
JUNG CAFÉ: MENGUNGKAP HAYAT DAN PEMIKIRAN SI “PSIKOLOG MISTIK”
Nama Carl Gustav Jung (1875 – 1961) mungkin tidak dibicarakan sesering Sigmund Freud dalam lanskap pemikiran psikologi di Indonesia. Namun ditinjau dari luaran pemikirannya, barangkali Jung lebih relevan dengan alam pemikiran masyarakat Indonesia yang sebagian orangnya masih lekat dengan hal-hal supranatural. Kepercayaan terhadap astrologi, tarot, paranormal, dan hal-hal yang sering dikatakan sebagai “klenik”, tidak bisa dilepaskan dari hal-hal keseharian kita, meski di sisi lain, masyarakat kita juga, lewat akses pengetahuan yang kian mudah, semakin dekat dengan cara pandang saintifik dan positivistik yang identik dengan modernisme Barat.
Jung adalah psikolog abad ke-20 asal Swiss yang banyak membicarakan soal konsep arketipe dan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness). Meski pernah bersahabat karib dengan Freud, kedua pemikir besar tersebut akhirnya pisah jalan akibat banyak ketidaksetujuan antara mereka. Terlebih lagi, Jung mengritik gagasan Freud yang merumuskan seolah-olah psikoanalisis adalah konsep yang individual. Selain itu, bagi Jung, Freud terlalu “erotik”, menghubungkan segala aspek bawah sadar selalu pada hal-hal yang bernuansa seksual. Jung mencoba untuk tidak terjebak pada aspek seksual a la Freud, melainkan menariknya secara lebih luas pada multiaspek.
Buntje Harbunganin adalah salah seorang penulis, seniman, konsultan, dan praktisi psikologi yang banyak menaruh perhatian pada gagasan Jung. Perhatian tersebut ia tunjukkan salah satunya lewat buku terbarunya yang berjudul Jung Café. Buku terbitan Rapi Berkah Makmur tersebut tidak hanya menyajikan gagasan kunci Jung, tapi juga perjalanan hidupnya – termasuk juga dinamika hubungannya dengan Freud. Jabaran tentang biografi ini dianggap penting oleh penulis, karena sebagaimana ditekankan oleh Buntje, pemikiran Jung tidak bisa lepas dari perjalanan hidupnya.
Jung memang unik. Ia tidak seperti umumnya pemikir modern yang berusaha meninggalkan aspek supranatural sebagai gagasan yang dianggap ketinggalan dalam dunia yang segala-galanya dianggap dapat dijelaskna oleh sains. Jung, sebaliknya, justru memperlihatkan dimensi spiritual dalam karya-karyanya, dan menerima gagasan “anomali” seperti kesurupan dan pengalaman mistik Dalam Jung Café, Buntje dengan lihai mengurai satu per satu pemikiran Jung dalam bahasa yang renyah dan mudah dipahami (tidak berpusing-pusing dengan akrobat akademik), tanpa mengabaikan kedalaman pikiran sang psikolog.
Selain itu, Buntje juga dalam buku ini tidak pernah luput mengaitkan pemikiran Jung dengan berbagai narasi antara sang psikolog dengan pasiennya. Dalam pemikiran psikoanalisis, praktik merupakan hal yang tidak terpisahkan dari pemikiran, dan hal tersebut juga terjadi pada tulisan-tulisan psikoanalis besar lain seperti Freud dan Lacan. Singkat cerita, buku ini sangat penting dalam menambah khazanah pengetahuan psikologi di negeri ini. Rasanya literatur dengan titik berat pada ketokohan masih banyak seputar Freud, sementara terkait Jung masih sangatlah jarang. Semoga Jung Café membuat orang semakin punya minat terhadap gagasan Jung dan juga kehidupannya yang menarik.