Fb. In. Tw.

JESEDEF: Derita dalam Pusaran Simulasi

Segalanya dimulai saat Bagus (Ringgo Agus Rahman) memasuki ruangan Pak Yoram (Alex Abbad). Dia mempertaruhkan segalanya: hubungan dengan Hana (Nirina Zubir) dan kecintaannya terhadap sinema. Lewat pertaruhan itu, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film atau JESEDEF melawan formula film komersial sambil membangun dunia simulasi yang menghanyutkan lakon-lakonnya dalam pusaran derita percuma.

 

Meskipun unsur sinema menjadi yang paling disorot, masalah JESEDEF sebenarnya lebih kompleks. Toh, lakon Bagus juga bukan berdiri hanya untuk mengutuk keberadaan sinema, sebagai media narasi, yang semakin kehilangan identitas. Predikat penulis skrip yang tersemat pada Bagus hanya dibuat untuk mendukung simulasi penderitaannya. Tidak akan berarti banyak bila diubah: ia bisa saja menjadi seorang novelis atau pujangga yang menulis soal Hana. Intinya akan tetap sama.

 

Oleh karena itu, bukan soal fenomena, JESEDEF justru berbicara soal media penyampai fenomena. Alasan itu juga membuat film ini berbeda dengan sajian lain, seperti Like & Share (2012) atau Budi Pekerti (2023) yang semata fokus dalam membingkai peristiwa. Walaupun memiliki kemiripan dalam konflik yang dipicu melalui realita simulakra dari dunia maya, mereka tetap terpisah, sebab keduanya tidak berbicara mengenai bagaimana simulakra tersebut dapat eksis.

 

Dalam Peradaban Tontonan
Bagus, seorang penulis skrip untuk film adaptasi sinetron, harus memperjuangkan ide cerita orisinalnya di depan produser, Yoram, yang hanya mau memproduksi film dengan segmentasi pasar populer. Berbagai perdebatan komedi-satire terjadi dalam diskusi informal keduanya. Mulai dari produser yang hanya ingin film orisinal tersebut bergenre horor, memiliki elemen romansa yang terlalu menyendu-nyendu, hingga ditolaknya ide Bagus untuk menggunakan format hitam-putih.

 

Ide-ide yang terlontar dalam dialog si produser bisa dengan mudah ditafsirkan sebagai sinema yang terombang-ambing dalam selera pasar. Namun, bila demikian, adegan perdebatan tersebut akan sepenuhnya menjadi antikomedi, sebab alih-alih ironi, yang dinyatakan oleh Yoram hanya sebuah realita biasa. Dibanding mengkritik selera pasar, Yandy Laurens justru memprotes kurangnya kepekaan produksi film bersama dialog terang-terangan dari Bagus: “Penonton kita sudah nggak bodoh-bodoh, Pak.”

 

Lantas, mengapa pasar menjadi pihak yang pertama diacu dalam proses produksi? Mario Vargas Llosa dalam Notes on the Death of Culture (2012) menjelaskan kekuatan pasar dalam kerangka budaya. Selera pasar, walau dapat berubah, akan terbingkai kekal dalam suatu peradaban populer—yang disebut oleh Vargas Llosa dalam istilah peradaban tontonan. 

 

Dalam peradaban tontonan, kesenangan dan pemenuhan hasrat berdiri sebagai puncak kebudayaan, sehingga hasil yang paling representatif adalah bentuk sastra, sinema, dan musikalitas yang ringan, enteng, dan remeh. Sedangkan, demokratisasi kebudayaan—meyakini bahwa seni adalah untuk semua orang—yang dimaksudkan untuk membawa budaya dan sastra bernilai tinggi ke dalam masyarakat inklusif, justru berakhir dengan terseretnya wujud budaya dan sastra tersebut ke bentuk paling rendah: hanya diciptakan untuk kepuasan penikmatnya. 

 

Apabila dalam produksi, bentuk sinema yang membawa eskapisme dan hiburan dianggap sebagai bentuk termutakhir untuk menggaet pasar, tetapi menarasikan selera tersebut sebagai humor ironis ternyata tetap menggelitik dan tidak terasa salah, maka pihak mana yang menahan sinema kita dalam formula yang klise dan stagnan? Pada akhirnya, segala tuduhan hanya bisa diacungkan pada selera buruk yang telah terdefinisi dalam peradaban-budaya populer. Demikianlah JESEDEF mengeksaminasi apa yang selama ini dianggap sebagai selera populer. 

 

Dalam Pusaran Simulasi
Pada suatu dialog yang terjadi antara Bagus, Dion (Dion Wiyoko), dan Celine (Sheila Dara), Dion kebingungan dengan kaburnya batas antara peristiwa dalam skrip dengan apa yang sebenarnya terjadi; dan untuk memvalidasi kebingungannya di hadapan Bagus yang sarkastik, ia melontarkan pertanyaan: “Katanya hiperrealitas?”

