Fb. In. Tw.

Journey to Bandung Purba

Pada hari Sabtu (13/12/2014), kami (Fasya, Utep, Kemri, Lukman, Ares dan Bojes) dari tim ekspedisi Rumah Baca Taman Sekar Bandung melakukan ekspedisi Journey to Bandung Purba yang kedua. Sebelumnya, kami telah melakukan ekspedisi perdana kami ke gua Pawon dan Stone Garden di daerah Gunung Masigit, Citatah, Bandung Barat.

Ekspedisi-ekspedisi ini kami lakukan dalam rangka napak tilas Bandung Purba. Tempat-tempat yang kami datangi ini mengacu pada tempat-tempat yang ditulis oleh T. Bachtiar dalam buku Bandung Purba.

Perjalanan kedua kami mulai adalah menuju waduk Saguling, Sanghyang Poek, Sanghyang Tikoro dan Sanghyang Kenit. Perjalanan ini kami mulai dari Rumah Baca Taman Sekar Bandung pada pukul 07.30 WIB, kami melakukan perjalanan ke Rajamandala dengan menggunakan sepeda motor untuk menghindari kemacetan Kota Bandung.

Perjalanan Bandung-Rajamandala kami tempuh dengan waktu sekitar satu setengah jam. Kami sampai di gapura yang bertuliskan PLTA Saguling pada pukul 09.00. Karena melihat jarak waduk saguling yang masih cukup jauh, sekitar 17 KM dari gapura, jadi kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menyantap bubur Rajamandala. Perut kami sudah cukup terisi, jadi kami sudah memiliki cukup energi untuk melakukan ekspedisi ini.

Rute pertama yang kami datangi adalah bendungan Saguling, 17 KM dari gapura, kami tempuh selama sekitar 45 menit dengan menggunakan motor pribadi. Jalan relatif bagus, namun ada beberapa titik jalan yang rusak dan ada jalan yang bertanah, mungkin bekas longsor, jadi kami harus lebih berhati-hati di sana karena jalannya licin sekali.

Bendungan Saguling.

Bendungan Saguling.

Setelah kami sampai di bendungan segala lelah terbayar, pemandangan di sana sangat baik, dengan airnya yang jernih, beda dengan air di anak-anak sungai citarum yang mengaliri kota, sudah penuh limbah. Tetapi tidak dengan air yang ada di bendungan Saguling. Bendungan Saguling adalah tempat yang bagus untuk dijadikan spot berfoto, karena setiap sudutnya memiliki keindahan tersendiri.

Setelah kami puas menikmati pemandangan dan suasana di bendungan, kami melanjutkan perjalanan kami ke Sanghyang Poek yang berjarak 13 KM dari bendungan. Sanghyang Poek berada Power House dekat turbin PLTA. Untuk dapat sampai ke Sanghyang Poek, kami harus naik motor sejauh 13 KM dari bendungan, lalu ikut parkir di tempat parkir proyek PLTA.

Dari tempat kami parkir motor, perjalanan harus dilakukan dengan berjalan kaki, kira-kira sejauh 500 M. Perjalanan masih cukup mudah, karena masih ada jalan setapak yang bisa kita ikuti. Sepanjang jalan kami disambut oleh pohon-pohon yang masih cukup lebat, suara sungai, dan batu-batu yang masih bersih, belum jadi korban vandalisme.

Akses ke Gua Purbakala Sanghyang Poek.

Akses ke Gua Purbakala Sanghyang Poek.

Udara di sana sangat sejuk, namun banyak sekali nyamuk di sana.  Jadi lebih baik menggunakan pakaian yang berlengan panjang. Sanghyang Poek sendiri memiliki dua sisi, satu lubang menghadap ke jalan setapak, satu lagi menghadap ke anak sungai Citarum.

Sanghyang Poek.

Sanghyang Poek.

Setelah masuk ke lubang yang menghadap jalan setapak, kami mencoba untuk ke lubang yang satunya dengan cara melewati batu-batu yang ada di sungai, di sana kami harus sangat hati-hati, karena sangat licin dan batu-batunya cukup tajam, dengan segala kehati-hatian, akhirnya kami sampai ke sisi lubang yang satunya.

Suasana pemandangan di sana yang sangat nyaman, indah dan tenang. Kami berjalan kembali ke tempat parkir motor, dengan jalur yang berbeda, kami menyusuri sungai pada arah kembali ke tempat parkir motor, oleh karena itu celana dan sepatu kami basah dan cukup melelahkan, karena terkadang kami juga harus memanjat batu-batu sungai yang cukup besar.

Sanghyang Tikoro.

Sanghyang Tikoro.

Setelah sampai ke parkir motor, kami melanjutkan perjalanan ke Sanghyang Tikoro, jaraknya hanya sekitar 50 M dari tempat kami parkir. Sebelum kami sampai ke Sanghyang Tikoro, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon sambil membeli rujak bebek, sekalian kami menjemur sepatu kami yang basah.

Asyik mengobrol dengan tukang rujak bebek, sampai kami tak sadar bahwa Sanghyang Tikoro itu berada di bawah kami. Kami tak akan sadar bila tukang rujak tersebut tak memberi tahu bahwa Sanghyang Tikoro itu berada di bawah kami yang sedang berbincang.

Lantas kami harus melewati tangga yang cukup curam untuk melihat Sanghyang Tikoro, dan harus cukup kecewa, karena air yang ditelan Sanghyang Tikoro sangat kotor dan bau, berbeda dengan yang ada di Sanghyang Poek. Air di Sanghyang Tikoro sangat hitam, akibat limbah pabrik kata tukang rujak yang sudah berusia 76 tahun tersebut.

Sanghyang Kenit.

Sanghyang Kenit.

Kami rasa istirahat kami cukup, kami melanjutkan perjalanan ke Sanghyang Kenit, namun kami sangat kecewa, karena kami tidak dapat menemukan Sanghyang Kenit. Akses yang cukup sulit, tak ada jalan setapak, rumput-rumput gajah sangat tinggi, sepertinya jarang ada orang yang ke sini. Satu-satunya akses hanya dengan perahu.

Jadi dalam perjalanan pulang kami ke Bandung kami masih mengantongi sebuah tanda tanya besar tentang Sanghyang Kenit dan suasana sekitarnya.[]

Sumber foto: Fasya dan Bojes

KOMENTAR

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Pegiat Rumah Baca Taman Sekar Bandung. Gitaris Maja Foundation.

You don't have permission to register