Kabar Apa yang Dibawa Kartu Pos dari Banda Neira?
Sukab menulis surat untuk Alina dengan sepotong senja sebagai hadiahnya. Penggambaran bagi Sukab yang begitu merindukan kekasihnya itu. Hal itu membuat gempar. Seluruh warga kemudian mencari siapa yang mencuri senja. Sampai akhirnya semua orang tahu siapa yang mencuri senja, ketika tukang pos tercengang dengan kartu posnya yang berisi sepotong senja. Sukab jadi buronan (“Sepotong Senja Untuk Pacarku”, Seno Gumira Adjidarma).
Lalu bagaimana dengan Kartu Pos dari Banda Neira yang dikirimkan Zulkifli Songyanan? Kabar apa yang dibawa Kartu Pos dari Banda Neira? Apakah Zul akan menjadi buronan warga yang membacanya, seperti Sukab? Inilah Pertanyaan yang ada di benak saya ketika melihat buku kumpulan puisi ini. Mungkin menjadi pertanyaan yang sama dengan orang-orang yang membaca “kartu pos” ini.
Kartu Pos menurut KBBI adalah kartu untuk surat-menyurat melalui pos. Dan, Banda Neira merupakan nama daerah yang dikenal cukup indah. Banda Neira pernah menjadi pusat perdagangan pala dan fuli dunia, karena Kepulauan Banda adalah salah-satu penghasil rempah-rempah yang bernilai tinggi hingga pertengahan Abad ke-19. Kota modernnya didirikan oleh VOC, yang membantai penduduk Banda untuk mendapatkan palanya pada tahun 1621, lalu membawa yang tersisa ke Batavia (kini Jakarta) untuk dijadikan budak.
Berdasarkan pemaparan di atas, saya berkesimpulan kemungkinan kartu pos ini berisi tentang masa penjajahan atau keindahan alamnya atau lebih jauh lagi mencuri hal lain—mengingat Sukab mencuri senja—dari Banda Neira. Untuk menuntaskan rasa penasaran itu maka saya datang ke acara diskusi Kartu Pos dari Banda Neira di Toco.buruan.co, Kebun Seni, Jalan Tamansari No. 69, Bandung.
“Kegalauan Zul terlihat dari kata pengantar, ia bertanya apakah lewat kumpulan puisi ini kepribadian saya terlacak atau tidak? Di situ saya berpikir bahwa Zul sedang ragu apakah dengan cara ia menulis puisi sudah terlihat estetika dirinya atau belum,” Ujar Lutfi selaku pembahas buku bersama Faisal Kamandobat.
Di awal pembicaraan itu saya sedikit berkerut kening. Mungkinkah tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan tentang kartu pos, yang akan membicarakan keindahan alam atau sejarah.
“Zul itu menggunakan gaya mirror dalam menulis puisi atau mencerminkan keadaan alam dan manusia dan memanfaatkan keadaan dirinya, tapi seorang penyair pula harus mencapai hal yang paling fundamental dalam merekam keadaan.”
Ucapan Faisal Kamandobat tersebut mencerahkan saya bahwa Kartu Pos dari Banda Neira ini menggambarkan keadaan alam dan menggabungkannya dengan keadaan penyair yang mengalami masa mudanya: percintaan dan perjalanan.
Faisal juga berpendapat, puisi-puisi harus sadar akan bahasa untuk memaknai kehidupan dan penyair harus mendefinisikan kehidupan secara filosofis dan menciptakan hal baru. Menurutnya puisi-puisi yang hadir dalam kumpulan puisi ini memakai kacamata luar dalam memaknai kebudayaan Banda Neira sehingga tidak mencerminkan seseorang yang pernah tinggal atau singgah di sana.
Harapan Faisal Kamandobat memang sangat tinggi kepada para penyair, mengingat sejarah Eropa, jika penyair itu bisa memberi dampak pada kehidupan manusia. Maka, dia berharap bahwa penyair-penyair Indonesia, termasuk sang pengirim kartu pos Zul agar mampu menciptakan karya sastra khususnya puisi yang visioner. Atau, berbicara masalah kehidupan secara hakikat dan memberi gagasan untuk kehidupan 5-10 tahun ke depan.
Lutfi Mardiansyah menyepakati apa yang dikemukakan Faisal. Namun, menurut Lutfi hal itu masih jauh bagi penyair Indonesia dan Zul, karena untuk mencapai karya yang visioner harus beres dalam tataran elementer terlebih dulu. Dan, Zul sudah mencapai hal elementer itu.
“Cara penghayatan dengan realitas Zul pasti akan berubah karena ini adalah titik awal kepenyairannya dan nafas penyairnya masih panjang,” lanjut Lutfi.
Mengikuti diskusi hari Sabtu kemarin itu membuat saya tercerahkan, bahwa dalam puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Kantor Pos dari Banda Neira ini memang memiliki gaya bahasa yang indah dan lembut dibalut dengan bentuk gaya lirisnya hingga terasa pas dalam penyampaiannya. Ia mampu berbicara tentang alam dan manusia digabungkan dengan keadaan dirinya secara sederhana yang disebut Lutfi merupakan hal elementer.
Namun, saya sepakat dengan Faisal Kamandobat bahwa dalam mempelajari alam dan kehidupan manusia itu jangan tanggung-tanggung, harus intens sehingga mampu menciptakan puisi yang baru dan menciptakan kehidupan baru ke depannya. Agar pula Kartu Pos dari Banda Neira ini tidak sekedar kartu pos, tapi juga memberi perubahan dan pada akhirnya Zul akan menjadi Sukab yang dicari warga.
Maka, Hendaklah kau pegi jauh Kartu Pos dari Banda Neira! Pergi ke dalam hakikat manusia.[]