Fb. In. Tw.

“Kalamian”, Sebuah Cerita dari Pesantren

Lima orang duduk dalam bentuk lingkaran kecil. Di tengah lingkaran kecil itu terhidang sepiring gorengan lengkap dengan beberapa cabe rawit, dan beberapa gelas plastik berisi teh panas yang uapnya masih terlihat mengepul. Salah satu di antara lima orang itu adalah saya. Kami sedang menunggu adzan magrib berkumandang dari salah satu stasiun televisi.

Pada bulan Ramadhan majelis seperti ini seperti menjadi majelis wajib bagi para santri di Pondok Pesantren Nurul Huda. Salah satu pondok pesantren salafiyah di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung.

Beberapa saat kemudian adzan magrib berkumandang. Satu demi satu gorengan mulai berpindah tempat ke mulut masing-masing lengkap dengan cabe rawit yang berwarna hijau kemerahan. Begitu juga teh panas perlahan habis diseruput.

Obrolan bergulir ke masalah-masalah serius yang dialami santri. Hudan Permana Sidiq, salah satu santri, bercerita tentang penyakit yang dideritanya. Penyakit yang dideritanya tersebut adalah penyakit yang juga lumrah dipunyai oleh santri yang lain di seantero Nusantara. Penyakit tersebut adalah penyakit borok atau dalam bahasa sundanya disebut dengan nama penyakit ‘budug atau para santri mempelesetkanya menjadi ‘budi’.

Penyakit budug ini mulai bersarang beberapa bulan setelah Hudan ngobong di pesantren. Gejala awal penyakit ini tidak terlalu dirasakan betul. Hanya saja pada bebeberapa titik di kaki terasa gatal yang cukup hebat. Setelah gatal itu sering digaruk, penyakit budug itu muncul dengan bentuk bentolan di tempat yang gatal. Berbarengan dengan gatal-gatal tersebut di titik tubuh yang lain, bermunculan pula bentolan yang lain. Tidak cukup di sana, beberapa kawan Hudan yang lain mengalami gejala yang sama. Gatal di beberapa titik, digaruk kemudian muncul bentolan, yang setelah digaruk susah untuk mengering. Jadilah penyakit budug ini mewabah di kobong.

Beberapa usaha kecil sudah dilakukan. Membeli obat antibiotik di apotik, menjaga asupan makanan serta meminta air doa dari para ustadz mereka. Selain itu, kebersihan kobong juga diperhatikan. Setiap hari kobong disapu sampai bersih. Mencuci pakaian dengan rutin.

Namun, tetap saja usaha tersebut sepertinya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Alih-alih jumlah bentolan mengering, berkurang dan akhirnya sembuh, jumlah penderita cenderung bertambah.  Mulailah beberapa kebiasaan buruk mengikuti. Iya, menggaruk budug. Celakanya, laku menggaruk itu tidak mengenal waktu. Ketika para santri mengaji, me-nalar beberapa hapalan, rasa gatal biasanya datang. Tentu saja itu mengganggu konsentrasi mengaji. Bagi santri yang juga mengikuti sekolah formal, penyakit budug ini menjadi derita tambahan karena penyakit ini menjadi semacam aib kecil bagi para santri. Hal ini menjadi semacam aib karena penderita budug ini hanya sekelompok kecil dari jumlah siswa sekolah secara keseluruhan. Akibatnya, ketika budug menyerang para santri lebih memilih untuk tidak ke sekolah atau menyembunyikan budug tersebut dengan pakaian tertutup.

Mendengar cerita tersebut, salah satu ustadz dalam majelis itu hanya tersenyum simpuh. Ingatannya lantas mundur beberapa puluh tahun ke belakang ketika masih di pondok.

Apa yang diderita oleh Hudan sebetulnya belum seberapa, penyakit budug hanya hal kecil yang biasanya dialami oleh para santri yang ngobong di pondok pesantren salafiyah. Dalam rentetan penyakit santri salafiyah, budug adalah penyakit pertama yang biasanya dihadapi oleh santri pemula. Jika santri pemula itu mampu bertahan dari serangan penyakit tersebut selanjutnya adalah penyakit bisul, dan terakhir adalah penyakit bungkul. Perlu diketahui, penyakit bungkul ini hampir sama dengan bisul hanya saja rasa sakitnya melebihi bisul dan biasanya sembuh lebih lama.

Penyakit budug, bisul dan bungkul itu sebenarnya agak mendingan jika letaknya tidak pada bagian tubuh yang sehari-hari digunakan untuk bergerak. Ketiga penyakit itu akan semakin sakit jika muncul di beberapa daerah vital untuk mengaji, semisal tangan, mulut, atau hidung.

Saking jengkel dan frustasi dengan serangan ketiga penyakit itu, sang ustadz sampai memutuskan untuk pulang ke rumah dan berhenti mengaji sama sekali. Namun ketika meminta ijin, kyainya tidak memberikan ijin. Alih-alih diberikan ijin untuk pulang dan berhenti mengaji, sang ustadz malah disuruh untuk meneruskan nyantrinya sampai waktu yang tidak ditentukan.

Sang kyai sama sekali tidak memberikan obat ampuh atau air yang sudah diberi doa. Hanya sebatas saran untuk terus mengaji dan memberikan kata asing yang baru didengar. Kyai menyebutnya kata asing tersebut adalah kata-kata yang ampuh dan akan menjadi obat. Kata tersebut adalah ‘kalamian.

Karena ketakjiman terhadap guru, akhirnya sang ustadz memutuskan untuk meneruskan laku nyantrinya dan tidak mengindahkan kata yang tidak dimengertinya tersebut. Dengan penyakit budug dan bisul yang dideritanya, sang ustada tetap mengaji. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, ketiga penyakit itu sirna dari tubuhnya dan sampai sekarang tidak pernah muncul lagi.

Sekarang, setelah kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, sang ustadz baru menyadari bahwa kalamian itu sebenarnya adalah kata sunda yang kata dasarnya adalah ‘lami’, atau bahasa Indonesianya adalah ‘lama’. Tentu saja kata ini berhubungan dengan konsep waktu.  Secara tidak langsung sang kyai mengatakan biarkanlah waktu yang akan menjawab semua penyakit itu.

Dalam sudut pandang yang lain, sebenarnya sang kyai mengajarkan kepada sang ustadz agar bisa lebih bersabar dalam menghadapi penyakit, yang tidak lain adalah sebuah ujian keteguhan niat bagi semua santri dalam menuntut ilmu. Sang ustadz berkata bahwa dirinya belum tentu bisa berada dalam majelis maghrib itu jika dulu dia pulang ke rumah lalu tidak melanjutkan ngajinya.

Dari beberapa mesjid di kejauhan terdengar suara iqomah berkumandang. Ini artinya ibadah sholat magrib harus segera dimulai.  Cerita diakhiri. Semua anggota majelis bergegas mengambil air wudlu. Tinggallah piring kosong, sisa cabe rawit, dan gelas gelas kosong tanpa asap yang mengepul, sebagai saksi percakapan.[]

KOMENTAR
Post tags:

Fasilitator pembelajaran di MA Sukasari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung, dan staf pengelolaan pengetahuan di Perkumpulan Inisiatif Bandung. Menaruh minat pada kajian isu-isu pendidikan dan pembangunan pedesaan serta dunia kepenulisan.

You don't have permission to register