 

Segala masalah, romantisme, dan penyelesaian yang ada dalam plot JESEDEF terletak pada hiperrealita. Hingga durasi film habis, minim adegan yang dapat membuktikan bahwa segala yang telah penonton lihat merupakan peristiwa yang sebenarnya terjadi antara Bagus dan Hana, kecuali pernyataan yang keluar dari mulut Hana sendiri. Memang, realita yang ditulis oleh Bagus tidak akan pernah jatuh dalam bentuk yang lebih radikal: simulakra. Namun, relasi antara apa-yang-nyata dengan hasil imajinasi Bagus juga menjadi semakin buram seiring durasi berjalan. 

 

Dalam dua kebenaran tersebut, Bagus menciptakan suatu simulasi. Selayaknya dituangkan oleh Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981), realita dalam naskahnya memiliki sebuah relasi yang dangkal dan tidak sepenuhnya terpisah dari realita asli. Namun, tetap berdiri secara mandiri. Kedua realita sama nyata tersebut saling menimpa, serta berperan dalam mengantarkan kita menuju dua pemahaman penting: bagi konflik dalam diri Bagus dan kritik atas media.

 

Bagi konflik dalam diri bagus, benar apa yang dinyatakan Hana: segala romansa di antara mereka hanya ada dalam kepala Bagus. Akan tetapi, demikian pula dengan segala masalah, penderitaan, serta kebingungan yang setiap lakonnya alami. Pada presesi simulakra tersebut, Bagus menderita abadi dalam pusaran simulasinya sendiri.

 

Kritik atas media dapat dicapai dengan menukar posisi penonton dengan Bagus. Penderitaan Bagus tak ubah penderitaan kita, yang gagal memahami realita representatif. Kita bahkan sama nelangsa dengan dirinya yang yakin setengah mati bahwa film dapat membuat penontonnya memahami apa yang dirasakan orang lain. Padahal, meskipun bisa, juga patut dipertanyakan memangnya seberapa perlu dan mimesis pemahaman tersebut? 

 

Cerita JESEDEF telah berakhir saat layar kembali berwarna dan lakon Bagus yang kita kenal adalah Bagus dalam simulasi Bagus-yang-asli. Apa yang kita lakukan dengan mencerna realita lewat berbagai media, seperti film atau berita, hanya sebatas memahami realitas yang telah disalin. Sama halnya dengan kita yang tidak mengetahui apa-apa di luar lakon Bagus-dalam-simulasi serta skrip Bagus-yang-asli, film beserta media penyampai narasi lain tidak pernah membawa kita untuk memahami apapun. Hiperrealitas memang mendominasi kenyataan dan sampai selamanya tidak dapat dilawan, sebab dalam budaya-semesta-kita salinan akan selalu mendahului yang asli.

 

Dengan memahami dunia simulasi, dialog terbuka yang dibangun oleh Bagus, Dion, dan Julie (Julie Estelle) dapat dipahami lebih dari sekadar komedi. Bagus yang melempar pertanyaan mengenai apakah film dapat membuat kita memahami perasaan orang lain, memang hanya bisa dijawab secara terbuka. “Iya,” seperti yang diyakini Dion. Namun, juga “tidak” seperti sangkalan Julie. 

 

Memahami Struktur
Narasi yang baik adalah yang mampu berdiri di atas banyak realita. Bersama dengan pemahaman tersebut, muncul arus sinema yang dapat dicerna secara poststruktural. Film-film ini menyinggung banyak isu, mengabaikan fungsi struktur-struktur penyusun di dalamnya, dan tidak memiliki makna pokok. Daripada bereksperimen lewat sajian, film menjadi lebih menarik bila menjelajahi tema-tema baru.

 

Penulisan JESEDEF menantang arus tersebut. Naskah yang ditulis Yandy masih umum dibaca secara struktural. Hubungan antara Bagus dan Hana serta penyampaian realita dalam realita menjadi beberapa struktur besar yang menyangga tema utama mengenai cara media menyalin peristiwa. Di luar itu, juga banyak struktur minor lain yang menegaskan bahwa proses penyalinan tema tersebut teramat metodis, tidak sembarangan. Misalnya, dalam adegan mengenai intrik-intrik di balik layar: pemeran yang ternyata merangkap donatur, sulitnya menjadi sutradara muda yang dihormati kru, atau ribetnya formula untuk satu pengambilan gambar.

 

Bila mau dibilang usang, JESEDEF justru bertanggung jawab atas protesnya sendiri. Ia menantang stigma soal merajanya peradaban tontonan, dengan menyajikan film yang dapat dinikmati secara konvensional. Lewat cara-cara yang dianggap populis dan sederhana. Bersama dengan strukturalisme, pengurangan metafora, serta kesederhanaan eksplorasi tema dan genre, JESEDEF berhasil menjadi versi terbaiknya dalam menyampaikan pesan kepada penonton.

 

Referensi
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.
Llosa, M. V. (2015). Notes on the Death of Culture: Essays on Spectacle and Society (J. King, Ed.; J. King, Trans.). Farrar, Straus and Giroux.

KOMENTAR

Penulis lepas dan peneliti belia dengan lingkup studi sastra, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang humaniora lain. Pada 2023, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dalam riset bidang antropologi.

You don't have permission to register