Kala[h]
Pendukung fanatik sepak bola manapun akan terluka ketika tim kesayangannya kalah. Bukan semata raihan gelar dalam kuantitas. Tapi sesuatu yang nisbi lagi maya. Sebuah prestise. Yang lebih agung dari uang atau capaian prestasi apapun.
Syahdan pada sebuah pertandingan final di Eropa nun jauh, di 15 menit masa rehat, seorang pelatih berkata kepada para pemainnya. Setelah di babak pertama remuk dengan skor 3-0.
“Jangan tundukkan kepala kalian. Kita Liverpool. Kalian bermain untuk Liverpool. Jangan lupakan itu. Kalian harus tetap menegakkan kepala kalian untuk suporter. Kalian harus melakukkannya untuk mereka.”
“Kalian tak pantas menyebut kalian pemain Liverpool kalau kepala kalian tertunduk. Kalau kita menciptakan beberapa peluang, kita berpeluang bangkit dalam pertandingan ini. Percayalah kalian mampu melakukannya. Berikan kesempatan buat kalian sendiri untuk keluar sebagai pahlawan.”
Liverpool terhindar dari kekalahan setelah menyamakan kedudukan dan menang adu penalti.
Pelatih Liverpool sadar, kalah penanda bagi yang lemah. Kalah merupakan penegas sekaligus pembeda. Selalu ada jarak tipis antara menang-kalah. Meski misal hanya dipisahkan jarak sebiji gol di babak tos tosan. Gol yang boleh jadi lebih berbau keberuntungan, alih-alih menggambarkan kualitas permainan tim secara keseluruhan. Meski bukankah tidak jarang tercipta gol yang lahir dengan cara semacam itu.
Dan kalah pasti akan datang, cepat atau lambat, mendera siapa saja.
Menyakitkannya sebuah kekalahan akan semakin pahit ketika kita terbiasa dengan satu atau begitu banyak kemenangan. Tanyakan bagaimana rasanya kalah kepada para pemain AC Milan- lawan yang dikalahkan Liverpool di final itu- setelah di babak pertama menang telak dan begitu superior. Kalah akan sangat telak memukul ketika menang telah menjelma kebiasaan.
Maka di sebuah kasus yang lain, dalam pemilihan presiden di sebuah negeri Asia nan dekat, untuk menghindari kekalahan, diciptakan situasi agar tidak ada istilah kalah.
Di sebuah sidang disepakati agar calon presiden tetap tunggal. Aturan sidang dan aturan main diakal-akali. Aparat pemerintah yang notabene masyarakat dipaksa memilih partai yang menentukan siapa saja yang bersidang. Oposisi diancam atau dibeli.
Hasilnya, Tuan presiden melenggang bebas dari kekalahan selama 32 tahun. Walau pada akhirnya, toh, kekalahan tetap jua menghampiri sang presiden.
Lalu kapan kekalahan itu akan berubah menjadi sebuah kemenangan?
Meski kalah telah menjadi kebiasaan atau kemenangan telah mewujud utopia. Kita tetap wajib berikhtiar. Berusaha menentukan kemenangan kita sendiri. Selain untuk membuktikan bahwa takdir memang tidak semena-mena dan berpihak.
Ketika di sebuah rezim buku-buku tertentu dianggap terlarang untuk dibaca dan diedarkan. Diam-diam kita membacanya dalam bentuk fotokopian yang diselundupkan.
Ketika di sebuah rezim kita terbiasa kalah, dikekang dalam berpendapat dan berserikat, dilemparkan pada jurang terdalam sebagai manusia terasing. Kita secara bersama-sama, dengan segala ikhtiar, bangkit dan melawan dalam aksi turun ke jalan di tahun-tahun reformasi.
Sehingga kalah pada akhirnya datang juga. Kala atau waktu yang memberi jeda dari kekalahan panjang. Setelah kalah tidak lagi menjadi bagian dari masyarakat yang bebas untuk berekspresi, berserikat, dan berpendapat. Kala itu tiba setelah begitu banyak korban (lagi-lagi kekalahan), bersusah payah bergrilya, pantang menyerah, terus menerus melakukan perlawanan.
Lantas sekarang, setelah 18 tahun, apakah kita akan kalah lagi. Semenjak kala (jika tidak layak disebut benar-benar menang seperti AC Milan pada babak pertama final itu) berhasil memangkas kekalahan bertubi-tubi selama 32 tahun?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Sebab soal cepat atau lambat kita yang menentukan. Kita yang menentukan dengan cara apa mempertahankan kalah itu.
Apakah kita akan kalah sehingga membiarkan buku-buku kembali diberangus dan dibakar. Apakah kita akan kalah sehingga kebebasan berekspresi dan berpendapat dibelenggu lagi. Membiarkan acara-acara diskusi digruduk untuk dibubarkan. Kalah lagi dan kembali ke abad kegelapan.
Saya sih ogah dan yakin dengan jawaban saya. Lah Anda?[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
Rifki
Nyonk
Nyonk
woi