Jurus Silat Cimande, Membela Diri Bukan Melawan(2)
Catatan Betta AS.*
Pada dasarnya, dalam kesenian permainan tradisional dan seni silat pertahanan diri dengan berbagai jurus seperti dalam “Jurus Silat Cimande, Membela Diri Bukan Melawan” anak-anak bangsa diajak langsung berpraktik merasakan peristiwa kehidupan, berdiskusi dengan alam, kawan dan dirinya sendiri, membuat aksara-aksara yang penuh makna, hingga melakukan pengkajian.
Dengan demikian peran para pembimbing, orang tua, instruktur senantiasa menjadi teman sharing. Berbagi ilmu dengan tulus dalam ruang yang lebih terbuka dan bebas.
Wacana globalisasi tidak serta merta menjadi musuh kearifan lokal. Apa yang disebut globalisasi hanyalah penetrasi gerakan kultur lokal bangsa Indonesia yang kuat dari negara-negara adidaya yang sepenuhnya menyadari kekuatan lokalitas mereka.
Jika ada teori “berpikir global, bertindak lokal”, sesungguhnya yang dilakukan negara besar adidaya adalah “berpikir lokal untuk negaranya sendiri, bertindak global untuk melakukan ekspansi ke begara lain”. Barangkali itu sedikit cara yang bisa kita tiru dalam menyebarluaskan budaya asli Indonesia ke kancar internasional.
Secara umum kondisi kebudayaan tradisi rakyat di zaman modern ini tidak sekokoh di zaman dulu ketika ikatan masyarakat tradisi/desa masih kuat. Ibaratnya sekarang kesenian tradisi itu berada dalam fase “hidup segan mati tak mau”.
Sudah tentu upaya “penyelamatan” seni tradisi seperti permainan tradisional dan seni pencak silat di atas patut dilakukan, tetapi bukan sekadar penyelamatan tanpa upaya serius untuk mendudukkan seni dan budaya tradisi di tengah perubahan dan perkembangan zaman.
Pada titik ini upaya “pelestarian” seni dan budaya tradisi bukan sekadar upaya memuji atau memeliharanya sebagai “benda pusaka” yang tak boleh diubah, melainkan justru diperlukan upaya kreatif agar seni dan budaya tradisi mampu merespons kekinian, setidaknya seni dan budaya tradisi khas bangsa Indonesia menjadi indspirasi penciptaan karya di masa kini.
Demikianlah, kesenian dan kebudayaan tradisi lahir di masa lampau, tetapi hingga kini terus bertahan hidup melalui pewarisan lisan kepada generasi berikutnya meski kian hari pendukungnya kian menipis. Kiranya dalam konteks inilah perlu timbul kesadaran akan masalah terbesar kesenian dan kebudayaan tradisi adalah keberterimaan kenyataan bahwa ia hidup di tengah budaya yang tak lagi menaunginya.
Kesenian dan kebudayaan tradisi suka tak suka hidup di dua alam: di satu sisi ia mempertahankan tradisi leluhur, di sisi lain berhadapan dengan realitas kekinian yang tidak sekosmologis dengan dirinya.
Ia memang masih dapat disebut dan menyandang gelar kesenian dan budaya tradisi, tetapi masyarakat yang menikmatinya sudah tak lagi hidup dalam kosmologi budaya kesenian tersebut. Namun, ini menelurkan manusia modern yang sedang melakukan kontak budaya yang merupakan kreativitas leluhur masa lampau.
Jadi, untuk apa kita memelihara dan mencintai lalu memperkenalkan kepada dunia tentang budaya asli bangsa kita?
Tidak lain tidak bukan memang untuk menjumpai manusia (manusia dengan “M” besar) dengan beragam karakter dan berbagai persoalannya. Memelihara dan menghidupkan kembali budaya bangsa pada dasarnya memang untuk merespons persoalan, nasib, kesakitan, kegembiraan, kelucuan, keriangan, kepalsuan, sekaligus keculasan manusia![]
Sumber foto: Betta AS.
*Penulis, bergiat di komunitas Pasar Sastra Leuwiliang, pecinta kebun dan sawah, sedang menempuh studi Pascasarjana program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra di UNJ, tinggal di Leuwiliang.