Fb. In. Tw.

Jardin du Luxembourg dalam Musim Gugur

BILA kita jalan kaki menyusuri Saint Michel dari arah sungai Seine menuju Jardin du Luxembourg, maka kita akan melewati sejumlah toko pakaian, makanan, bekas bangunan gereja tua yang dibongkar, Univeritas Paris V (Sorbonne), dan sejumlah toko lainnya. Salah satu sudut dari taman ini, berhadapan dengan gedung Panthéon’. Di dalam gedung ini ada ratusan makam pahlawan Perancis yang usianya sudah ratusan tahun. Gedung ini, seperti juga gedung-gedung lainnya jadi tempat wisata, pun demikian dengan area pemakaman yang ada di daerah Montparnasse. Di sana ada makam penyair Charles Baudelaire, filsuf Jean Paul Sartre, dan dramawan Eugene Ionesco untuk menyebut sejumlah tokoh terkenal pada zamannya. Ketiga nama tokoh tersebut cukup dikenal di Indonesia. Karya-karya mereka banyak dipelajari di berbagai universitas di Indonesia.

Jardin du Luxembourg adalah sebuah taman di Paris, yang luasnya mencapai 22 hektar. Di dalam taman ini ada Luxembourg Palace, yakni kantor Senat Republik Perancis. Selain itu, ada juga Museum du Luxembourg. Museum ini tidak terlalu besar, kecil, tapi asri. Di museum tersebut sering digelar pameran lukisan, baik dari karya pelukis masa kini maupun masa lalu. Menurut berbagai informasi yang didapat, sebagaimana dituturkan oleh Etienne Naveau, taman megah di kota Paris ini dibangun oleh Marie de Medici, janda Henry IV, yang juga ibu dari Raja Louis XIII. Ia berasal dari keluarga bangsawan di Florence, Italia. “Pada tahun 1612 , ia membeli 22 hektar tanah kepunyaan pemilik hotel du Luxembourg dan membangun istana baru di sana,” jelasnya.

Taman ini menjadi terkenal ke berbagai belahan dunia, karena keindahannya yang  menginspirasi banyak sastrawan dalam menulis karya sastra. Salah seorang penyair Indonesia yang menulis keindahan taman ini dalam sebuah sajak adalah penyair Wing Kardjo. Sedangkan penyair Perancis yang menulis taman ini dalam sebuah sajak yang ditulisnya adalah Charles Baudelaire, Lamartine, dan filsuf Jean Paul Sartre, lalu kemudian sastrawan dari negara lainnya, seperti novelis Victor Hugo, dan Hemingway.

Berkaitan dengan taman tersebut, Wing Kardjo menulis sebuah sajak di bawah ini:

Jardin du Luxembourg
Apakah hanya sunyi saja pagi itu
antara hidup dan kembang-
kembang kuncup, jauh
di dasar benua?

terlupa, dalam akar-akar musim
terkubur dingin. Apakah
hanya sunyi saja pagi
ini antara matahari

            dan salju putih, taman
            beriak, silau dari
            tepi ke tepi

             Antara mimpi dan otak
             yang rusak hanya
             sunyi berteriak

 

Apa yang ditulis Wing Kardjo dalam puisi di atas, yang dimuat dalam antologi puisi Fragmen Malam: Setumpuk Soneta (Pustaka Jaya, 1997:59) mengungkap suasana musim salju, pada pagi hari. Dalam suasana semacam itu, penyair tampak asing dan menyendiri, seperti akar-akar musim yang terkubur dingin. Terbayang salju, tidak hanya terhampar di tanah datar, tetapi juga di ranting-ranting pohonan yang gugur daun.

Ya, memang suasana Jardin du Luxembourg sunyi adanya. Sekalipun banyak orang masuk ke dalamnya. Pada bangku-bangku taman, yang terbuat dari kayu hanya diduduki oleh satu atau dua orang. Saya sendiri merasakan suasana semacam itu. Bedanya, saya merasakan itu pada musim gugur. Walau demikian, sesekali terdengar juga suara gagak, atau pekik camar laut yang menggetarkan dinding kota. Saya sungguh beruntung bisa singgah ke taman ini, yang semula hanya saya ketahui informasinya lewat puisi Wing Kardjo, dan sejumlah foto dalam sejumlah buku pariwisata.

Selama sembilan hari di Paris, saya tinggal di Hôtel des 3 Colléges, 16 Rue Cujas 75005 Paris, Perancis. Hotel saya berdepan-depan dengan hotel Saint Michel, tempat penyair Wing Kardjo menginap dan menulis puisi. Sedangkan penyair Raoul Ponchon (1848-1937), Miklôs Radnôti (1949-1944) dan novelis Gabriel Garcîa Marques pernah menyelesaikan karya kreatif yang ditulisnya di tempat hotel saya menginap. Kamar saya, sungguh tak terduga pernah ditempati novelis Gabriel Garcîa Marques.  Ketiganya merupakan sastrawan kenamaan pada zamannya, dua di antaranya penerima Hadiah Sastra Nobel. Selain itu, karena hotel tempat saya menginap ada di perempatan jalan, maka jendela kamar saya pada sisi yang lain langsung menghadap ke Universitas Sorbonne.

Dari tempat hotel saya menginap, saya dan istri saya Heni Hendrayani, sering jalan kaki menuju Panthéon, Jardin du Luxembourg, Musée d’Orsay, Musée Louvre, Cathédrale Notre Dame de Paris, maupun sungai Seine. Kami sering masuk ke dalam Jardin du Luxembourg pagi hari antara lain untuk berlatih baca puisi, sebelum membaca puisi di Inalco, Paris. Betapa pagi hari di taman ini banyak orang yang lari pagi, walau cuaca dinginnya minta ampun, selain itu tentu saja serakan daun-daun gugur. Di taman ini selain melihat kolam dengan air mancur yang indah, juga banyak kursi yang melingkari kolam air mancur. Di area yang lain ada lapangan tenis, dan berbagai patung di tempatkan di sejumlah titik. Di atas kolam kita bisa juga melihat ratusan merpati laut yang asyik berenang. Banyak juga turis asing yang memberinya remah roti, saat merpati laut dan merpati darat hinggap di darat.

Bila lelah, sambil pulang ke hotel kami membeli roti di jalan, dengan segelas air minum, kopi, coklat, atau aqua. Untuk makanan sederhana yang dibeli untuk dua orang itu, seharga 8,5 euro. Sedangkan jika beli kebab, sepulang jalan-jalan di pinggir sungai Seine untuk berdua habis 13,5 euro. Jika makan nasi untuk berdua di Rumah Makan India habis 20 euro, itu sudah termasuk minuman. Mahal memang. Dan di Paris bila ingin jalan-jalan memang lebih baik jalan kaki, sebab banyak hal yang bisa dilihat dengan menyenangkan. []

 

Tentang Penulis
Soni Farid Maulana. Lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962. Mendapat Anugerah Utama Hari Puisi Indonesia 2015 dari Yayasan Puisi Indonesia lewat untuk buku puisi Arus Pagi (Kosa Kata Kita, 2015, Jakarta).  Aktif di Rumah Baca Ilalang.

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

Comments
  • Wah tulisan inspiratif, terbawa romansa jurdin luxemburg, thanks for sharing mas Mahwi.Semoga kelak saya bisa berkunjung ke Jerman bersama calon suami, tapi dilamarnya diatas langit eropa dulu, sesuai dengan judul buku saya yang memenabgkan goethe institute, hehehe:) mohon doanya ya, semiga ijut jejak mas wahyu dan keluarga

    28 September 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register