mencampakkannya. Upaya menghadirkan kejutan tersebut digagalkan dengan isi cerpen yang sudah mengarahkan pembaca bahwa hubungan tokoh Aku dan tokoh Kamu adalah hubungan Ibu dan anak, misalnya dalam kalimat hadirnya dirimu di kehidupanku adalah anugerah paling indah.

Sejak dulu, kita sering mendengar lirik Kasih Ibu kepada beta/Tak terhingga sepanjang masa/Hanya memberi, tak harap kembali/Bagai sang surya menyinari dunia. Indah memang lagu ciptaan S.M. Mochtar tersebut membangkitkan ingatan-ingatan kita terhadap seorang Ibu. Namun kini, ketika sebuah cerpen hanya mengangkat bentuk yang hampir mirip tanpa menghadirkan sesuatu yang segar, tentu saja saya lebih memilih mendengarkan lagu “Kasih Ibu”.[]

KOMENTAR

Bergiat di Sanggar Sastra Purwakarta dan Arena Studi Apresiasi Sastra.

You don't have permission to register